Lanjutan Pernikahan yang Dilarang

Pada artikel sebelumnya yang membahas tentang macam-macam pernikahan yang dilarang dalam agama Islam. Pada artikel berikut ini akan membahas tentang salah satu macam pernikahan yang dilarang yaitu Nikah Mut'ah. Nikah Mut'ah Nikah mut'ah adalah bagian dari pernikahan yang diharamkan. Dinamakan seperti itu karena niat laki-laki dari pernikahan itu hanyalah bersenang-senang dengan wanita saja, sampai batas waktu tertentu pada waktu akad nikah. Apabila waktu yang dibatasi telah habis, maka wanita tersebut dengan sendirinya menjadi tertalak. 

Bentuk pernikahan ini, terkenal kebolehannya menurut sebagian aliran dalam Islam seperti aliran Imamiah. Imamiah merupakan salah satu aliran syi'ah. Menurut orang Inggris nikah percobaan atau menurut sebagian orang menyebutnya dengan nikah 'urf. Aku melihat fenomena di dalamnya, menyebutkan argumentasi yang kuat untuk mengharamkan, menolak orang yang membolehkannya dan membantah argumentasi mereka. 

Termasuk argumentasi yang mengharamkannya adalah perkataan Ali bin Abi Thalib: Rasulullah melarang melakukan nikah mut'ah pada kaum perempuan. memakan daging keledai jinakpada perang Khaibar. (H.R. Muslim,Tirmidzi dan Ibnu Majah) 

Dan pendapat Sabrah: Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk melakukan nikah mut'ah pada 'Fathu Makkah' ketika kami masuk kota Mekah. Kemudian kita tidak jadi masuk ke dalamnya sampai ia melarang nikah tersebut. (H.R. Muslim) 

Sebagian ulama merasa kesulitan dengan masalah waktu pengharaman nikah mut'ah yaitu perbedaan masa pada dua kejadian ini. Para ulama memiliki pandangan dan terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama berusaha untuk merangkum pendapat tersebut lalu berkata: Sesungguhnya Nabi mengharamkan nikah mut'ah pada waktu perang Khaibar kemudian Rasulullah SAW memberikan dispensasi setelah itu lalu mengharamkannya pada 'Fathu Makkah' sekali lagi kemudian tidak ada dispensasi lagi. Perawi hadits pertama yaitu Ali bin Abi Thalib. Ibnu Qayim berkata: Pada hadits Sabrah terdapat riwayat-riwayat lain, bahwa pelarangan nikah mut'ah pada haji wada' dan pada riwayat yang sdaz." Yang rajih adalah riwayat 'Fathu Makkah'. Yang menunjukkan itu adalah bahwa Iyas bin Salmah berkata: Lubaih berkata Rasulullah melakukan rukhshah pada 'amu authas (baca: sebuah telaga di Thaif) dalam masalah mut'ah sebanyak tiga kali lalu melarangnya. (H.R. Muslim) 

Ini adalah penjelasan bahwa mut'ah diperbolehkan pada 'Fathu Makah' kemudian diharamkan. 

Sebagian ulama telah mengemukakan maksud dari pernikahan ini dan menjelaskan hukumnya. Ibnu Qudamah berkata: Pengertian nikah mut'ah adalah seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita pada masa tertentu dengan perkataan seumpama: "Aku mengawinkan anak perempuanku kepadamu selama satu bulan atau satu tahun atau sampai habis satu musim." Ini pernikahan batil dimana Imam Ahmad berkata: Nikah mut'ah haram hukumnya. 

Imam Syafi'i berkata: Nikah mut'ah yang dilarang, setiap pernikahan dengan batas waktu tertentu, baik lama atau tidak. Misalnya seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita: Aku menikahimu satu hari, sepuluh hari atau satu bulan. Nikah ini berarti batal. 

Ibnu Hazm berkata: Tidak diperbolehkan nikah mut'ah yaitu nikah dengan batas waktu tertentu. Ia halal pada masa Rasulullah, lalu Allah SWT menghapus kebolehan hukumnya melaiui lisan Rasulullah sampai hari kiamat. 

Menikahi seorang wanita sampai batas waktu tertentu, apabila habis masanya, maka terjadi perceraian. Sebagian ulama berkata bahwa pengharamannya berdasarkan ijma' ulama. 

Al Khitabi berkata: Pengharaman nikah mut'ah adalah ijma' umat Islam. Hal tersebut diperbolehkan di awal Islam kemudian diharamkan. Sampai ia berkata: Sekarang tidak ada perbedaan pendapat lagi antara ulama kecuali hanya segelintiryaitu, syi'ah Rafhidah. 

Abu al Ghanaim Muhammad bin Ali al Nadsi al Khufi membuat syair tentang haramnya nikah mut'ah: 
"Ingatlah wahai orang yang berteriak, berilah kabar kepadaku 
Tentang apa yang dikatakan terhadap nikah mut'ah 
Dan barangsiapa yang berpendapat bahwa ia halal 
Maka ia seperti orangyang berpendapat di dalam masalah rujuk 
Kalian telah berbohong yang sama sekali tidak disukai oleh Allah 
Hal tersebut serupa dengan tipu daya 
Ada masa 'iddah kedua pasangan dalam keadaan suci 
Di dalam masa sucinya selama tujuh hari 
Apabila ia menceraikannya dalam masa-masa ini 
Maka ia telah mengambil hal tersebut dengan syufah 
 Seorang perempuan dari bangsa manusia 
Di dalam rahimnya memiliki mut'ah." 

Argumentasi Orang-orang Yang Membolehkan Nikah Mut'ah 

Mereka beralasan dengan hadits Jabir bin Abdilah dan Salmah bin al Alwa' sebagaimana terdapat dalam shahih Bukhari dimana keduanya berkata: Kami sedang berada sebagai tentara, Rasulullah datang kepada kami lalu berkata: Ia telah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah, maka lakukanlah. 

Dijawab: Sesungguhnya Jabir dan sahabat yang melaku¬kan nikah mut'ah pada masa Abu Bakar dan Umar belum sampai kepada mereka hadits pengharaman tersebut yang berasal dari Ali dan hadits Sabrah terdahulu. Demikian juga sesungguhnya Umar telah melarang nikah mut'ah melalui ucapan Jabir sebagaimana dikatakan oleh Imam Muslim. Umar adalah seorang khalifah yang jujur. Maka kita diperintahkan untuk mengikuti ajarannya. 

Mereka berargumentasi juga bahwa Ibnu Abbas telah memperbolehkan nikah mut'ah. Bantahannya: Pendapat ini benar. Sesungguhnya Ibnu Abbas telah memfatwakan kebolehan nikah mut'ah tetapi ia menfatwakannya tidak secara mutlak, tetapi dibatasi jika darurat seperti apabila seseorang takut jika dirinya jatuh pada keharaman. Lalu para sahabat mengingkari pendapat tersebut. Ibnu Abbas adalah manusia biasa dapat benar dan salah lalu ia menarik pendapatnya. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu al Qayim. Ia berkata: Adapun Ibnu Abbas telah menempuh jalan membolehkan nikah mut'ah ketika darurat, tetapi ia tidak membolehkan secara mutlak. Setelah ia menyampaikan pendapatnya, banyak sahabat yang membicarakannya lalu ia menarik pendapatnya tersebut. Oleh karena itu berarti haram bagi yang tidak mengambilnya sebagai dalil. 

Al Khitabi berkata: Dari Minhal bin Jubair ia berkata: Aku katakan kepada Ibnu Abbas: Apakah kau tahu apa yang kau perbuat dengan fatwamu? Telah berjalan dengan fatwa anda para penunggang kuda. Para penyair berkata tentangmu: 

"Aku katakan kepada guru besar hal yang telah lama terpendam. 
Wahai orang yang berteriak, apakah terdapat fatwa Ibnu Abbas. 
Apakah dalam masalah anggota tubuh terdapat keringanan hukum 
Maka akan menjadi pijakanmu sampai masyarakat menariknya." 

Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali. Demi Allah tidak seperti ini aku berfatwa, bukanlah ini yang aku inginkan dan aku tidak menghalalkannya kecuali seperti Allah SWT menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi. Ia tidak halal kecuali bagi orang-orang yang terpaksa. 

Ishak bin Rawahih berkata, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nikah mut'ah terdapat di awal Islam Seorang laki-laki menjual barang dagangannya di daerah, tidak ada yang menjaganya lalu mereka menggabungkan barang dagangan-nya tersebut. Lalu mereka menikah dengan kaum wanita sesuai dengan kebutuhan. Mereka membaca firman Allah SWT: "Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya secara sempurna." Sampai turun ayat: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu." Sampai kepada firman Allah SWT: "Mencari isteri-isterimu dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina." (Q.S.An Nisa':23-24) 

Aku tinggalkan nikah mut'ah dan ia menjadi suami isteri penuh apabila menghendaki, pengantin laki-laki menceraikannya dan apabila ia menghendaki menahannya dan keduanya saling mewariskan dan tidak terjadi masalah apa- apa. Ibnu Qayim berkata: Dua riwayat ini dari Ibnu Abbas menjelaskan maksud dari riwayat yang mutlak. 

Al Khitabi berkata: Riwayat pertama dari Ibnu Abbas menjelaskan kepada anda bahwa ia menggunakan metode qiyas dan menyerupainya dengan orang yang terpaksa. Ini adalah qiyas yang tidak benar karena terdapat perbedaan. Karena darurat yang ada pada masalah ini tidak terealisasi pada masalah makanan yang menjadi pokok dari jiwa. Ketika tidak ada makanan, maka akan binasa. Sesungguhnya ini adalah masalah syahwat dan mengembannya yang memungkinkan. Substansinya dapat diselesaikan dengan berpuasa dan berbuat kebajikan. Karenanya sifat daruratnya tidak sama satu sama lainnya.