Bagaimana cara untuk membangkitkan motivasi anak untuk mendapatkan pekerjaan mencari nafkah, rizki dengan cara yang paling baik? Tanggung jawab terpenting yang harus dihadapi pendidik, orang tua terhadap anaknya adalah memberi dorongan untuk mendapatkan pekerjaan yang bebas, baik pertukangan, pertanian atau perniagaan sebagaimana contoh-contoh bukti kisah para Nabi yang menegaskan begitu penting dan mulianya pekerjaan, mencari nafkah dan rizki.
Minat bekerja untuk mencari pekerjaan guna mendapatkan nafkah dan rizki harus mulai ditanamkan sejak usia muda, dilatih bekerja pada berbagai keahlian dan pertukangan. Upaya tersebut dilaksanakan setelah melewati masa pendidikan sekolah dasar untuk mempelajari kaligrafi, bahasa Arab, mempelajari Al-Qur'an dan keharusan mempelajari ilmu-ilmu syari'ah, sejarah dan pengetahuan alam semesta, dalam rangka mempersiapkan anak untuk mencari pekerjaan untuk rizki dan nafkah dengan usaha dan keringatnya sendiri.
Dengarkan apa yang dikatakan Ibnu Sina tentang ajaran pertukangan dan ketrampilan: "Jika sang anak selesai mempelajari Al-Qur'an, menghafal kaidah-kaidah pokok bahasa, maka ketika itu harus dilihat minatnya dalam hal ketrampilan, diarahkan dan dibukakan jalannya. Jika ia berminat pada bidang tulis menulis, maka di samping diajarkan ilmu bahasa, juga ditambah pelajaran tentang risalah, khutbah, wawancara kepada orang-orang yang penting dan lain sebagainya. Juga dilatih ilmu hitung, di bawa masuk ke "dewan" untuk mempelajari kaligrafinya. Jika ia menginginkan yang lain, hendaknya diarahkan".
Mempelajari Al-Qur'an untuk mengetahui pokok-pokok bahasa merupakan bagian materi pengkajian asasi dalam metodologi Islam. Jika sang anak menguasai dua materi ini, harus diperhatikan minat dan kecenderungannya dan kemampuannya. Kemudian, dibimbing dalam menuju kecenderungan itu sehingga ia mampu mengerjakan dengan baik.
Masalah-masalah yang menunjukkan perhatian kaum Muslimin terhadap ketrampilan mencari rizki, di bawah ini kami ketengahkan kisah orang-orang yang memegang profesi sebagai ahli kaligrafi.
Menjelang wafatnya ayah Imam Al-Ghazali, sang ayah menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada teman dekatnya yang sangat mencintai kebaikan. Sang ayah mengatakan, "Kaya sangat menyesal, karena tidak pernah belajar khath (kaligrafi). Saya ingin, penyesalan seperti ini tidak diulangi lagi oleh kedua anakku ini, Muhammad dan Ahmad. Ajarilah keduanya itu Khath. Jika harta warisanku yang kuberikan pada kedua anakku ini sampai habis, bagi saya tidak menjadi persoalan, untuk belajar darimu".
Setelah sang ayah wafat, mulailah ahli sufi itu mengajar kedua anak itu, sehingga harta warisan peninggalan ayahnya habis. Kedua anak itu pun minta maaf kepada sang ahli sufi, gurunya, karena tidak dapat memberinya makan.
Ahli sufi itu mengatakan, "Ketahuilah, bahwa saya telah membelanjakan untukmu berdua apa yang menjadi milikmu. Sesungguhnya, saya adalah seorang fakir, zahid, tidak mempunyai harta untuk menolong kamu berdua. Saya berpendapat bahwa yang paling sesuai untuk kamu berdua adalah pergi ke sekolah-sekolah kamu sebagian dari para siswa. Dengan demikian, kamu akan mendapatkan makanan pokok yang dapat membuat kehidupan.
Maka kedua anak itu, Muhammad (Al-Ghazali) dan Ahmad melaksanakan arahan ahli sufi tersebut. Cara inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan keluhuran derajatnya. Imam Al-Ghazali menuturkan kisah ini dengan perkataannya, "Kami mencari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu yang kami dapat semata-mata untuk Allah".
Membedakan anak dalam mengajarkan pendidikan keterampilan dan pertukangan
Kita harus membedakan antara dua anak dalam mengajarkan ketrampilan dan pertukangan:
1. Golongan yang berhasil dalam belajarnya.
Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pandai dan cerdik. Orang-orang seperti ini, disarankan untuk meneruskan (studi) hingga selesai. Tetapi pada waktu-waktu libur atau senggang, mereka hendaknya belajar ketrampilan, pertukangan atau keahlian tertentu sesuai dengan bakatnya masing-masing. Sebab, mereka lidak mengetahui kejadian yang akan dihadapinya pada masa yang akan datang. Adalah benar orang yang berkata, "Ketrampilan tangan akan menghindarkan kefakiran". Semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada Umar bin Khaththab ketika berkata, "Sesungguhnya saya melihat seseorang yang mengherankan aku, maka aku bertanya, " 'Apakah ia punya ketrampilan?' Jika mereka mengatakan, 'Tidak', maka orang yang saya kagumi itu tidak ada harganya lagi di mataku".
2. Golongan yang tertinggal atau lamban dalam belajarnya.
Pada umumnya, mereka adalah orang yang mempunyai kecerdasan pertengahan atau bodoh. Anak-anak seperti ini, setelah diajarkan masalah yang berkaitan dengan agama dan kehidupan dunia harus segera diarahkan pada suatu ketrampilan dan spesialisasi pertukangan. Pada waktu itu, orangtua atau pendidik hendaknya mengerti akan ketidakmampuan mereka dalam mencari ilmu yang lebih dari itu. Adalah sangat keliru orangtua (wali murid) meneruskan studi mereka, sedang kemampuan otak sangat terbatas.
Berapa banyak kita mendengar kejadian tentang anak-anak yang telah mencapai usia remaja. Mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan dan belum belajar ketrampilan. Hal ini disebabkan kekurangan pandangan orangtua atau pendidik dalam menempatkan anak, bukan pada tempat yang sesuai. Bisa saja mereka hidup menjadi tanggungan orang lain, mengharap. belas kasihan dan pemberian orang. Atau, secara bertahap meniti "anak tangga" kriminal untuk merampas harta orang lain, mengganggu keamanan dan ketenteraman. Dalam kedua keadaan seperti itu, terdapat penodaan kehormatan manusia dan penghinaan terhadap kepribadiannya.
Dengan demikian para orangtua dan pendidik hendaknya berlaku waspada dalam menghadapi kenyataan ini, agar mereka mengetahui bagaimana mempersiapkan anak-anaknya untuk mengarungi bahtera kehidupan, mempersiapkan untuk menerima tugas yang paling berat dan tanggung jawab yang paling besar.
Motivasi Pada anak perempuan
Akan halnya, wanita wajib mempelajari ketrampilan yang sesuai dengan tugas dan spesialisasinya sebagai ibu dan istri, baik berhubungan dengan pokok-pokok pendidikan anak, tugas-tugas rumah, ketrampilan menjahit dan ketrampilan lain yang bermanfaat dan dibutuhkan.
Sedang pekerjaan dan tanggung jawab lainnya, Islam memberikan peringatan:
Karena pekerjaan dan tanggung jawab tersebut tidak sesuai dengan kondisi jasmani dan karakter kewanitaannya. Misalnya, pergi ke medan jihad, menjadikannya sebagai ahli bangunan atau pandai besi. Karena pekerjaan tanggung jawab itu bertentangan dengan tugas alaminya. Sebab, ia diciptakan untuk menghadapi tugas tersebut sehingga tidak layak wanita bekerja di luar rumah sebagai buruh di pabrik atau pegawai pada sebuah perusahaan, Sedang ia mempunyai suami, anak dan tugas-tugas rumah.
Karena pekerjaan dan tanggung jawab itu jika dilakukan akan menimbulkan kerusakan sosial yang berbahaya. Misalnya, keharusan berada dalam lingkungan atau tugas yang di dalamnya bercampur baur antara laki-laki dan wanita yang berdasarkan ajaran dan fitrah islam itu bisa menjadikan fitnah dan dilarang bercampur baur antara laki-laki dan wanita.
Menurut pandangan orang-orang yang berpikir matang, buhwa sikap Islam "mentidak-usahkan" pada wanita melakukan pekerjaan dan tanggung jawab di atas, berarti Islam sangat menghargai kaum wanita, memelihara kewanitaannya, meninggikan kehormatan dan martabatnya.
Jika tidak, siapakah yang rela jika wanita melakukan pekerjaan dengan meninggalkan tugas-tugas, di mana ia diciptakan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut?
Siapa yang rela wanita melakukan pekerjaan berat yang melelahkan badan, menghilangkan sifat kewanitaan, menyebabkan sakit dan cedera?
Siapa pula yang rela wanita menerjunkan diri dalam pekerjaan campur baur yang menyebabkan kehormatannya ternoda dan harga dirinya jatuh?
Adakah yang lebih berharga bagi wanita dibanding kehormatan dan harga dirinya?
Kesimpulannya: hendaklah kita mengarahkan anak-anak kita untuk mendapatkan ketrampilan dan keahlian untuk mencari pekerjaan dan menghasilkan nafkah dan rizki dari tangannya sendiri. Sehingga, dapat dijadikan sandaran dalam memelihara kehormatan, menjaga kepribadian dan merealisasikan kehidupan yang layak bagi mereka !
Dengarkan apa yang dikatakan Ibnu Sina tentang ajaran pertukangan dan ketrampilan: "Jika sang anak selesai mempelajari Al-Qur'an, menghafal kaidah-kaidah pokok bahasa, maka ketika itu harus dilihat minatnya dalam hal ketrampilan, diarahkan dan dibukakan jalannya. Jika ia berminat pada bidang tulis menulis, maka di samping diajarkan ilmu bahasa, juga ditambah pelajaran tentang risalah, khutbah, wawancara kepada orang-orang yang penting dan lain sebagainya. Juga dilatih ilmu hitung, di bawa masuk ke "dewan" untuk mempelajari kaligrafinya. Jika ia menginginkan yang lain, hendaknya diarahkan".
Mempelajari Al-Qur'an untuk mengetahui pokok-pokok bahasa merupakan bagian materi pengkajian asasi dalam metodologi Islam. Jika sang anak menguasai dua materi ini, harus diperhatikan minat dan kecenderungannya dan kemampuannya. Kemudian, dibimbing dalam menuju kecenderungan itu sehingga ia mampu mengerjakan dengan baik.
Masalah-masalah yang menunjukkan perhatian kaum Muslimin terhadap ketrampilan mencari rizki, di bawah ini kami ketengahkan kisah orang-orang yang memegang profesi sebagai ahli kaligrafi.
Menjelang wafatnya ayah Imam Al-Ghazali, sang ayah menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada teman dekatnya yang sangat mencintai kebaikan. Sang ayah mengatakan, "Kaya sangat menyesal, karena tidak pernah belajar khath (kaligrafi). Saya ingin, penyesalan seperti ini tidak diulangi lagi oleh kedua anakku ini, Muhammad dan Ahmad. Ajarilah keduanya itu Khath. Jika harta warisanku yang kuberikan pada kedua anakku ini sampai habis, bagi saya tidak menjadi persoalan, untuk belajar darimu".
Setelah sang ayah wafat, mulailah ahli sufi itu mengajar kedua anak itu, sehingga harta warisan peninggalan ayahnya habis. Kedua anak itu pun minta maaf kepada sang ahli sufi, gurunya, karena tidak dapat memberinya makan.
Ahli sufi itu mengatakan, "Ketahuilah, bahwa saya telah membelanjakan untukmu berdua apa yang menjadi milikmu. Sesungguhnya, saya adalah seorang fakir, zahid, tidak mempunyai harta untuk menolong kamu berdua. Saya berpendapat bahwa yang paling sesuai untuk kamu berdua adalah pergi ke sekolah-sekolah kamu sebagian dari para siswa. Dengan demikian, kamu akan mendapatkan makanan pokok yang dapat membuat kehidupan.
Maka kedua anak itu, Muhammad (Al-Ghazali) dan Ahmad melaksanakan arahan ahli sufi tersebut. Cara inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan keluhuran derajatnya. Imam Al-Ghazali menuturkan kisah ini dengan perkataannya, "Kami mencari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu yang kami dapat semata-mata untuk Allah".
Membedakan anak dalam mengajarkan pendidikan keterampilan dan pertukangan
Kita harus membedakan antara dua anak dalam mengajarkan ketrampilan dan pertukangan:
1. Golongan yang berhasil dalam belajarnya.
Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pandai dan cerdik. Orang-orang seperti ini, disarankan untuk meneruskan (studi) hingga selesai. Tetapi pada waktu-waktu libur atau senggang, mereka hendaknya belajar ketrampilan, pertukangan atau keahlian tertentu sesuai dengan bakatnya masing-masing. Sebab, mereka lidak mengetahui kejadian yang akan dihadapinya pada masa yang akan datang. Adalah benar orang yang berkata, "Ketrampilan tangan akan menghindarkan kefakiran". Semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada Umar bin Khaththab ketika berkata, "Sesungguhnya saya melihat seseorang yang mengherankan aku, maka aku bertanya, " 'Apakah ia punya ketrampilan?' Jika mereka mengatakan, 'Tidak', maka orang yang saya kagumi itu tidak ada harganya lagi di mataku".
2. Golongan yang tertinggal atau lamban dalam belajarnya.
Pada umumnya, mereka adalah orang yang mempunyai kecerdasan pertengahan atau bodoh. Anak-anak seperti ini, setelah diajarkan masalah yang berkaitan dengan agama dan kehidupan dunia harus segera diarahkan pada suatu ketrampilan dan spesialisasi pertukangan. Pada waktu itu, orangtua atau pendidik hendaknya mengerti akan ketidakmampuan mereka dalam mencari ilmu yang lebih dari itu. Adalah sangat keliru orangtua (wali murid) meneruskan studi mereka, sedang kemampuan otak sangat terbatas.
Berapa banyak kita mendengar kejadian tentang anak-anak yang telah mencapai usia remaja. Mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan dan belum belajar ketrampilan. Hal ini disebabkan kekurangan pandangan orangtua atau pendidik dalam menempatkan anak, bukan pada tempat yang sesuai. Bisa saja mereka hidup menjadi tanggungan orang lain, mengharap. belas kasihan dan pemberian orang. Atau, secara bertahap meniti "anak tangga" kriminal untuk merampas harta orang lain, mengganggu keamanan dan ketenteraman. Dalam kedua keadaan seperti itu, terdapat penodaan kehormatan manusia dan penghinaan terhadap kepribadiannya.
Dengan demikian para orangtua dan pendidik hendaknya berlaku waspada dalam menghadapi kenyataan ini, agar mereka mengetahui bagaimana mempersiapkan anak-anaknya untuk mengarungi bahtera kehidupan, mempersiapkan untuk menerima tugas yang paling berat dan tanggung jawab yang paling besar.
Motivasi Pada anak perempuan
Akan halnya, wanita wajib mempelajari ketrampilan yang sesuai dengan tugas dan spesialisasinya sebagai ibu dan istri, baik berhubungan dengan pokok-pokok pendidikan anak, tugas-tugas rumah, ketrampilan menjahit dan ketrampilan lain yang bermanfaat dan dibutuhkan.
Sedang pekerjaan dan tanggung jawab lainnya, Islam memberikan peringatan:
Karena pekerjaan dan tanggung jawab tersebut tidak sesuai dengan kondisi jasmani dan karakter kewanitaannya. Misalnya, pergi ke medan jihad, menjadikannya sebagai ahli bangunan atau pandai besi. Karena pekerjaan tanggung jawab itu bertentangan dengan tugas alaminya. Sebab, ia diciptakan untuk menghadapi tugas tersebut sehingga tidak layak wanita bekerja di luar rumah sebagai buruh di pabrik atau pegawai pada sebuah perusahaan, Sedang ia mempunyai suami, anak dan tugas-tugas rumah.
Karena pekerjaan dan tanggung jawab itu jika dilakukan akan menimbulkan kerusakan sosial yang berbahaya. Misalnya, keharusan berada dalam lingkungan atau tugas yang di dalamnya bercampur baur antara laki-laki dan wanita yang berdasarkan ajaran dan fitrah islam itu bisa menjadikan fitnah dan dilarang bercampur baur antara laki-laki dan wanita.
Menurut pandangan orang-orang yang berpikir matang, buhwa sikap Islam "mentidak-usahkan" pada wanita melakukan pekerjaan dan tanggung jawab di atas, berarti Islam sangat menghargai kaum wanita, memelihara kewanitaannya, meninggikan kehormatan dan martabatnya.
Jika tidak, siapakah yang rela jika wanita melakukan pekerjaan dengan meninggalkan tugas-tugas, di mana ia diciptakan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut?
Siapa yang rela wanita melakukan pekerjaan berat yang melelahkan badan, menghilangkan sifat kewanitaan, menyebabkan sakit dan cedera?
Siapa pula yang rela wanita menerjunkan diri dalam pekerjaan campur baur yang menyebabkan kehormatannya ternoda dan harga dirinya jatuh?
Adakah yang lebih berharga bagi wanita dibanding kehormatan dan harga dirinya?
Kesimpulannya: hendaklah kita mengarahkan anak-anak kita untuk mendapatkan ketrampilan dan keahlian untuk mencari pekerjaan dan menghasilkan nafkah dan rizki dari tangannya sendiri. Sehingga, dapat dijadikan sandaran dalam memelihara kehormatan, menjaga kepribadian dan merealisasikan kehidupan yang layak bagi mereka !
Posting Komentar untuk "Meningkatkan Motivasi Anak Untuk Bekerja"