Pada masa remaja Imam Syafii merasakan beliau telah mendapat ilmu dengan sekadar mencukupi, oleh karena itu beliau bercita-cita hendak bekerja untuk mencari nafkah hidupnya karena beliau adalah seorang yang miskin.
Cita-cita ini timbul setelah Imam Malik meninggal dunia. Dengan secara kebetulan, seorang Gubernur Yaman datang melawat Hijaz. Beberapa orang dari orang Quraisy memberitahukan kepada Gubernur itu supaya mengambil Imam Syafii untuk bekerja di negeri Yaman. Permintaan tersebut diterima, oleh karena itu Imam Syafii menyewa sebuah bilik untuk keperluan dirinya. Kemudian beliau memegang jabatan di “Najran”. Keadilan dan kejujuran Imam Syafii diketahui oleh orang banyak. Banyak dari penduduk Najran yang mencoba mengusir kedudukan beliau, tetapi mereka tidak berhasil. Imam Syafii berkata : Apabila Gubernur datang kepada mereka, mereka mencari muka mencoba membuat sedemikian dengan ku, tetapi mereka gagal.
Suatu peristiwa telah terjadi, yaitu sepuluh orang dari pendukung Umawiyyah yang tinggal di Yaman keluar membantah pelantikan khalifah, Imam Syafii dituduh mendukung bersama itu, oleh karena itu maka Harun Ar-Rasyid memerintahkan supaya mereka dibawa kehadapannya. Ketika mereka sampai, Ar-Rasyid memerintahkan supaya dipukul tengkuk-tengkuk mereka itu. Ketika sampai kepada giliran Imam Syafii beliau berkata kepada Khalifah Ar-Rasyid : Perlahankan sedikit wahai Amirul Mukminin, tuan adalah penjemput dan aku orang yang dijemput sudah tentu tuan yang berkuasa berbuat apa saja yang tuan sukai tetapi aku tidak berkuasa berbuat yang sedemikian.
Wahai Amirul Mukminin, apakah pendapat tuan tentang dua orang manusia ? satu dari mereka menganggap aku sebagai saudaranya, dan sementara yang satu lagi memandangnya aku sebagai hambanya, yang manakah lebih dikasihi ? Khalifah Ar-Rasyid menjawab : Sudah tentu orang yang memandang kepadamu sebagai saudaranya. Imam Syafii berkata : Engkau pun sedemikian wahai Amirul mukminin. Khalifah bertanya : Kenapakah demikian ? Imam Syafii menjawab :
Wahai Amirul mukminin, engkau adalah anak dari Al-Abbas dan mereka itu anaknya Ali, dan kami adalah dari suku Al-Muttalib, kamu anak-anak Al-Abbas memandang kepada kami saudara kamu, sementara mereka (Umawiyyin) memandang kepada kita sebagai hamba mereka, lantaran itu Ar-Rasyid merasa lapang dada dan berkata : Wahai anak idris, bagaimanakah ilmu engkau tentang Al-Qur’an ? Imam Syafii bertanya; Ilmu Quran yang manakah yang tuan maksudkan ? Tentang hafal, aku telah menghafalnya serta aku telah menpelajarinya, aku mengetahui dimana tempat perhentian dan dimana pula permulaan dan aku tahu juga yang mana pembatal (nasikh) dan yang mana dibatalkan (mansukh) yang mana gelap dan yang mana terang, serta kecaman dan kelembutan, dan aku mengetahui juga percakapan yang ditunjukan kepada ‘am tetapi maksudnya kepada khas, dan sebaliknya percakapan yang ditujukan kepada khas tetapi maksudnya ‘am.
Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya lagi : Bagaimanakah pula ilmu tentang binatang-binatang ? Syafii berkata : Antaranya bintang darat, bintang laut, bintang tanah rata, bintang bukit, bintang fallak dan bintang mabah, seterusnya binatang yang wajib diketahui.
Khalifah Al-Rsayid bertanya lagi : Bagaimana pula pengetahuanmu yang berkaitan dengan keturunan Arab? Syafii menjawab : Di antara keturunan yang mulia dan keturunan yang tidak baik, serta aku mengetahui susunan keturunanku dan keturunan Amirul Mukminin, Khalifah Al-Rasyid berkata : Dengan apakah engkau menasihatkan Amirul Mukminin? Lalu Imam Syafii memberikan suatu nasihat yang sangat terkesan yaitu nasihat Tawus Al-Yamani. Mendengar nasihat itu Al-Rasyid lalu menangis, lalu diperintahkan supaya memberikan kepada Imam Syafii harta yang banyak serta diberi juga hadiah-hadiah yang berharga.
Jika riwayat ini telah diketahui oleh orang banyak yakin dan sah, maka ia adalah suatu dalil tentang kepintaran akal Imam Syafii untuk melepaskan dirinya dari azab dan juga sebagai dalil tentang keluasan dan ketinggian ilmu pengetahuan di sudut yang lain pula. Dengan berbagai sebab dan pertolongan Imam Syafii berdaya membentuk ilmu pengetahuan yang tinggi, sehingga ilmu dan ajarannya berkembang dengan baik. Di antaranya ialah keadaan alam sekitar. Oleh karena alam sekitarnya disertakan pula oleh kerajinannya membaca buku-buku yang ada kaitan dengan ilmunya.
Pengembaraan beliau dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu negeri ke negeri yang lain juga membantu beliau mempertinggi dan mendalami ilmu yang dipelajarinya. Beliau pernah mengembara ke negeri Yaman ke kota Kufah, Basrah, Mekah, Baghdad dan Mesir. Di antara sebab yang lain pula ialah dengan melalui pembahasan-pembahasan dan pertukaran pikiran dengan ulama-ulama seperti ulama mutakallimin, ulama falsafah, ulama fiqih, ulama hadits dan lain-lain dan termasuk juga kajian atau memperhatikan individu.
Inilah di antara faktor atau sebab yang menambah ilmu pengetahuan Imam Syafii lebih tinggi dan ia adalah suatu perkara yang sangat penting. Justru itu Imam Syafii berkata : Barangsiapa yang mempelajari Al-Quran maka tinggilah ilmunya, barangsiapa yang menulis hadits, kuat dan kukhlah hujjahnya, siapa berbincang tentang hukum-hukum fiqih maka ia menjadi bijak, barangsiapa mengambil berat tentang adab dan budi pekerti maka budi-bahasanya menjadi lembut dan halus. Barangsiapa memikirkan tentang ilmu kira-kira (hisab) akalnya berkembang dan siapa tidak menjaga kehormatan dirinya ilmunya tidak memberi suatu faedah.