Tayammum menjadi batal dan rusak karena beberapa hal:
- Semua yang membatalkan wudhu’, sebagaimana pernah diterangkan dalam Bab wudhu’.
- Ada air setelah tidak ada, karena tayammum itu pengganti air. Jadi, kalau yang asli sudah ada, maka penggantinya menjadi batal. Abu Daud (332) dan lainnya telah meriwayatkan dari Abu Dzar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِِّبَ طَهُوْرُالمُسْلِمِ ٬وَاِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَعَشَرَسِِنِيْنَ٬ فَاِذَا وَجَدَالْمَاءَ فَلْيُمِسَهُ بَشَرَتَةُ٬ فَاِنَّ ذٓلِكَ خَيْرٌٌ
Sesungguhnya tanah yang suci itu alat bersuci bagi orang Islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Apabila ai telah mendapatkan air, maka hendaklah ia sentuhkan air itu pada kulitnya. Karena hal itu lebih baik.
Falyumissahu basyaratuhu: maka hendaklah ia menyentuhkan air itu pada kulitnya.
Maksudnya, hendaklah ia bersuci dengannya. Dan ini menunjukkan bahwa tayammumnya batal setelah air sudah ada. Adapun kalau adanya air itu sesudah selesainya shalat, maka shalatnya sah dan tidak wajib qadha’.
Dan demikian pula, jika dia mendapatkan air setelah memulainya shalat, maka ia boleh menyelesaikan shalat itu sebagai shalat yang sah. Tetapi kalau dia putuskan shalat itu untuk berwudhu’ lalu shalat dengan wudhu’ itu, maka hal itu lebih baik.
- Mampu menggunakan air, seperti halnya orang yang asalnya sakit lalu sembuh.
- Murtad dari Islam –semoga Allah melindungi kita daripadanya-. Karena tayammum itu untuk memperoleh keizinan melakukan shalat, sedangkan keizinan itu hilang jika terjadi kemurtadan. Lain halnya wudhu’ dan mandi, yang kedua-duanya untuk menghilangkan hadats.