Cabang-Cabang Akhlak Mulia Utama

Dari keempat talenta terdahulu pada artikel kekuatan-kekuatan akhlak manusia, muncul prinsip-prinsip akhlak utama yang telah ditunjukkan, yaitu kesucian diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan. Masing-masing talenta itu memiliki cabang yang tumbuh darinya, yang kembali padanya menurut penguraian. Hubungannya dengan prinsip-prinsip tersebut adalah seperti hubungan genus, seperti kemurahan, kedermawanan, qana'ah, syukur, sabar, ke murahhatian, keteguhan hati, rasa malu, antusiasme, kesetiaan, kemuliaan, kerendahhatian, dan sebagainya. Semua itu merupakan cabang- cabang dari akhlak utama yang tercantum di dalam buku-buku akhlak.( Al-Mizan, karya Allamah ath-Thabathaba’I, jil.1, hal. 371) 

 Misalnya, dari kebijaksanaan, muncul enam cabang berikut. 
  • Kecerdasan, yaitu kecepatan menghasilkan masalah-masalah dan mudah mengeluarkannya karena seringnya melakukan pendahuluan-pendahuluan dan hal itu menjadi talenta. 
  • Kejernihan pikiran, yaitu kesiapan jiwa untuk mengeluarkan masalah-masalah tanpa kesulitan. 
  • Kemudahan pembelajaran, yaitu ketajaman yang dimiliki jiwa dalam memperoleh subjek-subjek pengetahuan tanpa halangan berbagai konsep yang berbeda, di mana dengan seluruh konsentrasinya ia terfokus padanya. 
  • Kehati-hatian, yaitu bentuk realitas-realitas yang dikenali akal dengan kekuatan berpikir dan imajinasi yang dihasilkan dengan panalaran yang minimal. 
  • Keingatan, yaitu perhatian jiwa dengan mudah pada bentuk segala hal yang telah dihapal kapan saja ia mau dari aspek pembawaan yang telah diperoleh. 
  • Kebesaran jiwa; yaitu kepedulian terhadap kemuliaan dan ke-hinaan. 
  • Kelegaan (najdah), yaitu seseorang menjadi percaya diri ketika takut kaena kecemasan yang menyebabkan gerakan refleks. 
  • Ketetapan hati ('uluww al-himmah), yaitu jiwa tidak mudah terpengaruh dengan kebahagiaan duniawi dan tidak dibuat jemu dengannya tanpa merasa takut pada kematian. 
  • Keteguhan tekad (tsabat al-himmah), yaitu seseorang memiliki kekuatan untuk melawan kepedihan dan penderitaan. 
  • Kesabaran (hilm), yaitu kekuatan yang mencegah diri dengan mudah dari kemarahan. 
  • Ketenangan (sukun), yaitu jiwa berkeinginan kuat untuk meraih keagungan karena mengharapkan sebutan yang indah. 
  • Ketegaran (tahammul); yaitu jiwa menjadi kuat dalam meng-gunakan alat-alat untuk memperoleh hal-hal yang sepantasnya. 
  • Kerendahhatian (tawadhu); yaitu tidak menempatkan dirinya dalam tingkatan yang tinggi terhadap orang-orang yang berada di bawahnya. 
  • Semangat (hamiyyah); yaitu ses oang memelihara apa saja yang harus dipelihara tanpa peremehan. 
  • Kelembutan (riqqah): yaitu jiwa berempati terhadap penderitaan sesamanya tanpa keraguan. 
  • Rasa malu {haya'): yaitu rasa cemburu yang muncul ketika merasa telah melakukan keburukan seraya menjaga diri dari mendapatkan celaan. 
  • Belaskasihan (rifq), yaitu ketundukan jiwa pada meraiknya ke arah syariat. 
  • Husn al-huda, yaitu kemampuan jiwa untuk menyempurnakannya menjadi keinginan yang benar. 
  • Penuh kedamaian (musalamah), yaitu menampakkan kesopan- santunan ketika berdebat tanpa keraguan. 
  • Kelembutan (da'ah), ketenangan ketika syahwat bergejolak seraya menguasai kendali dirinya. 
  • Kesabaran (shabr), yaitu ketahanan jiwa terhadap hal-hal buruk yang lezat sehingga tidak muncul darinya. 
  • Kepuasan liati (qanu'ah),yaitu kepuasan jiwa terhadap keperluan badan. 
  • Waqar (ketenangan), yaitu keadaan jiwa ketika dihadapkan pada berbagai persoalan tanpa merasa bimbang. 
  • Wara (kewaraan), yaitu jiwa menetapi perbuatan-perbuatan baik dan pekerjaan-pekerjaan yang layak. 
  • Intizhar, yaitu jiwa memiliki ketetapan dan keberaturan menurut keadaannya, dan memelihara kebaikan, serta hal itu menjadi pembawaan. 
  • Kesucian (,hurmah), yaitu seseorang mampu memperoleh harta melalui usaha yang baik dan membelanjakannya untuk hal-hal yang terpuji. 
  • Sakha, yaitu menginfakkan harta secara mudah. Di bawahnya adalah karam, yaitu mudah bagi jiwa memberikan sesuatu yang dibutuhkan ketika muncul tuntutan untuk itu. 
  • Afw, yaitu kemudahan bagi jiwa untuk meninggalkan pamrih. 
  • Muru'ah, yaitu jiwa memiliki kecintaan untuk berhias dengan perhiasan pemanfaatan dan memberikan sesuatu yang seharusnya. 
  • Nabl, yaitu jiwa menjadi senang menetapi perilaku baik. 
  • Muwasah, yaitu menolong teman dan yang berhak ditolong dalam penghidupan dan harta. 
  • Musamahah, yaitu meninggalkan apa yang tidak wajib ditinggalkan dengan pilihan bebasnya, termasuk ke dalam keadilan, pe-nempaan diri, dan perolehan pahala. 
  • Shadaqah, yaitu kecintaan tulus mendorong disediakannya sebab-sebab kelegaan teman. 
  • Ulfah, yaitu pertolongan sebagian terhadap sebagian yang lain dalam mengatur penghidupan dari aspek keyakinan dalam persahabatan. 
  • Wafa', yaitu selalu memberikan bantuan dan pertolongan yang tidak berlebihan. 
  • Syafagah, terjadi ketika melihat keadaan yang tidak sesuai dengan seseorang yang ingin menghilangkannya. 
  • Silaturahim, yakni berkumpul dengan para kerabat dan orang-orang yang berhubungan dengan kebaikan-kebaikan duniawi. 
  • Mukafaah, yaitu membalas kebaikan yang diberikan kepadanya dengan kebaikan yang sebanding atau yang lebih baik. 39. Husn al-qadha', yaitu hak-hak yang dihadapkan kepadanya ditunaikan dengan cara yang tidak mendatangkan kelemahan dan penyesalan. 
  • Tawakkul, perbuatan–perbuatan yang berkaitan dengan takdir dan kemampuan manusia diserahkan kepada Allah SWT, di mana ia mengetahui bahwa dirinya adalah pelaku dan yang bertindak, serta tidak meminta kelebihan, kekurangan, penyegeraan, dan penundaan. 
  • 'Ibadah, Allah, Sang Pencipta diagungkan di dalam jiwa dan dimuliakan di dalam hati. Demikian pula, para pemilik kedekatan dengan Allah SWT, seperti para nabi, para wali, dan para malaikat, serta menaati mereka. 
Jenis-jenis keutamaan ini, seluruhnya, harus dimiliki sang pencari dan digabungkan dengan semua kebaikan yang dapat menempa dirinya, serta tidak menganggap remeh dan tidak meninggalkan sesuatu pun darinya. Dengan demikian, ia tidak meremehkan kebangkitan kembali (ma'ad). Allah diminta agar tujuan tercapai dan diharapkan untuk mencapai jalan kebenaran. Adab an-Nafs, hal (Adab an-Nafs, hal. 8).