Menahan Marah dan Murka, Apa Bedanya?

Orang yang mampu menahan marah atau ghaizh adalah merupakan salah satu ciri dari orang yang bertakwa. Hal ini adalah sesuai dengan dalil firman Allah dalam Kitabullah al-Qur’an al-Karim Surat Ali Imran yang berbunyi sebagai berikut :

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ. ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Artinya : Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran : 134)

Imam Qurthubi juga menjelaskan pengertian ghoizh adalah hampir menyerupai ghadhab (marah). Akan tetapi secara bahasa arti atau pengertian ghadhab adalah tidak sama persis dengan ghaizh. Arti ghadhab adalah marah yang terwujud dalam atau dengan anggota tubuh pelakunya.

Seseorang yang marah pada sudut pandang ghadhab, maka ucapannya akan terucap kata-kata keji, terkadang tangannya ikut memukul, menampar atau dapat juga membanting benda atau barang yang ada di sekitar mereka. Di samping itu kakinya juga ikut serta bertindak. Arti atau pengertian gadhab yang tepat dala kamus bahasa Indonesia berarti murka.

Sedangkan pengertian ghaizh adalah marah yang terjadi da nada pada seseorang, akan tetapi kemarahannya hanya disimpan dan bergolak dalam hati saja yang tidak terwujud dalam anggota tubuh, baik tangan, kaki maupun ucapan atau mulutnya. Yang terjadi adalah pada wajahnya sedikit merah, matanya berkilat, namun tangan dan kakinya tidak bertindak serta tidak mengeluarkan kata-kata keji dan kotor. Arti yang tepat untuk kata ghaizh itu adalah adalah marah.
Bagaimana pandangan dari dalil hadits Nabi?

Dikisahkan dalam banyak dalil dari hadits Nabi Muhammad saw. dijelaskan bahwa Nabi apabila marah, Rasulullah tidak pernah menampakkannya dalam hal-hal atau wujud yang menyakiti orang lain atau merendahkan harga diri beliau. Diceritakan pada suatu hari Nabi Muhammad bersama Istrinya Aisyah, ada orang-orang Yahudi melintas di depan rumah Nabi dan memberi salam dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum (mati terkena racunlah kamu)

Kemudian Nabi menjawab salam mereka dengan jawaban : ‘Alaikum (atasmu juga)

Demikian juga halnya ‘Aisyah menjawab salam tersebut dengan jawaban : Wa’alaikum saam walla’nah (kamu semua mati terkena racun dan terkena laknat). Saat itu juga Nabi memberikan nasehat kepada Aisyah bahwa Allah menyukai berkasih sayang pada setiap sesuatu. (HR. Bukhari Muslim)

Dikisahkan juga, pada suatu ketika Maimun bin Mahran duduk di rumahnya beserta para tamu dan bersiap untuk makan bersama. Tiba-tiba salah satu budak perempuan yang membawa kuah sup terpeleset dan wajah Maimun bin Mahran terkena kuah sup tersebut. Seketika itu juga, Maimun bangkit dan akan memukul budak perempuannya itu.

Sang budak tersebut membaca surat Al-Qur’an yang artinya :”Orang yang bertakwa mampu menahan marah”

Kemudian Maimun menjawab : ya, aku menahan marahku. Kemudian bidak itu melanjutkan bacaan al-Qur’an yang artinya : “dan memaafkan kesalahan orang”. Lalu Maimun berkata : Aku memaafkanmu karena Allah. Lalu budah perempuan tersebut menutupnya dengan ayat yang artinya : Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Kemudian Maimun menjawab : Aku membebaskanmu karena Allah.

Surat yang dibacakan budak perempuan dari Maimun tersebut adalah surat Ali Imran ayat 133 sampai 134 yang sudah tersirat di atas.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menahan amarah atau marah. Namun ironisnya, banyak sekali kejadian-kejadian yang menunjukkan ketidakmampuan diri dalam menahan murka. Sebagai contoh misalnya dalam perjalanan berkendaraan dikarenakan macet, mulut mengucapkan kata-kata yang tidak layak, memaki-maki orang, menampar orang, memukul orang, tawuran dan lain sebagainya.

Apabila menahan diri dari murka yang menyakiti orang lain dan merusak ini belum dapat di implementasikan diri, bagaimana kita mampu menahan marah? Padahal orang yang taat dan bertakwa kepada Allah tidak diminta menahan murka, akan tetapi orang yang bisa menahan marah. Mari berlomba-lomba menjadi orang yang bertakwa yang bisa menahan murka sehingga selanjutnya dapat menahan marah. Di samping itu, menahan marah adalah bisa menjadi jalan menuju surga. Amiiin

Posting Komentar untuk "Menahan Marah dan Murka, Apa Bedanya?"