Tidak diragukan, terdapat kaitan di antara perbuatan dan pelakunya di dunia ini. Apabila saya memukul seseorang, maka pukulan itu akan dinisbahkan kepada saya. Apakah penisbahan dan kaitan seperti ini pun ada di antara perbuatan dan pelakunya pada Hari Kiamat atau salah satunya akan terlepas dari yang lain?
Alquran sangat jelas dalam menegaskan hubungan ini melalui banyak ayatnya, seperti firman Allah SWT: Dan sesungguhnya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya kelak akan diperlihatkan. { QS an-Najm [53]: 39-40}
Arti lam dalam lil insan menunjukkan pemilikan yang hakiki, yang melekat pada pemiliknya secara kekal dengan kekekalan yang selalu menyertainya dan tidak terpisah darinya. Tentu, itulah yang diperoleh seseorang, baik berupa perbuatan baik maupun perbuatan buruk, baik kebaikan maupun kejahatan. Adapun, yang dilihat seseorang adalah yang dimiliki dirinya, yaitu pada situasi kumpulan harta, anak-anak, jabatan, dan sebagainya berupa perhiasan-perhiasan kehidupan dunia. Semua itu adalah pemilikan yang bersifat artifisial, yang menyertai seseorang selama ia berada di dunia dan ditinggalkannya ketika ia ingin berpindah ke negeri keabadian dan alam akhirat.
Makna "bahwa seseorang tidak memiliki harta milik" pengaruhnya kembali kepadanya berupa kebaikan atau keburukan, manfaat atau bahaya yang hakiki kecuali perbuatan yang diusahakannya, maka baginya apa yang dilakukannya sendiri. Adapun, perbuatan yang dilakukan orang lain, pengaruhnya tidak melekat pada orang itu, baik berupa kebaikan maupun keburukan. { Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 19, hal. 46}
Firman Allah SWT: Dan setiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu. Cukuplah diri sendiri pada saat ini sebagai penghisab terhadapmu { QS al-Isra’ [17]: 13-14}. "
Amal perbuatan yang dikalungkan Allah pada leher manusia adalah perbuatannya. Arti mengalungkan itu adalah Allah menetapkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan pelakunya dan yang kepadanya kembali kebaikan, keburukan, manfaat, dan bahayanya tidak berpisah darinya dan berpindah kepada orang lain. { Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 13, hal. 54}
Buku catatan pada hari itu adalah isi dan hakikat perbuatan, tidak seperti yang dibayangkan sebagian orang, bahwa pada hari itu akan ditampakkan kepada seseorang bentuk perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dalam hidupnya, seperti film melalui alat-alat penampakan yang tidak mampu menampakkan dan menjelaskan niat dan perkara-perkara yang bersifat spiritual, sebagaimana hal itu tampak jelas. Akan tetapi hari itu adalah hari seperti yang diterangkan Allah SWT: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan { QS Yasin [36]: 65}.
Alquran sangat jelas dalam menegaskan hubungan ini melalui banyak ayatnya, seperti firman Allah SWT: Dan sesungguhnya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya kelak akan diperlihatkan. { QS an-Najm [53]: 39-40}
Arti lam dalam lil insan menunjukkan pemilikan yang hakiki, yang melekat pada pemiliknya secara kekal dengan kekekalan yang selalu menyertainya dan tidak terpisah darinya. Tentu, itulah yang diperoleh seseorang, baik berupa perbuatan baik maupun perbuatan buruk, baik kebaikan maupun kejahatan. Adapun, yang dilihat seseorang adalah yang dimiliki dirinya, yaitu pada situasi kumpulan harta, anak-anak, jabatan, dan sebagainya berupa perhiasan-perhiasan kehidupan dunia. Semua itu adalah pemilikan yang bersifat artifisial, yang menyertai seseorang selama ia berada di dunia dan ditinggalkannya ketika ia ingin berpindah ke negeri keabadian dan alam akhirat.
Makna "bahwa seseorang tidak memiliki harta milik" pengaruhnya kembali kepadanya berupa kebaikan atau keburukan, manfaat atau bahaya yang hakiki kecuali perbuatan yang diusahakannya, maka baginya apa yang dilakukannya sendiri. Adapun, perbuatan yang dilakukan orang lain, pengaruhnya tidak melekat pada orang itu, baik berupa kebaikan maupun keburukan. { Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 19, hal. 46}
Firman Allah SWT: Dan setiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu. Cukuplah diri sendiri pada saat ini sebagai penghisab terhadapmu { QS al-Isra’ [17]: 13-14}. "
Amal perbuatan yang dikalungkan Allah pada leher manusia adalah perbuatannya. Arti mengalungkan itu adalah Allah menetapkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan pelakunya dan yang kepadanya kembali kebaikan, keburukan, manfaat, dan bahayanya tidak berpisah darinya dan berpindah kepada orang lain. { Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 13, hal. 54}
Buku catatan pada hari itu adalah isi dan hakikat perbuatan, tidak seperti yang dibayangkan sebagian orang, bahwa pada hari itu akan ditampakkan kepada seseorang bentuk perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dalam hidupnya, seperti film melalui alat-alat penampakan yang tidak mampu menampakkan dan menjelaskan niat dan perkara-perkara yang bersifat spiritual, sebagaimana hal itu tampak jelas. Akan tetapi hari itu adalah hari seperti yang diterangkan Allah SWT: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan { QS Yasin [36]: 65}.
Allamah ath-Thabatha'i r.a., dalam bagian akhir pembahasannya tentang ayat: Dan sesungguhnya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya { QS an-Najm [53]: 39}, mengemukakan masalah pengambilan manfaat dari syafaat para pemberi syafaat atau pengaruh orang yang mengerjakan sunnah atau tradisi yang baik ataupun yang buruk terhadap pembuat sunnah itu hingga Hari Kiamat, atau pengaruh perbuatan yang dilakukan anak salib terhadap kedua orangtuanya.
Masih banyak contoh lainnya. Allamah menjelaskan bahwa masalah ini bukan di luar ketentuan keterkaitan perbuatan dengan pelakunya. Ia berkata: Diperolehnya syafaat para pemberi syafaat pada Hari Kiamat bagi pelaku dosa besar, maka dalam hal itu mereka memperoleh usaha yang baik, di mana ia memasuki lingkungan keimanan kepada Allah dan ayat-ayat-Nya. Demikian pula diperolehnya faedah oleh seorang Mukmin, setelah kematiannya, dari istighfar orang-orang Mukmin untuknya dan perbuatan-perbuatan salih yang pahalanya dihadiahkan kepadanya. Hal itu berkaitan dengan usahanya dalam masuk ke dalam kelompok kaum Mukmin, memperbanyak jumlah mereka, dan memperkuat keimanan mereka, yang pengaruh-pengaruhnya didatangkan dari amal-amal salih.
Masih banyak contoh lainnya. Allamah menjelaskan bahwa masalah ini bukan di luar ketentuan keterkaitan perbuatan dengan pelakunya. Ia berkata: Diperolehnya syafaat para pemberi syafaat pada Hari Kiamat bagi pelaku dosa besar, maka dalam hal itu mereka memperoleh usaha yang baik, di mana ia memasuki lingkungan keimanan kepada Allah dan ayat-ayat-Nya. Demikian pula diperolehnya faedah oleh seorang Mukmin, setelah kematiannya, dari istighfar orang-orang Mukmin untuknya dan perbuatan-perbuatan salih yang pahalanya dihadiahkan kepadanya. Hal itu berkaitan dengan usahanya dalam masuk ke dalam kelompok kaum Mukmin, memperbanyak jumlah mereka, dan memperkuat keimanan mereka, yang pengaruh-pengaruhnya didatangkan dari amal-amal salih.
Begitu pula orang yang membuat sunnah yang baik. Ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengerjakan sunnahnya. Sebaliknya, orang yang membuat sunnah yang buruk maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengkutinya hingga hari Kiamat. Hal itu karena ia memiliki usaha dalam perbuatan mereka, di mana ia telah membuat sunnah dan dengannya bertawasul dengan amal-amal meeka, sebagaimana telah dikemukakan dalam menafsirkan firman Allah SWT: Dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan { QS Yasin [36]: 12, 208 Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 19, hal. 46-47, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 19, hal. 46-47,} . ,
Terdapat banyak riwayat yang menegaskan adanya keterkaitan antara perbuatan dan pelakunya. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Qays bin 'Ashim dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda, "Wahai Qays, sesungguhnya bersama kemuliaan dan kehinaan, bersama kehidupan ada kematian, dan bersama dunia ada akhirat; bahwa setiap sesuatu memiliki pengawas dan atas setiap sesuatu ada perhitungan; bahwa setiap ajal memiliki ketentuan; dan bahwa kamu pasti memiliki pendamping yang dikuburkan bersamamu sementara ia hidup dan kamu dikuburkan bersamanya sementara kamu mati. Jika ia mulia, maka ia memuliakanmu, tetapi jika ia tercela maka ia mencelamu. Kemudian, ia tidak dibangkitkan di Mahsyar kecuali bersamamu dan kami tidak dibangkitkan kecuali bersamanya, serta kamu tidak ditanya kecuali tentang dia. Oleh karena itu, janganlah kamu menjadikannya kecuali yang salih, karena jika ia salih maka kamu senang kepadanya, tetapi jika ia rusak, maka kamu tidak merasa jijik kecuali kepadanya. Dia adalah perbuatanmu. { Jami’ as-Sa’adat, karya an-Naraqi, jil 1, hal. 49}"
Hadis lain adalah ucapan mereka a.s., "Seseorang tergadai oleh perbuatannya. { Ibid }"