Kekuatan yang penting dari semua kekuatan-kekuatan akhlak manusia dan yang berkaitan dengan pembahasan kita adalah sebagai berikut.
- Kekuatan akal (al-quwwah al-'aqliyyah)\ tugasnya adalah mengenali hakikat berbagai hal, membedakan antara yang baik dan yang buruk, memerintah pada perbuatan-perbuatan baik, dan melarang dari sifat-sifat tercela.
- Kekuatan kemarahan (al-quwwah al-glwdlvibiyyah); yang dengannya manusia menolak sakit dari dirinya dengan bentuk apa pun, baik yang menurut syariat maupun yang tidak menurut syariat, dengan yang terbaik ataupun yang lainnya.
- Kekuatan syahwat (al-quwwah asy-syahwiyyah), yang dengannya manusia mencari manfaat untuk dirinya melalui pencarian makanan, minuman, pakaian, dan pernikahan. Kekuatan ini tidak memperhatikan apakah yang dicarinya merupakan masalah halal dan haram, suci dan najis, atau yang sebaiknya dikerjakan atau yang sebaiknya tidak dikerjakan. Jika nafsu mengikuti kekuatan syahwat ini maka ia dinamakan bahimiyyah, jika mengikuti kekuatan kemarahan, maka dinamakan sabu 'iyyah, dan jika mengikuti kekuatan akal yang berpikir, maka disebut mulkiyyah Ilahiyyah. Faedah adanya kekuatan syahwat adalah kelangsungan keberadaan badan yang merupakan alat untuk meraih kesempurnaan jiwa. Faedah adanya kekuatan kemarahan adalah untuk menghancurkan pagar syahwat setan serta memaksa keduanya pada penyelamannya di dalam tipuan dan syahwat dan ketekunan di dalamnya karena, dengan perlawanannya, keduanya tidak taat pada yang berakal dengan mudah, berbeda dengan ghadhabiyyah, karena keduanya taat padanya dan beradab dengan adabnya dengan mudah.Oleh karena itu, dalam menjelaskan sifat-sifat sabu 'iyyah dan bahimiyyah, Plato berkata, "Yang ini yaitu sabu iyyah seperti emas dalam kelembutan dan kebengkokan, dengan yaitu itu yaitu bahimiyyah seperti besi dalam kekerasan dan kekuatan. Ia juga berkata, “Betapa sulit mengembalikan yang tenggelam di dalam syahwat menjadi yang utama. Barangsiapa tidak ditaati kekuatan wahimiyyah dan syahwiyyah dalam mengutamakan pertengahan maka hendaklah meminta bantuan kekuatan ghadhabiyyah yang membangkitkan gairah dan perlindungan sehingga ia mengalahkan keduanya. Kalau keduanya tidak dapat ditundukkan dengan bantuan itu maka belum dihasilkan penyesalan. Menuruti tuntutan keduanya menunjukkan kemenangan keduanya atas yang berakal dan kekalahannya dari keduanya. Ketika itu, tidak diharapkan kebaikannya. Jika tidak, perbaikan dapat dilakukan. Oleh kaena itu, berusahalah dalam hal itu dan jangan berputus asa dari pertolongan Allah, kaena jalan kebaikan terbuka dan pintu- pintu rahmat Ilahi tidak tertutup (Jami’ as-Sa’adat karya Muhammad Mahdi an-Naraqi, jil.1, hal. 62)," Barangsiapa bersungguh- sungguh di [jalan] Kami niscaya. Kami tunjuki mereka ke jalan Kami (QS al-‘Ankabut [29]: 69).
- Kekuatan wahmiyyah; tugasnya adalah mempersepsi makna- makna parsial dan mendeduksi cara-cara dan hal-hal detail yang mengantarkannya ke tujuan-tujuan yang benar. Penjelasannya, wahimah, khayal, dan mutakhayyalah adalah tiga kekuatan yang saling bertentangan, dan ketiganya bertentangan dengan tiga kekuatan pertama. Tugas kekuatan pertama adalah mempersepsi makna-makna parsial (seperti mencintai Zayd), tugas kekuatan kedua adalah mempersepsi bentuk-bentuk (seperti rupa Zayd); dan tugas kekuatan ketiga adalah menyusun dan memisahkan keduanya. Setiap persepsinya bisa sesuai dengan realitas atau tercipta dari dirinya tanpa terealisasi baginya dalam perkara yang sama, dan bisa juga dari tuntutan akal dan syariat, dan dari wahana-wahana ke tujuan-tujuan yang benar, atau dari dorongan-dorongan setan dan yang dituntut ghadhab dan syah-wat. Pada yang pertama, keberadaannya merupakan kebaikan dan kesempurnaan, walaupun pada yang kedua merupakan kejahatan dan kerusakan. (Ibid )" Jika nafs menyokon g wahimah dan dengan tujuan menciptakan makar dan tipuan untuk sampai pada tujuan-tujuan itu dengan penyamaran dan kecurangan maka ia dinamakan syaithaniyyah (Silakan merujuk pada pembahasan Allah ath-Thabathaba’I tentang tema ini dalam al-Mizan, jil, 1, hal. 371. di antara ucapannya adalah: “Akhlak manusia berakhir pada tiga kekuatan.”).
Kemudian, setiap kekuatan dari kekuatan-kekuatan ini memiliki kesempurnaan, batasan keseimbangan, serta dua batasan: kelalaian dan keterlaluan.
Batasan keseimbangan dalam kekuatan syahwiyyah adalah seseorang menjadi suci, berakal, dan mengikuti syariat. Ia memiliki batasan keterlaluan dalam kekuatannya dan batasan kelalaian dalam kepadaman- nya. Kekuatan ghadhabiyyah memiliki kesempurnaan dan batasan keseimbangan dalam keberanian, batasan kelalaian dan kekurangan dalam kepenakutan, dan batasan keterlaluan dan juga kekurangan dalam ketergesa-gesaan. Adapun kekuatan fikriyyah, kesempurnaannya terletak pada hikmah; kelalaiannya ada pada kedunguan, dan keterlaluannya ada pada kejahatan.
Karena setiap kekuatan dari ketiga kekuatan ini menginginkan segala sesuatu, menuntutnya, dan mendorong seseorang untuk memperolehnya, bahkan kalaupun bertentangan dengan kepentingan kedua kekuatan lainnya, maka tidak ada batasan—misalnya—bagi kekuatan yang dituntut kekuatan syahwiyyah, bahkan kalaupun hal itu berpengaruh terhadap kekuatan fikriyyah seseorang dan menyebabkan kelamban- annya dan kelemahan pikirannya. Dari sini, terjadi persaingan di antara kekuatan-kekuatan ini dan teijadi peperangan besar di dalam kerajaan dan wilayah jiwa. Hal ini ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ketika beliau berkata kepada sekelompok orang yang kembali dari jihad. Beliau bersabda, "Selamat bagi kaum yang telah menyelesaikan jihad kecil dan kini kalian harus menghadapi jihad besar. (Al-Kafi, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, jil. 5, hal. 12)" Hal itu tiada lain adalah karena pertempuran-pertempuran eksternal—jihad kecil—yang memiliki batasan waktu tertentu yang berakhir padanya. Tinggallah pertempuran internal—jihad besar—menyertai seseorang hingga akhir hayatnya selama ia memiliki syahwat, ghadhab, dan akal.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh membiarkan satu kekuatan dari ketiga kekuatan ini menempuh jalan kelalaian dan keterlaluan serta berpaling dari jalan tengah ke sisi kelebihan dan kekurangan, karena hal itu akan menyebabkan penyimpangan dari tujuan diciptakannya manusia. Ia tidak memiliki jalan lain kecuali menegakkan keseimbangan di antara ketiga kekuatan ini serta memberikan kepada ketiga kekuatan itu haknya masing-masing dan menempatkannya di tempat yang sepantasnya. Apabila seseorang melakukan hal itu, maka akan dihasilkan talenta keempat di dalam dirinya, yaitu "keadilan" ('adalah) dalam istilah ilmu akhlak, bukan 'adalah dalam istilah ilmu fiqih. Talenta keempat ini pun memiliki aspek keterlaluan, yaitu keaniayaan, dan batasan kelalaian, yaitu keteraniayaan.
Alhasil,'adalah dalam ilmu akhlak merupakan pertengahan di antara sisi kelalaian dan sisi keterlaluan. Pertengahan itu adalah jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim), (Abad an-Nafs, hal. 7) Allah SWT berfirman: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. [Yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat (QS al-Fatihah [1]: 6-7). Di tempat lain, Allah SWT menjelaskan siapakah orang-orang yang telah diberi nikmat itu dengan firman-Nya: Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul, mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqun, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang salih, dan mereka itulah teinan yang sebaik-baiknya.( QS an-Nisa’ [4]: 69)
Jika akal seseorang mampu mengalahkan syahwatnya dan membe-rinya kekuasaan atas syahwat maka ia lebih utama dari para malaikat. Jika sebaliknya, ia menjadikan akal sebagai tawanan syahwat dan syahwat menguasai akal, maka ia lebih tersesat daripada binatang ternak.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Sannan: Aku bertanya kepada Abu 'Abdullah Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq a.s., ihwal manakah yang lebih utama antara malaikat dan anak Adam. Beliau menjawab, "Amirul Mukminin Ali a.s. berkata, Allah membekali para malaikat dengan akal tanpa syahwat, membekali binatang dengan syahwat tanpa akal, dan membekali anak Adam dengan keduanya—akal dan syahwat. Oleh kiirena itu, barangsiapa yang akalnya menguasai, syahwatnya maka ia lebih baik dari para malaikat, tetapi barangsiapa yang syahwatnya menguasai akalnya, maka ia lebih jahat daripada binatang. (Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah ila Tahshil Masa’il asy-Syari’ah, karya Syaikh Muhammad bin al-Hasan al-Hurr al-‘Amili (w.1104), Tahqiq: Mu’assasah Alu Bayt a.s. li Ihya’ at-Turats, jil. 15, hal. 209)
Allah SWT berfirman:
Dan, sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami [ayat-ayat Allah] dan mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat [tanda-tanda kekuasaan Allah], dan mereka memiliki telinga tetapi tidak dipergunakan untuk ?nendengar [ayat-ayat Allah]. Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS al-A’raf [7]: 179) .
Atau apakah kalian mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalan (QS al-Furqan [25]: 44.66. QS an-Nisa’ [4]: 69).