Terdapat tiga faktor kunci keberhasilan dalam pendidikan Islam. Bagaimanakah integrasi di antara ketiga kuci tersebut. Berikut adalah integrasi atau satu kesatuan dati tiga faktor kunci keberhasilan pendidikan Islam.
Yang Pertama, epistemologi manajemen pendidikan Islam, yaitu integrasi yang meru uskan, membangun, dan mengembangkan ilmu manajemen pendidikan Islam. Konstruksi ilmu ini dimulai dengan merumuskan konsep, hipotesis, dan teori-teori manajemen pendidikan Islam. Integrasi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para ahli filsafat manajemen pendidikan Islam, para pemikir pendidikan Islam, dan para pakar manajemen pendidikan Islam guna menumbuhkan, membangun, dan mengembangkan konstruksi ilmu manajemen pendidikan Islam yang masih rapuh dan membutuhkan penguatan-penguatan secara konseptual, teoritis, dan aplikatif.
Yang Kedua, epistemologi kesadaran pendidikan Islam, yaitu integrasi yang merumuskan, membangun, serta mengembangkan ilmu tentang kesadaran pendidikan Islam. Integrasi ini dapat dim anfaatkan oleh pemikir pendidikan Islam, pakar pendidikan Islam khususnya pakar psikologi pendidikan Islam untuk membangun, menumbuhkan, dan mengembangkan formulasi ilmu tentang kesadaran pendidikan Islam. Kesadaran pendidikan Islam dalam tataran perilaku umat Islam adalah penentu keberhasilan dan kemajuan pendidikan Islam.
Yang Ketiga, manajemen kesadaran pendidikan Islam, yaitu integrasi yang mengelola atau membangkitkan kesadaran pendidikan Islam. Bagaimana para pelaku dan penanggung jawab pendidikan Islam dapat disadarkan untuk mengerjakan tugas pendidikan Islam yang melekat pada mereka secara sungguh-sungguh dengan ketulusan yang tinggi. Mereka bisa meliputi siswa/santri/mahasiswa, guru/ ustadz/dosen, kepala sekolah/kepala madrasah/pengasuh pesantren/ pengasuh majelis taklim/pimpinan perguruan tinggi baik rektor, dekan, ketua, maupun direktur; Menteri Agama, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Kakanwil Kemenag, Kakankemenag, dan juga masyarakat beserta tokoh-tokohnya.
Yang Keempat, kesadaran epistemologi pendidikan Islam. Integrasi ini berfungsi membangkitkan kemauan dan keberanian untuk membangun konsep dan teori pendidikan Islam yang mampu menghadirkan konstruksi ilmu pendidikan Islam. Kesadaran ini penting sekali untuk dimiliki oleh para sarjana pendidikan Islam dan ahli atau pakar pendidikan Islam. Masih banyak sarjana atau bahkan pakar pendidikan Islam yang merasa khawatir salah dan belum berani menampilkan teori-teori pendidikan Islam hasil karyanya sendiri. Mereka sering mendalami karya-karya pendidikan Islam dari penulis dan pemikir lain, tetapi tidak cukup memiliki keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan memformulasikan teori-teori pendidikan Islam. Padahal, dari sisi bekal, banyak di antara mereka memiliki potensi untuk membangun teori pendidikan Islam sendiri, namun dari segi mental sedikit sekali yang berani menanggung risiko akibat dari konstruksi teori pendidikan Islam yang mereka rumuskan.
Yang Kelima, kesadaran manajerial pendidikan Islam. Integrasi ini bertugas menyadarkan para pelaku pendidikan . Siswa/santri/mahasiswa mengelola kegiatan belajar, guru/ustadz/dosen mengelola kelas dan proses pembelajaran, kepala sekolah/kepala madrasah/pengasuh pesantren/pengasuh majelis taklim/pimpinan perguruan tinggi berwenang mengelola lembaga pendidikan yang dipimpin, sedangkan Dirjen Pendidikan Islam dan M enteri Agama berwenang menentukan kebijakan umum dalam mengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada di seluruh Indonesia ini.
Kesadaran manajerial memiliki nilai yang sangat signifikan dan penting, sebab manajemen pendidikan Islam merupakan "pendatang baru" dalam dunia keilmuan sehingga melahirkan banyak perhatian dari berbagai kalangan.
Dalam berbagai kesempatan, baik pada saat saya mengajar di pascasarjana, menjadi pembicara seminar dan bedah buku, atau mengobrol, sering kali muncul pertanyaan dari berbagai kalangan, apakah manajemen pendidikan Islam itu ada? Pertanyaan ini bahkan pernah diajukan oleh salah seorang pengelola program studi manajemen pendidikan Islam.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut, pertama, karena mereka belum pernah membaca literatur tentang manajemen pendidikan Islam yang benar-benar berbeda dari literatur manajemen pendidikan, motifnya berarti tidak tahu; kedua, karena mereka ingin menguji pemikiran, wawasan, dan konsep orang yang ditanya tentang substansi manajemen pendidikan Islam, motifnya pengetesan dan sangat mungkin penanya sudah tahu; ketiga, karena 'pelecehan' terhadap keberadaan manajemen pendidikan Islam yang sarat nilai, sedangkan menurut mereka semestinya bebas nilai.
Apabila motifnya tidak tahu, tentunya harus dijelaskan dengan sebaik-baiknya, agar mereka benar-benar yakin (haqq al-yaqin), bukan hanya ‘ain al-yaqin, 'ilm al-yaqin. Apabila motifnya pengetesan, kita perlu waspada sebab penanya terkadang mencari pengetahuan dengan gaya mengetes. Sedangkan apabila motifnya 'pelecehan' disertai dengan sikap arogan, maka perlu dijawab secara tegas melalui penjelasan-penjelasan yang rasional dan bukti-bukti empiris dan riil. Untuk merespons motif ketiga ini dapat dijabarkan penjelasan sebagai berikut:
Pertama
Mereka (penanya) sangat yakin bahwa semua jenis manajemen bebas nilai, sehingga tidak ada manajemen pendidikan Islam, yang ada hanya manajemen pendidikan. Mereka menganggap bahwa manajemen yang benar adalah yang bersifat bebas nilai, dan semua manajemen yang diterapkan dewasa ini—termasuk manajemen Islam —adalah m anajemen yang bebas nilai. Identitas Islam tidak akan mampu membedakan manajemen pendidikan Islam dengan manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan bersifat universal dan berlaku di lembaga pendidikan apapun, baik lembaga pendidikan Islam, lembaga pendidikan Katolik, lembaga pendidikan Hindu, dan lain-lain.
Pandangan dan keyakinan demikian mungkin bertujuan untuk mensterilkan manajemen pendidikan dari nilai dan kepentingan tertentu. Namun entah disadari atau tidak bahwa manajemen pendidikan yang telah kita ikuti dan terapkan selama ini ternyata penuh dengan nilai dan kepentingan tertentu. Apabila dicermati lebih mendalam , manajemen pendidikan yang dianggap steril dari nilai dan kepentingan tersebut ternyata tidak lepas dari nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan kapitalisme sebagai aliran ekonomi yang menguasai dunia.
Pengaruh kapitalisme ini tampak pada tataran doktrin hingga aplikasi seperti pemilihan input yang baik-baik saja pada saat penerimaan siswa dan mahasiswa baru sebagai bagian dari konsep/doktrin mutu (input yang baik, proses yang baik dan output yang baik), komersialisasi biaya pendidikan bagi sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang maju, pengutamaan pada peserta didik yang pandai dan lain-lain. Di sam ping itu, manajemen pendidikan juga dipengaruhi positivisme yang terlihat jelas seperti pada penetapan penerimaan siswa/mahasiswa, standar nasional pendidikan, dan standar kelulusan.
Kedua
Manajemen , manajemen pendidikan, maupun manajemen pendidikan Islam pada dasarnya membahas perilaku berorganisasi. Perilaku berorganisasi ini termasuk wilayah sosial yang memiliki celah untuk dipengaruhi oleh nilai atau kepentingan tertentu. Tidak ada perilaku berorganisasi yang terhindar dari nilai atau kepentingan. Lazimnya perilaku berorganisasi itu selalu dipengaruhi oleh pikiran orang yang merumuskan teori-teori organisasi atau orang yang mengendalikan organisasi tersebut. Hal ini memberikan pemahaman bahwa tidak ada bentuk manajemen yang terlepas dari nilai atau kepentingan. Manajemen pendidikan yang selama ini dianggap 'bebas nilai' ternyata justru sangat diwarnai nilai-nilai kapitalistik dan positivistik.
Ketiga
Adanya pemikiran dan tindakan yang inkonsisten. Umat Islam memandang bahwa Al-Qur'an adalah kitab petunjuk yang dipedomani dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Al-Qur'an menjadi tempat konsultasi dalam masalah akidah, ibadah, dan pranata sosial yang dialami umat. Al-Qur'an telah mengatur berbagai bidang kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Konsep dan aplikasi pendidikan yang dipengaruhi Al-Qur'an dikenal sebagai pendidikan Islam. Keyakinan dan pengakuan mereka terhadap Al-Qur'an sebagai pedoman dan rujukan dalam kehidupan sehari-hari membawa konsekuensi pengakuan terhadap eksistensi pendidikan Islam.
Jika ditelusuri, maka akan terdapat berbagai sisi yang dapat dipelajari dari pendidikan Islam, misalnya sejarah pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pemikiran pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, evaluasi pendidikan Islam, dan manajemen pendidikan Islam. Oleh karena itu, manajemen pendidikan Islam adalah bagian integral dari pendidikan Islam, sehingga wajar adanya jika ilmu manajemen pendidikan Islam baru memperoleh perhatian besar, karena sebelumnya perhatian dicurahkan pada konstruksi ilmu pendidikan Islam. Pertanyaannya adalah mengapa mereka menerima eksistensi pendidikan Islam tetapi menolak manajemen pendidikan Islam? Pemikiran dan tindakan seperti ini jelas inkonsisten dan tidak relevan karena keluar dari alur logika.
Keempat
Adanya pemikiran dan pemahaman dikotomik terhadap sasaran/ruang lingkup petunjuk Al-Qur'an. Pemikiran dikotomik yang dimaksud adalah pemikiran dan pemahaman yang secara tajam membedakan--bahkan mempertentangkan— antara 'pendidikan Islam' dengan 'manajemen pendidikan Islam '. Pemikiran dan pemahaman dikotomik berusaha membelah antara keduanya menjadi wilayah keilmuan yang berbeda, dimana pendidikan Islam sarat akan nilai-nilai Islam, sedangkan manajemen pendidikan Islam dianggap bebas nilai (free value) sehingga seharusnya tidak ada, padahal manajemen pendidikan Islam itu berasal dan diturunkan dari ilmu pendidikan Islam itu sendiri.
Berdasarkan empat pertimbangan tersebut, maka timbul pertanyaan: Apakah manajemen pendidikan Islam itu ada?
Keberadaan manajemen pendidikan Islam setidaknya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang.
Pertama
Dari segi pengalaman atau penerapan. Rasulullah SAW telah berhasil dengan gemilang dalam mengelola pendidikan masyarakat. Manajemen pendidikan yang dipraktikkan Rasulullah SAW jauh lebih makro, lebih rumit, dan lebih kompleks dibandingkan dengan manajemen lembaga pendidikan yang jangkauannya terbatas.
Kedua,
Dari segi konsep normatif-teologis. Banyak ayat Al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang memberi inspirasi terhadap manajemen pendidikan Islam, baik secara redaksional maupun substantif. Nizar Ali dan Ibi Syatibi menegaskan bahwa ajaran Islam memiliki konsep-konsep manajemen yang tidak kalah hebat dari teori-teori manajemen yang dikembangkan Barat. Apabila konsep tersebut mam pu dikembangkan menjadi sebuah sistem, maka manajemen pendidikan Islam akan memiliki sistem tersendiri.
Ketiga
Dari segi bangunan teori. Manajemen pendidikan Islam merupakan embrio bangunan ilmu yang berdiri sendiri yang hingga sekarang ini belum mapan secara teoritis. Oleh karena itu, m anajemen pendidikan Islam membutuhkan keterlibatan para pakar pendidikan Islam dalam memberikan kontribusi teori untuk mem perkokoh konstruksi ilmu manajemen pendidikan Islam.
Kita harus merasa optimistis bahwa manajemen pendidikan Islam akan segera dapat diwujudkan sebagai sebuah disiplin ilmu jika para pakar pendidikan Islam mau menggarapnya secara serius dan maksimal. Sebagai sebuah embrio, manajemen pendidikan Islam telah memiliki banyak konsep normatif-teologis, sehingga peluang untuk mengembangkan disiplin ilmu ini sangat besar untuk pakar pendidikan Islam yang kini semakin banyak.
Ada beberapa hal yang sangat kita harapkan dari para pakar pendidikan Islam, antara lain:
Yang Pertama, epistemologi manajemen pendidikan Islam, yaitu integrasi yang meru uskan, membangun, dan mengembangkan ilmu manajemen pendidikan Islam. Konstruksi ilmu ini dimulai dengan merumuskan konsep, hipotesis, dan teori-teori manajemen pendidikan Islam. Integrasi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para ahli filsafat manajemen pendidikan Islam, para pemikir pendidikan Islam, dan para pakar manajemen pendidikan Islam guna menumbuhkan, membangun, dan mengembangkan konstruksi ilmu manajemen pendidikan Islam yang masih rapuh dan membutuhkan penguatan-penguatan secara konseptual, teoritis, dan aplikatif.
Yang Kedua, epistemologi kesadaran pendidikan Islam, yaitu integrasi yang merumuskan, membangun, serta mengembangkan ilmu tentang kesadaran pendidikan Islam. Integrasi ini dapat dim anfaatkan oleh pemikir pendidikan Islam, pakar pendidikan Islam khususnya pakar psikologi pendidikan Islam untuk membangun, menumbuhkan, dan mengembangkan formulasi ilmu tentang kesadaran pendidikan Islam. Kesadaran pendidikan Islam dalam tataran perilaku umat Islam adalah penentu keberhasilan dan kemajuan pendidikan Islam.
Yang Ketiga, manajemen kesadaran pendidikan Islam, yaitu integrasi yang mengelola atau membangkitkan kesadaran pendidikan Islam. Bagaimana para pelaku dan penanggung jawab pendidikan Islam dapat disadarkan untuk mengerjakan tugas pendidikan Islam yang melekat pada mereka secara sungguh-sungguh dengan ketulusan yang tinggi. Mereka bisa meliputi siswa/santri/mahasiswa, guru/ ustadz/dosen, kepala sekolah/kepala madrasah/pengasuh pesantren/ pengasuh majelis taklim/pimpinan perguruan tinggi baik rektor, dekan, ketua, maupun direktur; Menteri Agama, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Kakanwil Kemenag, Kakankemenag, dan juga masyarakat beserta tokoh-tokohnya.
Yang Keempat, kesadaran epistemologi pendidikan Islam. Integrasi ini berfungsi membangkitkan kemauan dan keberanian untuk membangun konsep dan teori pendidikan Islam yang mampu menghadirkan konstruksi ilmu pendidikan Islam. Kesadaran ini penting sekali untuk dimiliki oleh para sarjana pendidikan Islam dan ahli atau pakar pendidikan Islam. Masih banyak sarjana atau bahkan pakar pendidikan Islam yang merasa khawatir salah dan belum berani menampilkan teori-teori pendidikan Islam hasil karyanya sendiri. Mereka sering mendalami karya-karya pendidikan Islam dari penulis dan pemikir lain, tetapi tidak cukup memiliki keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan memformulasikan teori-teori pendidikan Islam. Padahal, dari sisi bekal, banyak di antara mereka memiliki potensi untuk membangun teori pendidikan Islam sendiri, namun dari segi mental sedikit sekali yang berani menanggung risiko akibat dari konstruksi teori pendidikan Islam yang mereka rumuskan.
Yang Kelima, kesadaran manajerial pendidikan Islam. Integrasi ini bertugas menyadarkan para pelaku pendidikan . Siswa/santri/mahasiswa mengelola kegiatan belajar, guru/ustadz/dosen mengelola kelas dan proses pembelajaran, kepala sekolah/kepala madrasah/pengasuh pesantren/pengasuh majelis taklim/pimpinan perguruan tinggi berwenang mengelola lembaga pendidikan yang dipimpin, sedangkan Dirjen Pendidikan Islam dan M enteri Agama berwenang menentukan kebijakan umum dalam mengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada di seluruh Indonesia ini.
Kesadaran manajerial memiliki nilai yang sangat signifikan dan penting, sebab manajemen pendidikan Islam merupakan "pendatang baru" dalam dunia keilmuan sehingga melahirkan banyak perhatian dari berbagai kalangan.
Dalam berbagai kesempatan, baik pada saat saya mengajar di pascasarjana, menjadi pembicara seminar dan bedah buku, atau mengobrol, sering kali muncul pertanyaan dari berbagai kalangan, apakah manajemen pendidikan Islam itu ada? Pertanyaan ini bahkan pernah diajukan oleh salah seorang pengelola program studi manajemen pendidikan Islam.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut, pertama, karena mereka belum pernah membaca literatur tentang manajemen pendidikan Islam yang benar-benar berbeda dari literatur manajemen pendidikan, motifnya berarti tidak tahu; kedua, karena mereka ingin menguji pemikiran, wawasan, dan konsep orang yang ditanya tentang substansi manajemen pendidikan Islam, motifnya pengetesan dan sangat mungkin penanya sudah tahu; ketiga, karena 'pelecehan' terhadap keberadaan manajemen pendidikan Islam yang sarat nilai, sedangkan menurut mereka semestinya bebas nilai.
Apabila motifnya tidak tahu, tentunya harus dijelaskan dengan sebaik-baiknya, agar mereka benar-benar yakin (haqq al-yaqin), bukan hanya ‘ain al-yaqin, 'ilm al-yaqin. Apabila motifnya pengetesan, kita perlu waspada sebab penanya terkadang mencari pengetahuan dengan gaya mengetes. Sedangkan apabila motifnya 'pelecehan' disertai dengan sikap arogan, maka perlu dijawab secara tegas melalui penjelasan-penjelasan yang rasional dan bukti-bukti empiris dan riil. Untuk merespons motif ketiga ini dapat dijabarkan penjelasan sebagai berikut:
Pertama
Mereka (penanya) sangat yakin bahwa semua jenis manajemen bebas nilai, sehingga tidak ada manajemen pendidikan Islam, yang ada hanya manajemen pendidikan. Mereka menganggap bahwa manajemen yang benar adalah yang bersifat bebas nilai, dan semua manajemen yang diterapkan dewasa ini—termasuk manajemen Islam —adalah m anajemen yang bebas nilai. Identitas Islam tidak akan mampu membedakan manajemen pendidikan Islam dengan manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan bersifat universal dan berlaku di lembaga pendidikan apapun, baik lembaga pendidikan Islam, lembaga pendidikan Katolik, lembaga pendidikan Hindu, dan lain-lain.
Pandangan dan keyakinan demikian mungkin bertujuan untuk mensterilkan manajemen pendidikan dari nilai dan kepentingan tertentu. Namun entah disadari atau tidak bahwa manajemen pendidikan yang telah kita ikuti dan terapkan selama ini ternyata penuh dengan nilai dan kepentingan tertentu. Apabila dicermati lebih mendalam , manajemen pendidikan yang dianggap steril dari nilai dan kepentingan tersebut ternyata tidak lepas dari nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan kapitalisme sebagai aliran ekonomi yang menguasai dunia.
Pengaruh kapitalisme ini tampak pada tataran doktrin hingga aplikasi seperti pemilihan input yang baik-baik saja pada saat penerimaan siswa dan mahasiswa baru sebagai bagian dari konsep/doktrin mutu (input yang baik, proses yang baik dan output yang baik), komersialisasi biaya pendidikan bagi sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang maju, pengutamaan pada peserta didik yang pandai dan lain-lain. Di sam ping itu, manajemen pendidikan juga dipengaruhi positivisme yang terlihat jelas seperti pada penetapan penerimaan siswa/mahasiswa, standar nasional pendidikan, dan standar kelulusan.
Kedua
Manajemen , manajemen pendidikan, maupun manajemen pendidikan Islam pada dasarnya membahas perilaku berorganisasi. Perilaku berorganisasi ini termasuk wilayah sosial yang memiliki celah untuk dipengaruhi oleh nilai atau kepentingan tertentu. Tidak ada perilaku berorganisasi yang terhindar dari nilai atau kepentingan. Lazimnya perilaku berorganisasi itu selalu dipengaruhi oleh pikiran orang yang merumuskan teori-teori organisasi atau orang yang mengendalikan organisasi tersebut. Hal ini memberikan pemahaman bahwa tidak ada bentuk manajemen yang terlepas dari nilai atau kepentingan. Manajemen pendidikan yang selama ini dianggap 'bebas nilai' ternyata justru sangat diwarnai nilai-nilai kapitalistik dan positivistik.
Ketiga
Adanya pemikiran dan tindakan yang inkonsisten. Umat Islam memandang bahwa Al-Qur'an adalah kitab petunjuk yang dipedomani dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Al-Qur'an menjadi tempat konsultasi dalam masalah akidah, ibadah, dan pranata sosial yang dialami umat. Al-Qur'an telah mengatur berbagai bidang kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Konsep dan aplikasi pendidikan yang dipengaruhi Al-Qur'an dikenal sebagai pendidikan Islam. Keyakinan dan pengakuan mereka terhadap Al-Qur'an sebagai pedoman dan rujukan dalam kehidupan sehari-hari membawa konsekuensi pengakuan terhadap eksistensi pendidikan Islam.
Jika ditelusuri, maka akan terdapat berbagai sisi yang dapat dipelajari dari pendidikan Islam, misalnya sejarah pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pemikiran pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, evaluasi pendidikan Islam, dan manajemen pendidikan Islam. Oleh karena itu, manajemen pendidikan Islam adalah bagian integral dari pendidikan Islam, sehingga wajar adanya jika ilmu manajemen pendidikan Islam baru memperoleh perhatian besar, karena sebelumnya perhatian dicurahkan pada konstruksi ilmu pendidikan Islam. Pertanyaannya adalah mengapa mereka menerima eksistensi pendidikan Islam tetapi menolak manajemen pendidikan Islam? Pemikiran dan tindakan seperti ini jelas inkonsisten dan tidak relevan karena keluar dari alur logika.
Keempat
Adanya pemikiran dan pemahaman dikotomik terhadap sasaran/ruang lingkup petunjuk Al-Qur'an. Pemikiran dikotomik yang dimaksud adalah pemikiran dan pemahaman yang secara tajam membedakan--bahkan mempertentangkan— antara 'pendidikan Islam' dengan 'manajemen pendidikan Islam '. Pemikiran dan pemahaman dikotomik berusaha membelah antara keduanya menjadi wilayah keilmuan yang berbeda, dimana pendidikan Islam sarat akan nilai-nilai Islam, sedangkan manajemen pendidikan Islam dianggap bebas nilai (free value) sehingga seharusnya tidak ada, padahal manajemen pendidikan Islam itu berasal dan diturunkan dari ilmu pendidikan Islam itu sendiri.
Berdasarkan empat pertimbangan tersebut, maka timbul pertanyaan: Apakah manajemen pendidikan Islam itu ada?
Keberadaan manajemen pendidikan Islam setidaknya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang.
Pertama
Dari segi pengalaman atau penerapan. Rasulullah SAW telah berhasil dengan gemilang dalam mengelola pendidikan masyarakat. Manajemen pendidikan yang dipraktikkan Rasulullah SAW jauh lebih makro, lebih rumit, dan lebih kompleks dibandingkan dengan manajemen lembaga pendidikan yang jangkauannya terbatas.
Kedua,
Dari segi konsep normatif-teologis. Banyak ayat Al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang memberi inspirasi terhadap manajemen pendidikan Islam, baik secara redaksional maupun substantif. Nizar Ali dan Ibi Syatibi menegaskan bahwa ajaran Islam memiliki konsep-konsep manajemen yang tidak kalah hebat dari teori-teori manajemen yang dikembangkan Barat. Apabila konsep tersebut mam pu dikembangkan menjadi sebuah sistem, maka manajemen pendidikan Islam akan memiliki sistem tersendiri.
Ketiga
Dari segi bangunan teori. Manajemen pendidikan Islam merupakan embrio bangunan ilmu yang berdiri sendiri yang hingga sekarang ini belum mapan secara teoritis. Oleh karena itu, m anajemen pendidikan Islam membutuhkan keterlibatan para pakar pendidikan Islam dalam memberikan kontribusi teori untuk mem perkokoh konstruksi ilmu manajemen pendidikan Islam.
Kita harus merasa optimistis bahwa manajemen pendidikan Islam akan segera dapat diwujudkan sebagai sebuah disiplin ilmu jika para pakar pendidikan Islam mau menggarapnya secara serius dan maksimal. Sebagai sebuah embrio, manajemen pendidikan Islam telah memiliki banyak konsep normatif-teologis, sehingga peluang untuk mengembangkan disiplin ilmu ini sangat besar untuk pakar pendidikan Islam yang kini semakin banyak.
Ada beberapa hal yang sangat kita harapkan dari para pakar pendidikan Islam, antara lain:
- Menyusun alur pemikiran yang logis untuk mendasari argumentasi-argumentasi bagi konstruksi ilmu manajemen pendidikan Islam
- Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap konstruksi ilmu manajemen pendidikan Islam.
- Mencermati dan mendalami realitas lembaga pendidikan Islam secara empiris pada berbagai jenjang, jenis, bentuk, dan tempat.
- Mengidentifikasi ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis yang berkaitan dengan bahan manajemen pendidikan Islam secara langsung atau tidak langsung, secara redaksional maupun substantif.
- Melakukan perbandingan rumusan-rumusan teoretis dengan praktik pengelolaan lembaga pendidikan Islam.
- Merumuskan konsep-konsep dan teori-teori manajemen pendidikan Islam secara mandiri dan tidak selalu bergantung pada konsep manajemen Barat.
Posting Komentar untuk "Integrasi Faktor Kunci Kemajuan Pendidikan Islam"