Hubungan Fiqih dengan Akidah Islam

Di antara keistimewaan-keistimewaan Fiqih Islam – yakni seperti yang telah kita katakan: hukum-hukum Syari’at yang mengatur amal-perbuatan dan perkataan-perkataan orang mukallaf – ialah, bahwa ia berkaitan erat dengan keimanan kepada Allah Ta’ala, dan terikat kuat dengan rukun-rukun aqidah Islam, terutama aqidah keimanan kepada Allah Ta’ala. Inilah yang menyebabkan seorang muslim mau berpegang teguh pada hukum-hukum agama, dan dengan suka-rela dan tanpa terpaksa melaksanakannya. 

Dan juga, karena orang tidak beriman kepada Allah Ta’ala, takkan merasa terikat dengan shalat maupun puasa, dan dalam melakukan perbuatannya takkan perdulu dengan halal-haram. Jadi, keterkaitan dengan hukum-hukum syari’at adalah salah satu cabang dari keimanan kepada Dzat yang telah menurunkannya dan mensyari’atkannya kepada hamba-hamba-Nya. 

Contoh-contoh ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan hubungan antara Fiqih dengan iman, banyak sekali. Di sini, hanya akan disebutkan beberapa saja di antaranya, agar kita tahu sejauh mana hubungan antara hukum-hukum dengan iman, dan antara syari’at dengan Aqidah ini: 
  • Allah ‘Azza Wa Jalla menyuruh bersuci, dan hal itu Dia anggap termasuk hal-hal yang lazim bagi keimanan kepada-Nya SWT. Firman-Nya: 
............ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku....(Q.S. al-Maidah: 6).
  • Allah menyebut shalat dan zakat, dan keduanya digandengkan dengan keimanan kepada hari akhir, dalam firman-Nya: 
 
(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. (Q.S an-Naml: 3) 
  • Allah mewajibakan puasa yang menyebabkan taqwa, dan menggandengkannya dengan iman, dalam firman-Nya: 
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah: 183). 
  • Allah Ta’ala menyebutkan sifat-sifat terpuji yang dimiliki seorang muslim, lalu Dia kaitkan hal itu dengan keimanan kepada-Nya, yang dengan demikian ia patut masuk surga. Firman-Nya: 
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya. (Q.S al-Mukminuun: 1-11).
Al-Laghwu: perkataan atau perbuatan batil yang tidak berguna .
Furuj: jamak dari farj, artinya: alat kelamin laki-laki atau perempuan. Memelihara Farj, yang dimaksud ialah menjaganya jangan sampai digunakan untuk melakukan perbuatan haram, khususnya berzina.
Ma malakat aimanuhum: apa yang dimiliki oleh sumpah-sumpah mereka. Maksudnya, budak-budak wanita yang mereka miliki.
Ghairu malumin (tidak tercela) untuk menyetubuhi budak budak wanita itu. Al-Adun: orang-orang yang zalim dan melampaui batas. 
  • Allah Ta’ala menyuruh mempergauli wanita dengan baik, dan untuk suruhan-Nya itu dia mulai dengan memanggil kaum lelaki, seraya firman-Nya: 
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. an-Nisa’: 19).
Ta’dhuluhunna (kamu menyusahkan mereka), yakni mencegah kawin lagi.
Bi fahisyatin (dengan suatu perbuatan keji), yakni suatu kelakuan buruk, atau kedurhakaan atau perzinaan.
Mubayyinah: yang terang dan nyata 
  • Allah Ta’ala menyuruh wanita yang diceraikan suaminya, agar menuggu sampai tiga kali quru’, dan jangan menyembunyikan apa yang ada dalam rahimnya bila memang hamil, yang semua itu Dia kaitkan dengan keimanan kepada Allah dari hari Akhir, seraya firman-Nya:

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru(Quru' dapat diartikan suci atau haidh.)' , dan tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Q.S. al-Baqarah 228). 
  • Allah SWT menyuruh menghindari khamar, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah, setelah memanggil kaum mukminin dengan menyebut keimanan mereka, agar dengan demikian dapat dirasakan, bahwa menghindari hal-hal tersebut erat hubungannya dengan kemurnian iman mereka. Firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. al-Maidah: 90). 
  • Allah SWT mengharamkan riba, dengan mengakaitkan meninggalkan riba dengan kesungguhan takwa dan iman, seraya firman-Nya: 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali ‘Imran: 130).
Dan firman-Nya pula:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah 278) 
  • Allah Ta’ala menyuruh orang beramal seraya membangkitkan perasaan tentang adanya pengawasan Ilahi dan rasa tanggung jawab. Dia berfirman: 
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (at-Taubah 105). 
Demikian seterusnya, tiap kali Anda dapatkan sesuatu hukum agama dalam Al-Qur’an, maka pasti digandengkan dengan keimanan kepada Allah Ta’ala, dan dikaitkan dengan rukun-rukun Aqidah Islam. Dan dengan demikian, Fiqih Islam memperoleh kedudukan agama dan mempunyai kewibawaan ruhani. Karena Fiqih Islam memang berupa hukum-hukum syari’at yang keluar dari Allah Ta’ala yang wajib ditaati, dan menyebabkan ridha-Nya, sedang untuk melanggarnya diancam dengan murka dan siksa Allah; dan bukan sekedar hukum-hukum perundang-undangan semata, yang tidak terasa oleh manusia adanya suatu tali yang mengikat hukum-hukum itu pada sanubarinya, atau menghubungkannya dengan penciptannya. 

Allah Ta’ala berfirman: 


Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Q.S. an-Nisa’: 65).