Masalah pertama yang harus diperhatikan, ialah pengertian ibadah yang mengandung arti taat dan tunduk kepada Allah. Hal ini mencakup semua aspek yang diperintahkan Allah atau yang dianjurkan oleh para Rasul berupa kata-kata dan pekerjaan yang lahir maupun yang batin.
Pekerjaan lahiriyah mencakup seluruh rukun-rukun atau sendi-sendi agama, seperti sholat, puasa, zakat dan haji; atau ibadah dalam pengertian ritual. Hal inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam pembahasan kami ini. Dan pengertian ibadah, juga mengandung seluruh bentuk upacara ritual yang disunnatkan, seperti dzikir, membaca Al-Qur’an, berdo’a, istighfar, membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid kepada Allah SWT.
Ibadah dalam pengertian lahiriyah ini, juga mengandung segala amal perbuatan lain seperti bergaul dengan baik, memenuhi hak-hak kewajiban para kerabat seperti berbakti kepada kedua orang tua dan meneruskan hubungan silatirrahmi. Termasuk dalam kelompok ini: berbuat baik pada anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil; amar makruf dan nahi munkar, serta segala perbuatan yang telah diwasiatkan Allah, yaitu melakukan akhlak yang utama.
Adapun ibadah secara batiniah mencakup masalah takut terhadap Allah dan berserah diri kepada-Nya; ikhlas dalam menjalankan perintah-perintah serta larangan-larangan agama-Nya, dan berlaku sabar serta menerima apa yang telah ditakdirkan Allah (Lihat : ‘Al-‘Ibadah fi Al-Islam, karangan Ustadz Yusuf al-Qordhowi).
Masalah kedua ialah pengertian ibadah dalam arti cinta kepada Allah dan merasa hina diri di hadapan-Nya. Hal inilah yang dapat membebaskan seseorang dari rasa hina diri atau takut terhadap selain Allah yang berupa tuhan-tuhan atau lain-lainnya yang bekerja menindas dan memperbudak manusia. Sesuai dengan fitrahnya, manusia memang membutuhkan sesuatu yang dipuja dan yang menjadi tempat dirinya bergantung. Ia akan menuruti segala kehendaknya dan berusaha untuk mendapatkan keridhaan dari-Nya. Apabila yang dipuja dan yang disembah ini bukan Allah, jelas ia akan menyembah banyak tuhan yang akan membuat dirinya makin tersesat dan tenggelam ke dalam khurafat-khurafat serta mithos-mithos yang tidak ada kenyataannya.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Taimiyah memberikan komentarnya : “Setiap orang yang tidak mau menyembah kepada Allah, ia akan menyembah yang lain-Nya. Manusia diciptakan mempunyai kehendak, dan pada setiap kehendak mempunyai tujuan yang menjadi sasarannya. Jadi, setiap hamba mempunyai tujuan yang selalu didambakan dengan penuh rindu. Barangsiapa yang menjadikan tujuannya selain Allah, maka ia akan menyembah dan membaktikan dirinya pada selain Allah. Karena dirinya terdorong oleh perasaan ingin mengejar cita-cita yang ditujunya itu. Adakalanya yang menjadi tuhannya ialah harta benda, pangkat dan kedudukan, atau bentuk ibadah seperti menyembah matahari, bulan, kuburan para Nabi atau para Wali, para malaikat, dan lain sebagainya. Pengertian ibadah seperti ini ialah membaktikan diri kepada selain Allah (Al-Ibadah fi Al-Islam, bab Al-‘Ubudiyah)”.