Perkara yang Wajib Dipikirkan Manusia dalam Islam

Berpikir, berdasarkan tema yang dipikirkan seseorang, dapat juga dikla­sifikasikan ke dua kategori. Pertama, kategori ini adalah seseorang berpikir tentang sifat-sifat, perbuatan, dan kekuasaan Allah. Riwayat yang menunjukkan hal ini banyak sekali. Diriwayatkan dari Rasulullah saw., "Berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah setahun.[ Ibid, hal. 193]" Dalam riwayat lain disebutkan, "... lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun." Diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq a.s., "Ibadah yang paling utama adalah kebiasaan berpikir tentang Allah dan kekuasaan-Nya.[ Ibid, hal. 194]" Masih banyak riwayat tentang hal ini. Penjelasan lebih detail tentang kategori ini akan diketengahkan setelah ini, insya Allah. 

Kedua, kategori ini adalah seseorang berpikir tentang diri, perbuatan, gerak, diam, dan pembawaannya. Dengan kata lain, berpikir tentang kemaksiatan dan ketaatan, apa yang telah dia lakukan? Apakah perbuatannya berupa kebaikan atau keburukan? Apakah perbuatan-perbuatan baik yang datang darinya memiliki pangkal dan pembawaan yang teguh di dalam eksistensinya dan darinya datang perbuatan-perbuatan ini sehingga ia memeliharanya dan berusaha memperbanyaknya, atau perbuatan-perbuatan ini datang darinya sebagai "keadaan" sehing­ga ia berusaha mengubahnya menjadi "pembawaan"? Demikian pula, di dalam perbuatan-perbuatan buruk serta sumber dan pangkalnya. Ketika itu, ia tidak berpaling pada pengaruh dan akibat, melainkan ia harus mencabut "pangkal" dan pembawaan yang menjadi sumbernya. Al-Faydh al-Kasyani mengetengahkan pembahasan ini dalam al-Mahajjah al-Baydha dan menyebutkan bahwa perkara-perkara yang harus dipikirkan seseorang ada empat jenis. 

Jenis pertama: kemaksiatan 

Setiap pagi, dalam sehari, hendaklah hamba meneliti ketujuh organ tubuhnya secara detail, lalu seluruh badannya, apakah ketika itu dengan­nya ia dihadapkan pada kemaksiatan lalu meninggalkannya, atau kema­rin ia dihadapkan padanya lalu meninggalkannya dan menyesali, atau ia menghadapinya pada siang hari lalu bersiap-siap untuk menahan diri dan menghindarinya.[ Al-Mahajjah al-Baydha’, karya al-Faydh al-Kasyani, jil. 8, hal. 201 ] Kemudian, al-Faydh al-Kasyanl r.a. menyebutkan sejumlah contoh­nya. 

Jenis kedua: ketaatan 

Jenis kedua adalah ketaatan. Terlebih dahulu, ia melihat fardhu-fardhu yang ditetapkan, bagaimana menunaikannya dan bagaimana memeliharanya dari kekurangan dan kelalaian, atau bagaimana ia menutupi kekurangan-kekurangannya dengan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah. kemudian, ia kembali pada organ demi organ, lalu memikirkan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengannya yang telah diwajibkan Allah SWT. 

Selanjutnya, al-Faydh al-Kasyani r.a. menyebutkan contoh-contoh-nya. 

Bagaimanapun, seseorang harus memikirkan ketaatannya, bagaimana ia menunaikannya. Sebab, kadang-kadang kewajiban itu dilaksanakan, tetapi dilaksanakan seperti sabda Rasulullah saw.: "Engkau seperti palukan gagak. Kadung kadang, kewajibanmu ditunaikan dengan perasaan berat sehingga pada Hari Kiamat kewajiban tersebut melaknatnya, ketika shalat mengatakan misalnya: "Engkaulah menyia-nyiakanku [dan kini] Allah menyia-nyiakanmu." Kadang-kadang, ia membaca Al quran, tetapi Alquran justru melaknatnya. Mereka itu balasannya ialah bahwa laknat Allah ditimpakan kepada mereka, [demikian pula] laknat para malaikat dan manusia seluruhnya.[ QS Ali 'Imran [3]: 87.] Sebab, ia mengerjakan pekerjaan yang di situ terdapat salah satu substantiasi yang memberikan laknat kepadanya. 

Jenis ketiga: sifat-sifat yang membinasakan 

Jenis ketiga adalah sifat-sifat yang membinasakan, yang tempatnya ada­lah hati: berkuasanya syahwat, ghadhab, kesombongan, ujub, riya, hasud, buruk sangka, kelalaian, tipuan, dan sebagainya. Ia harus mencari sifat-sifat ini di dalam hatinya. Kalau ia mengira bahwa hatinya telah bersih dari sifat-sifat tersebut maka ia harus berpikir tentang bagaimana merenunginya dan mencari tanda-tandanya. Sebab, nafs selalu memper­siapkan kebaikan dari dirinya .. .(dan seterusnya).[ Al-Mahajjah al-Baydha , karya al-Faydh al-Kasyani, jil. 8, hal. 203.] 

Jenis keempat: Munjiyat 

Jenis keempat adalah munjiyat, yaitu pertobatan dan penyesalan atas dosa-dosa, bersabar atas bencana, bersyukur atas nikmat, takut dan harap, kezuhudan terhadap dunia, keikhlasan dan ketulusan di dalam ketaatan, kecintaan kepada Allah 'Azza waJalla, mengagungkan-Nya, ridha terhadap tindakan-tindakan-Nya, serta kerinduan, kekhusyukan, dan kerendahhatian kepada-Nya. Hendaklah setiap hari hamba berpikir tentang hatinya, apa yang dibutuhkan dari sifat-sifat ini yang dapat mendekatkan diri kepada Allah 'Azza waJalla. Apabila ia membutuhkan sesuatu dari sifat-sifat tersebut, maka hendaklah ia mengetahui bahwa sifat itu merupakan keadaan-keadaan yang tidak membuahkan kecuali pengetahuan, dan bahwa pengetahuan itu tidak membuahkan kecuali pemikiran ... (dan seterusnya).[ Ibid., hal. 204] Jelaslah bahwa al-Faydh al-Kasyani r.a. telah menunjukkan jenis ketiga dan keempat pada pembawaan (malakah) yang merupakan sumber perbuatan durhaka dan perbuatan salih. Ia mengatakan seseorang harus berpikir tentang pembawaan-pembawaannya, mencermatinya, dan merenunginya agar dapat mencabut akar perbuatan durhaka dan menghilangkannya, lalu menguatkan akar perbuatan salih dan memper­banyaknya. Semua itu berdasarkan keadaannya. 

Allah SWT berfirman: Katakanlah, "Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.[ QS al-Isra' [17]: 84. ] " 

Apabila keadaan dan batinnya buruk, maka ia tidak akan mengeluar­kan kecuali tumbuh-tumbuhan yang jelek dan merana. Sebaliknya, jika keadaan dan batinnya baik dan suci, maka tumbuhannya pun keluar dengan baik dan suci. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanam-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesar­an [Kami] bagi orang-orang yang bersyukur. [QS al-A'raf [7]: 58.] Pohon yang baik selalu berbuah, dan buahnya pun baik. Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya [menjulang] ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. 

Sementara itu, pohon yang buruk adalah buruk dan buahnya terkutuk. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan tanah, tidak dapat tetap [tegak] sedikit pun.[ QS Ibrahim [14]: 24-26.] 

Terdapat pohon zaqqum yang pada setiap orang ada dahannya. Terdapat pula pohon Thuba yang akarnya ada di rumah 'Ali dan Fathimah, karena penghuni rumah ini adalah akar dan bahan segala kebaikan. Dengan mereka, Allah memulai dan dengan mereka pula Dia mengakhi­ri. Di setiap rumah orang Mukmin, pohon ini memiliki dahannya. Ba­rangkali, yang dimaksud dengan rumah ini—wallahua'lam—adalah hati, bukan rumah material, batu bata, dan tanah. Seperti inilah ucapan mere­ka dalam menafsirkan firman Allah SWT: 

Barangsiapa keluar dari rumah­nya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menimpanya [sebelum sampai ke tempat yang dituju], maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.[QS an-Nisa' [4]: 100.] 

Mereka berkata, "Rumah inilah yang darinya seseorang bertolak untuk berhijrah, yaitu rumah hati (qalb) dan rumah dunia dan syhawat, bukan rumah material dan batu bata. Sebab, hijrah dari rumah tanah dan batu tidak ada nilainya jika seseorang lelap bergantung pada dunia ini dan syahwatnya. Akan tetapi, hijrah yang menjadikan pahala orang yang mati untuk tujuan tersebut tersimpan di sisi Allah adalah hijrah dan perjalanan kepada-Nya, bukan perjalanan ke batu-batu di Makkah. Walaupun akhirat merupakan manifestasi tauhid, tetapi bukan hanya ia yang dimaksud. Akan tetapi, yang dimaksud adalah seseorang bertawaf di sekeliling makna-makna tauhid yang hakiki. 

Posting Komentar untuk "Perkara yang Wajib Dipikirkan Manusia dalam Islam"