Imam Syafii dapat menghafal Al-Quran dengan mudah, yaitu ketika beliau masih kecil dan beliau menghafal serta menulis hadits-hadits. Beliau sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu bahsa Arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke kampung-kampung dan tinggal bersama puak (kabilah) “Huzail” lebih kurang sepuluh tahun, lantaran hendak mempelajari bahasa mereka dan juga adat istiadat mereka.
Kabilah Huzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa Arabnya. Imam Syafii banyak menghafal syair-syair dan qasidah dari kabilah Huzail. Sebagai bukti, Al-Asmai’ penah berkata : Bahwa beliau pernah membetulkan atau memperbaiki syair-syair Huzail dengan seorang muda dari keturunan bangsa Quraisy yang disebut dengan namanya Muhammad bin Idris, maksudnya ialah Imam syafii.
Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan satu kesilapan. Beliau pernah berkata : Cita-citaku adalah dua perkara : panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan target sepuluh daru sepuluh. Mendengar percakapan itu orang yang bersamanya berkata : Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari memanah.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Syafii pada masa mudanya banyakmenumpu tenaganya untuk mempelajari syair, sastra dan sejarah, tetapi Allah menyediakan baginya beberapa sebab yang mendorongbeliau untuk mempelajari ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang lain.
Kita dapati beberapa riwayat yang menerangkan sebab yang tersebut di atas, antaranya : Pada suatu ketika Imam Syafii berjalan-jalan dengan menunggang seekor binatang, beliau masih kecil menginjak dewasa itu, bersama-sama beliau seorang juru tulis Abdullah bin Az-Zubairi, tiba-tiba Imam Syafii membaca satu rangkaian syair. Juru tulis itu menyenggol belakang beliau untuk memberi nasihat katanya : Orang yang semacam engkau tidak sesuai membaca syair yang demikian, karena ia menjatuhkan muruah, serta orang itu bertanya : Di manakah engkau dengan ilmu fiqih? Pertanyaan ini sangat berkesan dan memberi kesadaran terhadap Imam Syafii.
Oleh karena itu beliau terus mengikuti Muslim bin Khalid Az-Zinji mufti Mekah untuk belajar ilmu fiqih daripadanya. Dari riwayat yang lain pula : Imam Syafii menemui Muslim sewaktu dalam perjalanan untuk mempelajari ilmu nahwui bahasa Arab dan sastra. Muslim berkata kepadanya : Dari manakah engkau? Imam Syafii menjawab : Aku dari orang Mekah. Muslim bertanya lagi : Di manakah Al-Kahif, Muslim menyambung pertanyaan lagi : Dari kabilah manakah? Syafii menjawab : Dari kabilah Abdu Manaf. Muslim berkata : Baik, baik, sebenarnya Allah telah memuliakanmu di dunia maupun di akhirat, alangkah baiknya jika kamu gunakan kecerdikanmu ini untuk mempelajari ilmu fiqih, dan inilah yang lebih tepat untukmu.
Riwayat yang lain pula : Pada suatu ketika Imam Syafii sedang mendalami mempelajarai ilmu syair, di waktu itu juga beliau menaiki sebuah bukit di suatu tempat di Mina. Tiba-tiba beliau mendengar suara dari belakangnya dan merayu : Pelajarilah ilmu fiqih, lantaran itu beliau pun mempelajari ilmu fiqih. Kebanyakan tanggapan mengatakan bahwa riwayat-riwayat di atas adalah semata-mata khayalan saja, bukan yang sebenar-benarnya.
Riwayat yang lain pula : Yaitu pada suatu hari Mas’ab bertemu dengan Imam Syafii yang sedang rajin mempelajari syair nahwu bahasa Arab. Mas’ab bertanya : Untuk apakah ini? Jika engkau mempelajari fiqih dan hadits tentulah lebih sesuai bagimu. Pada waktu yang lain pula Mas’ab dan Syafii datang menemui Malik bin Anas. Mas’ab meminta Malik mengajar Syafii, oleh karena itu Imam Syafii dapat mempelajari ilmu yang banyak dari Malik dan beliau tidak meninggalkan sedikitpun ilmu yang didapati dari syekh-syekhnya di Madinah.
Imam Syafii mengembara ke negeri Irak untuk mempelajari ilmu dari Muhammad Al-Hasan. Selang beberapa tahun kemudian Mas’ab dan Imam Syafii datang ke Mekah. Mas’ab menceritakan perihal Imam Syafii kepada Ibnu Daud, lalu dihadiahkan kepadanya sebanyak sepuluh ribu dirham.
Inilah antara empat riwayat atau kisah yang menceritakan tentang sebab-sebab yang mengubahnya tumpuan Imam Syafii dari mempelajari bahasa dan sastra kepada mempelajari ilmu fiqih dan sejarah. Tidak mustahil semua riwayat itu harus berlaku walaupun pada lahirnya satu daripadanya yang berlaku. Walau bagimanapun juga semua riwayat tersebut menerangkan kepada kita tentang asal usulnya.
Suatu perkara yang dapat diterima, yaitu bahwa Allah Ta’ala menyediakan bagi Imam Syafii orang-orang yang menerangkan tentang nilai ilmu fiqih dari kelebihannya dari ilmu bahasa dan sastra.
Pendapat yang sebenarnya ialah Imam Syafii menuntut ilmu di Mekah sehingga beliau menjadi orang yang cakap. Sungguhpun beliau menapatkan kepercayaan untuk meberikan fatwa dan hukum-hukum dari gurunya Muslim bin Khalid Az-Zinji, beliau tidak cepat merasa puas, bahkan beliau tetap belajar mempelajari ilmu-ilmu, kemudian belaiu berpindah ke Madinah. Di Madinah beliau belajar kepada Imam malik, yaitu setelah beliau bersedia untuk menemuinya. Untuk mempelajai Kitab Al-Muwatta. Imam Syafii dapat menghafal hampir keseluruhannya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa beliau minta surat pengakuan dari Gubernur Mekah untuk menemui Malik. Ketika malik menemui Syafii beliau berkata : Allah telah memasuki cahaya (Nur) ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan dengan melakukan maksiat.
Setelah Imam Syafii belajar kepada Malik, Malik meminta beliau belajar dengan lebih giat lagi. Imam Syafii terus mempelajari ilmu hadits dan fiqih dari Malik sampai Malik meninggal dunia, yaitu pada tahun 179 Hijriah. Imam Syafii pernah menziarahi ibunya di Mekah dan beliau pernah mengembara ke sana sini ketika beliau menuntut ilmu kepada Imam Malik.