Kaitan antara Pelaku Perbuatan dan Perbuatannya

Dalam uraian sebelumnya, kami telah menjelaskan bahwa perbuatan adalah bentuk luar balasan, dan bahwa pembawaan-pembawaan manusia diperoleh melalui perbuatan. Kemudian, dalam uraian tentang bebe­rapa ketentuan, kami telah menjelaskan bahwa terdapat ikatan hakiki antara pelaku perbuatan dan perbuatannya yang tidak terpisah satu dari yang lain. Namun, kami tidak mengetengahkan bagaimana ikatan yang dihasilkan di antara perbuatan dan pelakunya itu. Cara perbuatan terikat dengan pelakunya berlangsung melalui tiga fase, yaitu keadaan (al-hal), pembawaan {malakah), dan kesatuan (ittihad) atau realisasi (tahaqquq).

Fase Pertama: al-Hal 

Al-Hal yang kami maksudkan adalah diperolehnya keadaan tertentu pada seseorang setelah ia melakukan suatu perbuatan. Namun, keadaan ini segera akan hilang dengan hilangnya pemberi pengaruh. Keadaan ini adalah seperti wajah pucat karena takut dan merah karena malu, atau seperti seseorang yang mendengar nasihat di masjid tertentu lalu diperoleh keadaan kejiwaan tertentu, seperti kecintaan untuk berinfak, keinginan untuk berjihad, dan takut pada kematian. Namun, keadaan ini segera akan hilang dengan semata-mata keluarnya ia dari masjid atau berlalunya waktu yang tidak lama dari sejak ia mendengarkan na­sihat itu.

Fase Kedua: Malakah 

Malakah yang kami maksudkan adalah keras dan kuatnya keadaan sebelumnya dalam keberadaan seseorang sehingga sukar hilang, seperti pem­bawaan keberanian pada orang pemberani dan pembawaan keadilan pada orang adil. Apabila malakah ini hilang maka pembawaan ini akan segera kembali.

Fase Ketiga: Ittihad 

Fase ini merupakan fase yang di dalamnya malakah merupakan bagian dari keberadaan seseorang sehingga tidak mungkin hilang.

Fase ini me­lupakan tingkat kemaksuman (terpelihara dari dosa dan kesalahan) pertama. Oleh karena itu, tidak mungkin dibayangkan munculnya kemaksiatan misalnya dari pribadi maksum a.s., karena pembawaan keadilan telah menguat di dalam dirinya sehingga menjadi bagian dari keberadaannya.

Untuk lebih memahami ketiga fase ini, dapat dilakukan pendekatan melalui contoh-contoh yang diberikan para ulama kita dalam masalah ini. Kalau kita mengambil arang hitam dan meletakkannya di atas api, maka arang ini akan melewati ketiga fase ini.

Pertama, arang itu akan menjadi panas, walaupun masih tetap berwarna hitam. Kalau arang itu dijauhkan dari api, maka ia akan segera kembali pada keadaannya se­mula dan panasnya hilang. Ini merupakan fase al-hal. Kemudian, per­mukaan arang itu berubah menjadi api, walaupun dalamnya masih te­tap hitam. Kalau arang itu dijauhkan dari api, maka ia akan kembali pada keadaannya semua, tetapi sulit dan memerlukan waktu lama. Ini merupakan fase malakah. Selanjutnya, kalau arang itu tetap dibiarkan di atas api, maka ia akan berubah menjadi bara api di mana setelah itu sifat api tidak mungkin hilang darinya. Kalaupun bara itu dijauhkan dari api, maka ia tidak akan kembali pada keadaannya semula sebagai arang yang pertama tadi. Ini merupakan fase ittihad.

Jadi, jelas bahwa kaitan seseorang dengan perbuatannya melewati tiga fase, baik perbuatan salih maupun perbuatan durhaka. Perbuatan salih, seperti shalat, puasa, mendamaikan dua orang yang bertengkar, atau berinfak di jalan Allah, memiliki aspek lahir dan aspek batin, seba­gaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Aspek batinnya adalah surga, ketenteraman, dan rezeki. Apabila perbuatan menyatu pada seseorang, maka orang itu adalah surga, bukan bahwa ia akan masuk surga. Adapun, jika dia termasuk orang-orang yang didekatkan [kepada Allah], maka dia mem­peroleh ketenteraman dan rezeki, serta surga kenikmatan [QS al-Waqi’ah [56]: 88-89]. Selain itu, hal tersebut disebutkan di dalam beberapa riwayat berikut.

"Sesungguhnya surga sangat merindukan Salman dan Salman me­rindukan surga. [Rawdhah al-Wa’izhin , karya Fattal an-Nisyaburi, Mansyurat ar-Ridha, hal. 282.]."

"Wahai 'Ali, aku adalah pintu hikmah—yaitu surga—dan engkau, wahai 'Ali, adalah pintunya. [Ibid, hal. 119]"

Diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq a.s. bahwa beliau berkata, "Dan surga itu tidak terbatas. [Al-Kafi, jil. 8, hal. 213]"

Semua ini dengan syarat adanya kesatuan antara pelaku dan perbuatannya dan antara seseorang dan pembawaan-pembawaannya agar ia menjadi surga. Berdasarkan hal ini, Fathimah a.s. adalah surga sehingga diriwayatkan dari Nabi saw., "Apabila aku merindukan surga, maka aku mencium harum Fathimah. [Ilal asy-Syara’i, Maktabah ad-Dawiri, hal. 184]" Fathimah a.s. adalah surga dan beliau saw. memiliki penciuman batiniah yang karenanya beliau dapat mencium wangi surga.

Demikian pula, bila seseorang menjadi alim yang hakiki. Meman­dang wajahnya merupakan ibadah, karena ketika itu ia memandang surga. Memandangnya dapat mengingatkan kepada Allah SWT dan harum yang tersebar darinya adalah wangi surga bagi orang yang mam­pu menciumnya.

Hal seperti ini dinukil dari sebagian wali Allah yang melihat orang-orang dalam rupa yang berbeda-beda. Dalam realitasnya, hal ini hanya­lah melihat perbuatan-perbuatan mereka yang menyatu bersama mereka sehingga pembawaan-pembawaan itu menjadi hakikat bagi mereka.

Hal serupa berlaku pada perbuatan durhaka yang juga memiliki aspek lahir dan aspek batin. Memakan harta anak yatim adalah enak dan lezat pada lahiriahnya, tetapi batiniahnya adalah api yang dinyala­kan. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara za­lim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perut mereka [QS an-Nisa’ [4]: 10].

Apabila kita asumsikan bagian ini merupakan bagian dari keberada­an seseorang, maka orang itu akan menjadi sebongkah api dan akan masuk ke dalam neraka. [Yaitu] api Allah yang dinyalakan, yang [memba­kar] sampai ke hati [QS al-Humazah [104]: 6-7]. Sebab, api itu membakar batin agar keluar ke lahir, keadaan sebaliknya dengan keadaan yang ada di dunia. Dalam riwayat disebutkan bahwa sebagian pendurhaka yang termasuk penghuni Ta­but. Ketika tutup mereka disingkapkan, penghuni neraka itu merintih akibat panas Tabut, karena mereka adalah bagian dari neraka dan juga dimasukkan ke dalam neraka.

Kemudian, banyak perbuatan dosa tidak dapat dilakukan setiap orang, seperti membunuh orang maksum a.s.. Kedurhakaan dan kekejian pada pembunuh ini pasti sampai pada tingkatan yang tinggi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadi bagian dari keberadaannya untuk melakukan perbuatan seperti ini. Al quran telah mengungkapkan contoh orang-orang seperti mereka dengan firman Allah SWT: [Bukan demikian], yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya [QS al-Baqarah [2]: 81]. Setelah perbuatan dosa itu, ia tidak melihat sebuah perbuatan dosa melainkan melihatnya sebagai perbuatan baik. Dan mereka mengi­ra bahwa mereka berbuat kebaikan [QS al-Kahfi [18]: 194].

Allah telah menunjukkan hakikat ini dan bahwa perbuatan-perbuatan kadang-kadang merupakan keadaan (al-hal), pembawaan (malakah,), atau bagian dari keberadaan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: [Yaitu] orang-orang yang beriman dan beramal salih [QS al-Baqarah [2]: 25]. Allah menyebut perbuatan mereka sebagai kesalihan. Adapun, diri me­reka sendiri tidak dibicarakan. Barangkali, balasan itu di sini adalah dalam bentuk keadaan (al-hal) atau pembawaan (malakah).

Di dalam firman Allah SWT: Dan mereka termasuk orang-orang yang Salih [QS ali ‘Imran [3]: 114] terdapat indikasi bahwa bukan hanya perbuatan mereka yang salih. Akan tetapi, diri mereka sendiri juga salih. Hal itu kaena kesalihan telah menyatu bersamanya. Jadi, jelas bahwa dari diri mereka tidak ke­luar suatu perbuatan melainkan yang sesuai dengan karakternya. Ka­takanlah, "Masing-masing berbuat menurut keadaannya. [QS al-Isra’ [17]: 84]" Dalam konteks ini juga dikemukakan keadaan putra Nabi Nuh a.s.. Allah SWT berfir­man: ... Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuat­annya tidak salih [QS Hud [11]: 46]. Artinya, keberadaannya adalah keberadaan ketidaksalihan, bukan hanya perbuatannya yang tidak salih.

Kemudian, perbuatan-perbuatan manusia pendurhaka, ketika me­lupakan suatu "keadaan" (al-hal), dicukupkan dengan himpitan kubur atau siksaan barzah untuk menyucikannya. Lalu, pada hari kiamat ia datang sebagai orang yang suci. Adapun, jika keadaan ini mengeras dan berubah menjadi pembawaan (malakah), maka ia tidak dicukupkan dengan tekanan kubur dan tidak pula dengan siksaan barzah untuk menyucikannya, melainkan harus dimasukkan ke dalam neraka pada Hari Kiamat untuk menyucikannya jika termasuk para penganut tau­hid. Jika tidak, ia tidak akan dikeluarkan darinya karena ia merupakan bagian dari neraka itu. Demikianlah, keras dan lamanya kadar siksaan kita adalah menurut kadar kekerasan pembawaan kedurhakaan pada diri kita .

Rasulullah saw. bersabda, "Bertakwalah kepada Allah, wahai para pengikut Syiah, karena surga tidak akan melewatkan kalian, walaupun perbuatan-perbuatan buruk kalian memperlambat kedatangannya kepa­da kalian. Oleh karena itu, dalam meraih tingkatan-tingkatannya." Se­seorang bertanya, "Apakah ada seseorang dari para pencinta Anda dan para pencinta Ali a.s. masuk neraka?" Beliau menjawab, "Barangsiapa mengotori dirinya, jatuh ke dalam keharaman, menzalimi orang-orang Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, dan menyalahi ketetapan syariat, maka pada Hari Kiamat ia datang dalam keadaan bernajis." Kemudian, seseorang berkata kepada orang itu, "Wahai fulan, engkau bernajis, tidak pantas bergaul dengan orang-orang baik dan berangku­lan dengan bidadari dan para malaikat yang didekatkan. Kamu tidak akan sampai ke sana kecuali dengan menyucikan dari dirimu dari apa yang ada di sini—artinya, menyucikan dosa-dosamu." Selanjutnya, be­liau berkata, "Kemudian, ia masuk ke dalam tingkatan neraka Jahanam tertinggi lalu disiksa karena sebagian dosanya. Di antara mereka ada yang ditimpa kesulitan di Mahsyar karena sebagian dosanya. Ada orang yang dosa-dosanya lebih sedikit dan lebih ringan sehingga ia disucikan dengan kesulitan-kesulitan dan bencana-bencana yang ditimpakan para penguasa dan lain-lain. Ada pula orang yang mendekati kematiannya dan masih kesulitan sehingga semakin sulit dihindarkan dan karenanya ia diampuni. [Bihar al-Anwar, jil. 8, hal. 352]"

Begitu pula perbuatan-perbuatan salih, karena tekanan kubur me­nyebabkan seseorang melupakan perbuatan-perbuatan itu ketika me­lupakan "keadaan." Oleh karena itu, tentang hikmah talqin, para ulama menyebutkan bahwa mayat diingatkan akan janji yang telah kita ting­galkan, yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, karena hal ini dilupakan, bahkan namanya, akibat dahsyatnya keadaan tersebut. Da­lam hal ini, Allah SWT berfirman: Barangsiapa membawa kebaikan, maka ia memperoleh [pahala] sepuluh kali kebaikan tersebut [QS al-An’am [6]: 160] dan bukan "barang­siapa mengerjakan kebaikan maka ia memperoleh [pahala] sepuluh kali kebaikan tersebut." Sebab, banyak dari kita yang mengerjakan kebaikan tetapi setelah itu kebaikan tersebut hilang dan tidak abadi, karena masih berupa "keadaan," bukan "pembawaan." Apabila seseorang mampu menjadikannya mengakar dan bagian dari keberadaannya, lalu ia membawanya pada Hari Kiamat, maka ia memperoleh sepuluh kali lipatnya.