Fiqih mempunyai dua arti: arti lighawi dan arti istilahi. Menurut bahasa, al-Fighu artinya al-Fahamu. Kata-kata Faqiha – yafqahu, sama artinya dengan Fahima – yafhamu (faham).
Allah Ta’ala berfirman:
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan[320] sedikitpun? (Q.S. An-Nisa 78).
Dan firman Allah Ta’ala pula:
Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. (Al-Israa’ 44).
Sedang Rasulullah Saw. bersabda:
إِِنَّ طُوْلَ صَلاَةٍ الرَّجُلِِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ (رواه مسلم
“Sesungguhnya panjangannya shalat seseorang dan khutbahnya yang pendek menandakan kefahamanya. H. R. Muslim 869).
Adapun menurut istilah, al-Fiqhu bisa diartikan dua hal:
Pertama, pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan amal-perbuatan dan perkataan-perkataan orang mukallaf, yang disimpulkan dari dalil-dalilnya secara rinci, yakni dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah maupun cabang-cabangnya, yakni ijma’ dan ijtihad. Contohnya, pengetahuan kita bahwa niat dalam wudhu’ itu wajib, berdasarkan sabda Nabi Saw:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ (رواه البخارى ومسلم)
Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niat-niatnya. (H.R. al-Bukhari: I dan Muslim: 1907).
Dan juga, bahwa berniat sejak malam hari, merupakan syarat syahnya puasa, berdasarkan sabda nabi Saw:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ (رواه البيهقى4/ 202 والدارقطنى 2 /172 وَقَاَلَ: رُوَّاتُهُ ثِقاَتٌ
Barangsiapa belum berniat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya. (H.R. al-Baehaqi: 4/202, dan ad-Daruquthni: 2/172 dia mengatakan, para periwayat ini tsiqat).
Begitu pula, pengetahuan kita bahwa shalat Witir itu mandub, berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang Arab Badwi, ia bertanya kepada Nabi Saw mengenai hal-hal yang fardhu, di masa sesudahnya ia bertanya pula: “Adakah selain itu yang saya kerjakan?” Maka jawab Nabi: “Tidak ada, kecuali ibadat tathawwu’ (H.R. al-Bukhari 1792, dan Muslim: 11).
Contoh lain ialah, bahwa melakukan shalat lain sesudah shalat Ashar itu makruh, berdasarkan larangan Nabi Saw terhadap shalat sesudah shalat Ashar sampai terbenamnya matahari. (H.R. al-Bukhari 561, dan Muslim 827).
Dan juga, bahwa mengusap sebagian kepala itu wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Dan usaplah sebagaian kepalamu. (Q.S. al-Maidah 6).
Menurut istilah, pengetahuan kita mengenai hukum-hukum syari’at tersebut di atas, disebut Fiqih.
Kedua, hukum-hukum syari’at itu sendiri. Dan dengan demikian, bila dikatakan: “Darasta ‘l-Fiqha wa Ta’alamtahu”, itu artinya, bahwa kamu telah mempelajari hukum-hukum syari’at yang ada dalam kitab-kitab Fiqih, yang disimpulkan dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya SAW, serta ijma’ dan ijtihad para Ulama’ kaum muslimin. Contohnya, seperti hukum-hukum mengenai wudhu’, shalat, jual-beli, perkawinan, menyusui anak, perang, perjuangan dan lain-lain.
Menurut istilah, hukum-hukum syari’at ini sendiri disebut Fiqih.
Adapun perbedaan antara kedua arti tersebut di atas ialah, bahwa yang pertama adalah istilah untuk pengetahuan tentang hukum-hukum, sedang yang kedua adalah istilah untuk menyebut hukum-hukum Syari’at itu sendiri.