Dalam mendidik anak dalam hal memberikan hukuman kepada anak yang tujuannya untuk pendidikan anak, berikut ini adalah beberapa metode ajaran islam yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memberikan hukuman kepada anak. Metode-metode tersebut antara lain sebagai beriikut :
1. Lemah lembut dan kasih sayang sebagai dasar mu'amalah dengan anak:
Dari Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabu 'l-Mufrid meriwayatkan:
"Hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji".
Riwayat lain dari Al-Ajiri :
"Bersikap ma'ruf (baik) lah dan jangan kalian bersikap keras".
Kemudian riwayat lainnya dari Muslim tentang lemah lembut dan kasih sayang kepada anak meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari bahwa Rasulullah SAW mengutusnya bersama Mu'adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah saw. berkata kepada mereka berdua:
"Permudahlah dan janganlah kalian persukar. Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian berlaku tidak simpati".
Al-Harits, Ath-Thayalisi dan Al-Baihaqi meriwayatkan:
"Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian bersikap keras, karena sesungguhnya mengajar ilmu lebih baik dari orang yang bersikap keras".
Maka dari itu berdasarkan beberapa riwayat di atas, anak mendapat prioritas tersendiri dengan arahan Nabawi ini kepada kelompok mereka yang harus mendapatkan pemeliharaan, kelemahlembutan dan kasih sayang.
Yang menguatkan bahwa mu'amalah dengan kasih sayang dan lemah lembut sebagai dasar adalah sikap kasih sayang Rasulullah saw. terhadap anak anak. Hal ini telah diapparkan dan telah terdapat beberpapa contoh tauladan Nabi tentang sifat kasih sayang Rasulullah kepada anak dan lemah lembutnya sikap beliau terhadap anak.
2. Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman:
Apabila kita melihat dari segi kecerdasan anak yang berbeda, baik lenturan maupun pemberian tanggapannya. Juga terdapat perbebedaan dari segi pembawaan, tergantung pada masing-masing individu anak. Setiap anak, ada yang mempunyai pembawaan tenang, ada yang mempunyai pembawaan emosional dan keras. Ada yang mempunyai pembawaan kombinasi antara kedua pembawaan tersebut. Dan semua itu tergantung pada faktor keturunan, pengaruh dari lingkungan, dan faktor-faktor pertumbuhan dan pendidikan.
Pada sebagian anak, hanya cukup dengan menampilkan muka cemberut di dalam melarang dan memperbaikinya. Namun, pada anak lain, tidak bisa dengan cara itu, tetapi harus dengan kecaman dalam upaya menghukumnya. Terkadang, ketika para pendidik tidak berhasil dengan nasihat, tidak berhasil dengan kecaman, lebih baik hanya dengan mencemberutkan muka. Karenanya, dalam situasi seperti ini, pendidik perlu menggunakan tongkat untuk "dihadiahkan" kepada anak itu sebagai hukuman yang menjerakan.
Bagi kebanyakan ahli pendidik Islam — di antaranya Ibnu Sina, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun — melarang pendidik menggunakan metode hukuman kecuali dalam keadaan sangat darurat. Dan hendaknya tidak segera menggunakan pukulan, kecuali setelah mengeluarkan ancaman, peringatan dan memerintah orang-orang yang disegani untuk mendekat, sehingga mampu merubah sikapnya. Dengan demikian, dapat memberikan bekas yang diinginkan, dalam upaya memperbaiki anak dan membentuk moral serta spiritualnya.
Dari Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menetapkan bahwa sikap keras yang berlebihan terhadap anak, berarti akan membiasakan anak bersikap penakut, lemah dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Antara lain Ibnu Khaldun berkata:
"Pendidikan yang bersikap keras, baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan, menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk berdusta karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah di mukanya. Hal itu berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan tipu daya yang berkembang menjadi kebiasaannya. Dengan demikian rusaklah makna kemanusiaan yang ada padanya."
Dan dalam perkataan lain secara panjang lebar, Ibnu Khaldun menjelaskan beberapa akibat negatif yang timbul dari perilaku keras dan kejam kepada anak. Ibnu Khaldun berkata:
"Sesungguhnya, siapa saja yang memperlakukan orang lain dengan kekerasan, ia telah menjadikan orang itu sebagai beban orang lain. Karena ia menjadi tidak mampu melindungi kehormatan dan keluarganya karena kekosongan semangat pada saat ia berhenti mencari keutamaan dan akhlak yang mulia. Dengan demikian, berbaliklah jiwa dari tujuan dan kadar kemanusiaannya".
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun ini sangat sesuai dengan arahan Nabawi yang telah kita bicarakan pada sikap lemah lembut dan kasih sayang beliau kepada anak-anak, dan anjurannya untuk bersikap demikian. Juga sangat sesuai dengan sikap bijaksana beliau ketika menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, pada seluruh tingkat usia dan kepandaian. Bahkan kaum Salaf dan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi, memperlakukan anak-anak mereka dengan bijaksana, kasih sayang dan lemah lembut. Mereka juga tidak menggunakan hukuman yang keras kecuali setelah tidak mempan dengan cara nasihat dan celaan.
Buku-buku sejarah mencatat bahwa Khalifah Ar-Rasyid minta kepada Al-Ahmar, pendidik anaknya, agar tidak membiarkan waktu sesaat berlalu tanpa mempergunakannya untuk memberikan kelonggaran sehingga banyak waktu terbuang percuma. Hendaknya ia meluruskannya sebisa mungkin melalui berbagai pendekatan dan lemah lembut. Jika tidak berbekas dengan sikap ini, barulah menggunakan kekerasan.
Kesimpulannya adalah bahwa pendidik hendaknya bersikap bijaksana dalam menggunakan cara hukuman yang sesuai, dan tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak, pendidikan dan pembawaannya. Di samping itu, hendaknya ia tidak segera menggunakan hukuman, kecuali setelah menggunakan cara-cara lain. Hukuman adalah cara yang paling akhir.
3. Dalam upaya memperbaiki anak, maka sebaiknya dilakukan dengan bertahap, dari yang paling ringan sampai dengan yang paling keras:
Pendidikan dengan menggunakan hukuman adalah merupakan cara yang paling akhir setelah cara-cara pendidikan yang lain tidak berjalan. Hal ini berarti bahwa di sana terdapat beberapa cara dalam memperbaiki dan mendidik. Kesemua cara dan metode pendidikan harus dipakai oleh para guru, pendidik, orang tua dalam mendidik anak, sebelum menggunakan pukulan yang mungkin dapat memberikan hasil dalam meluruskan kebengkokan anak, meningkatkan derajat moral dan sosialnya, dan membentuk manusia secara utuh.
Para pendidik adalah ibarat seorang dokter — sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali — jika seorang dokter dilarang mengobati orang sakit dengan suatu pengobatan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang lebih berat atau bahaya, maka demikian halnya para pendidik, orang tua tidak boleh menyelesaikan masalah pada anak-anak, dan meluruskan kebengkokannya, umpamanya, hanya dengan mencela. Sebab, kemungkinan bagi sebagian anak malah akan menambah penyimpangan dan kenakalannya. Hal ini berarti bahwa pendidik harus memperlakukan anak dengan perlakuan yang sesuai dengan tabiat dan pembawaannya, dan mencari faktor yang menyebabkan kesalahan, pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ini semua membantu pendidikan dalam upaya menyingkap sebab penyimpangan anak, agar ditemukan cara terbaik untuk memperbaikinya. Jika pendidik sudah mengetahui tempat persembunyiannya penyakit dan letak faktor penyebabnya, maka ia akan dapat mengetahui pengobatan yang sesuai dan cara yang terbaik. Sehingga, dalam tempo yang cepat, penyakit akan dapat diatasi dan disembuhkan.
Nabi Muhammad Rasulullah saw. telah meletakkan metode-metode dan tata cara bagi para pendidik, orang tua, guru agama untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya. Sehingga para pendidik dapat mengambil yang lebih baik, memilih yang lebih utama untuk mendidik dan memperbaiki anak. Yang pada akhirnya akan dapat membawa anak sampai pada tujuan yang diharapkan, menjadi manusia Mu'min dan bertakwa.
1. Lemah lembut dan kasih sayang sebagai dasar mu'amalah dengan anak:
Dari Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabu 'l-Mufrid meriwayatkan:
عَلَيْكَ بِالرِّفْقِ وَإِيَّاكَ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ ٠
"Hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji".
Riwayat lain dari Al-Ajiri :
عَرِّفُوْا وَلاَ تُعَنِّفُوْا ٠
"Bersikap ma'ruf (baik) lah dan jangan kalian bersikap keras".
Kemudian riwayat lainnya dari Muslim tentang lemah lembut dan kasih sayang kepada anak meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari bahwa Rasulullah SAW mengutusnya bersama Mu'adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah saw. berkata kepada mereka berdua:
يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا وَعَلِّمَا وَلاَ تُنَفِّرآ
"Permudahlah dan janganlah kalian persukar. Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian berlaku tidak simpati".
Al-Harits, Ath-Thayalisi dan Al-Baihaqi meriwayatkan:
عَلِّمُوْا وَلاَ تُعَنِّفُوْا فَإِنَّ الْمُعَلِّمَ خَيْرٌ مِنَ الْمُعَنِّفِ٠
"Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian bersikap keras, karena sesungguhnya mengajar ilmu lebih baik dari orang yang bersikap keras".
Maka dari itu berdasarkan beberapa riwayat di atas, anak mendapat prioritas tersendiri dengan arahan Nabawi ini kepada kelompok mereka yang harus mendapatkan pemeliharaan, kelemahlembutan dan kasih sayang.
Yang menguatkan bahwa mu'amalah dengan kasih sayang dan lemah lembut sebagai dasar adalah sikap kasih sayang Rasulullah saw. terhadap anak anak. Hal ini telah diapparkan dan telah terdapat beberpapa contoh tauladan Nabi tentang sifat kasih sayang Rasulullah kepada anak dan lemah lembutnya sikap beliau terhadap anak.
2. Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman:
Apabila kita melihat dari segi kecerdasan anak yang berbeda, baik lenturan maupun pemberian tanggapannya. Juga terdapat perbebedaan dari segi pembawaan, tergantung pada masing-masing individu anak. Setiap anak, ada yang mempunyai pembawaan tenang, ada yang mempunyai pembawaan emosional dan keras. Ada yang mempunyai pembawaan kombinasi antara kedua pembawaan tersebut. Dan semua itu tergantung pada faktor keturunan, pengaruh dari lingkungan, dan faktor-faktor pertumbuhan dan pendidikan.
Pada sebagian anak, hanya cukup dengan menampilkan muka cemberut di dalam melarang dan memperbaikinya. Namun, pada anak lain, tidak bisa dengan cara itu, tetapi harus dengan kecaman dalam upaya menghukumnya. Terkadang, ketika para pendidik tidak berhasil dengan nasihat, tidak berhasil dengan kecaman, lebih baik hanya dengan mencemberutkan muka. Karenanya, dalam situasi seperti ini, pendidik perlu menggunakan tongkat untuk "dihadiahkan" kepada anak itu sebagai hukuman yang menjerakan.
Bagi kebanyakan ahli pendidik Islam — di antaranya Ibnu Sina, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun — melarang pendidik menggunakan metode hukuman kecuali dalam keadaan sangat darurat. Dan hendaknya tidak segera menggunakan pukulan, kecuali setelah mengeluarkan ancaman, peringatan dan memerintah orang-orang yang disegani untuk mendekat, sehingga mampu merubah sikapnya. Dengan demikian, dapat memberikan bekas yang diinginkan, dalam upaya memperbaiki anak dan membentuk moral serta spiritualnya.
Dari Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menetapkan bahwa sikap keras yang berlebihan terhadap anak, berarti akan membiasakan anak bersikap penakut, lemah dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Antara lain Ibnu Khaldun berkata:
"Pendidikan yang bersikap keras, baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan, menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk berdusta karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah di mukanya. Hal itu berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan tipu daya yang berkembang menjadi kebiasaannya. Dengan demikian rusaklah makna kemanusiaan yang ada padanya."
Dan dalam perkataan lain secara panjang lebar, Ibnu Khaldun menjelaskan beberapa akibat negatif yang timbul dari perilaku keras dan kejam kepada anak. Ibnu Khaldun berkata:
"Sesungguhnya, siapa saja yang memperlakukan orang lain dengan kekerasan, ia telah menjadikan orang itu sebagai beban orang lain. Karena ia menjadi tidak mampu melindungi kehormatan dan keluarganya karena kekosongan semangat pada saat ia berhenti mencari keutamaan dan akhlak yang mulia. Dengan demikian, berbaliklah jiwa dari tujuan dan kadar kemanusiaannya".
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun ini sangat sesuai dengan arahan Nabawi yang telah kita bicarakan pada sikap lemah lembut dan kasih sayang beliau kepada anak-anak, dan anjurannya untuk bersikap demikian. Juga sangat sesuai dengan sikap bijaksana beliau ketika menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, pada seluruh tingkat usia dan kepandaian. Bahkan kaum Salaf dan orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi, memperlakukan anak-anak mereka dengan bijaksana, kasih sayang dan lemah lembut. Mereka juga tidak menggunakan hukuman yang keras kecuali setelah tidak mempan dengan cara nasihat dan celaan.
Buku-buku sejarah mencatat bahwa Khalifah Ar-Rasyid minta kepada Al-Ahmar, pendidik anaknya, agar tidak membiarkan waktu sesaat berlalu tanpa mempergunakannya untuk memberikan kelonggaran sehingga banyak waktu terbuang percuma. Hendaknya ia meluruskannya sebisa mungkin melalui berbagai pendekatan dan lemah lembut. Jika tidak berbekas dengan sikap ini, barulah menggunakan kekerasan.
Kesimpulannya adalah bahwa pendidik hendaknya bersikap bijaksana dalam menggunakan cara hukuman yang sesuai, dan tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak, pendidikan dan pembawaannya. Di samping itu, hendaknya ia tidak segera menggunakan hukuman, kecuali setelah menggunakan cara-cara lain. Hukuman adalah cara yang paling akhir.
3. Dalam upaya memperbaiki anak, maka sebaiknya dilakukan dengan bertahap, dari yang paling ringan sampai dengan yang paling keras:
Pendidikan dengan menggunakan hukuman adalah merupakan cara yang paling akhir setelah cara-cara pendidikan yang lain tidak berjalan. Hal ini berarti bahwa di sana terdapat beberapa cara dalam memperbaiki dan mendidik. Kesemua cara dan metode pendidikan harus dipakai oleh para guru, pendidik, orang tua dalam mendidik anak, sebelum menggunakan pukulan yang mungkin dapat memberikan hasil dalam meluruskan kebengkokan anak, meningkatkan derajat moral dan sosialnya, dan membentuk manusia secara utuh.
Para pendidik adalah ibarat seorang dokter — sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali — jika seorang dokter dilarang mengobati orang sakit dengan suatu pengobatan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang lebih berat atau bahaya, maka demikian halnya para pendidik, orang tua tidak boleh menyelesaikan masalah pada anak-anak, dan meluruskan kebengkokannya, umpamanya, hanya dengan mencela. Sebab, kemungkinan bagi sebagian anak malah akan menambah penyimpangan dan kenakalannya. Hal ini berarti bahwa pendidik harus memperlakukan anak dengan perlakuan yang sesuai dengan tabiat dan pembawaannya, dan mencari faktor yang menyebabkan kesalahan, pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ini semua membantu pendidikan dalam upaya menyingkap sebab penyimpangan anak, agar ditemukan cara terbaik untuk memperbaikinya. Jika pendidik sudah mengetahui tempat persembunyiannya penyakit dan letak faktor penyebabnya, maka ia akan dapat mengetahui pengobatan yang sesuai dan cara yang terbaik. Sehingga, dalam tempo yang cepat, penyakit akan dapat diatasi dan disembuhkan.
Nabi Muhammad Rasulullah saw. telah meletakkan metode-metode dan tata cara bagi para pendidik, orang tua, guru agama untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya. Sehingga para pendidik dapat mengambil yang lebih baik, memilih yang lebih utama untuk mendidik dan memperbaiki anak. Yang pada akhirnya akan dapat membawa anak sampai pada tujuan yang diharapkan, menjadi manusia Mu'min dan bertakwa.
Posting Komentar untuk "Cara Islam dalam Memberi Hukuman Pada Anak"