Metode Alquran dalam Mengemukakan Pengetahuan

Dalam mengemukakan pengetahuan, Alquran bersandar pada metodologi keterkaitan antara dimensi teoritis dan dimensi praktis. 

Kalau kita merujuk pada Alquran, tentu kita mendapati bahwa Kitab Suci itu tidak menyebutkan suatu masalah pun yang berkaitan dengan ilimcnsi teoretis, melainkan menyebutkanjuga dimensi praktis bersamanya, Alquran tidak menyebutkan suatu ilmu, melainkan menyebutkan juga pengamalannya. Demikian pula, Alquran tidak menyebutkan suatu perbuatan atau amalan, melainkan menyebutkan juga balasan yang dihasilkannya. Contohnya dapat Anda temukan dalam ayat-ayat berikut. 
  • Dalam surah az-Zumar, Allah SWT berfirman: Allah membuat perumpamaan [yaitu] seorang laki-laki(budak) yang dimiliki oleh beberapa, orang yang berserikat dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dori seorang laki-laki saja. Adakah keadaan kedua hiulah itu sama? Segala, puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. QS az-Zumar [39]: 29. Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid atha-Thabathba’i, dan Tafsir al Mizan, mengatakan, "Perumpamaan yang diberikan Allah bagi orang Musyrik yang menyembah berbagai tuhan, dan tuhan-tuhan itu berserikat dalam memilikinya. Mereka berselisih; yang satu menyuluhnya; melakukan sesuatu dan yang lain melarangnya dari hal tersebut. Masing-masing ingin menyendiri dan dikhususkan dalam mendapatkan pelayanannya. Sementara itu, perumpamaan bagi penganut tauhid (muwahhid) adalah seperti budak yang dimiliki secara penuh oleh seorang majikan. Tidak seorang pun berserikat dalam memilikinya sehingga ia dapat memberikan pelayanan yang diinginkan tuannya tanpa perselisihan yang menyebabkan kebingungan. Orang Musyrik adalah budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan bertengkar, sedangkan penganut tauhid adalah budak yang berserah diri kepad seorang tuan. Keduanya tidak sama. Akan tetapi, seseorang yang berserah diri pada seorang tuan keadaanya lebih baik daripada temannya. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 7, hal. 258. Demikianlah, menjadi jelas bagi kita melalui pe-rumpamaan ini bahwa Alquran tidak menyeru manusia pada tauhid secara teoretis. Akan tetapi, Alquran menuntut keyaki-nannya terhadap tauhid dengan menyebutkan faedah-faedah yang dihasilkan dari keimanan terhadap tauhid tersebut. Ketika itu, Alquran menumbuhkan kerinduan ke dalam dirinya dan mendorongnya pada tauhid itu dengan menjelaskan bahwa ke-yakinan seperti ini mewariskan keadaan yang baik, kepribadi an yang tiada duanya, dan ketenteraman hati. Ketahuilah, dengan berzikir hati menjadi tenteram. QS ar-Rad [13]: 28. Sebaliknya, kalau ia hidup dalam kemusyrikan yang menjadikannya tidak memiliki kepribadian dan berhati gelisah. Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya ia mendapatkan kehidupan yang sempit. QS Tha Ha [20]: 124. 
  • Contoh lain dari metodologi Alquran adalah firman-Nya dalam Surah Ibrahim: Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Allah mau buat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya [menjulang] ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membual perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka. Selalu ingat. Dan perumpmaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikit pun. QS Ibrahim [14]: 24-26. Dalam menafsirkan ayat ini, Allamah ath-Thabathaba'i dalam Tafsir al-Mizan, mengatakan, "Ucapan tentang keesaan dan sikap konsisten di dalamnya adalah ucapan benar yang memiliki akar yang teguh serta terpelihara dari setiap perubahan dan kehilangan. Orang-orang sempurna dari kalangan kaum Mukmin adalah mereka yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah,' lalu mereka bersikap konsisten sehingga mereka mewujudkan ucapan yang teguh dan kalimat yang baik ini. Perumpamaan mereka adalah seperti ucapan mereka. Mereka adalah orang-orang yang teguh sehingga manusia senantiasa memperoleh kebaikan-kebaikan dari keberadaan mereka dan mendapatkan kenikmatan dari keberkahan mereka." 
"Demikian pula, setiap kalimat yang benar dan setiap amal salih diumpakan, dalam perumpamaan ini, memiliki akar yang teguh, cabang-cabang yang rindang, dan buah yang baik lagi banyak manfaat dan faedahnya." 
"Kebalikannya adalah kalimat yang buruk. Ia adalah kalimat kemusyrikan yang diumpakan dengan pohon yang buruk, yang diasumsikan tercerabut dari permukaan tanah. Ia tidak memiliki akar yang teguh dan tidak tegak. Karena pohon itu buruk, maka ia tidak memiliki pengaruh selain bahaya dan keburukan." Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil.12, hal. 52. 

Alquran ketika memberikan perumpamaan kalimat kebenaran, yaitu kalimat keimanan dan tauhid, tidak merasa cukup dengan menyebutkan akar pohon, melainkan menyebutkan bahwa pohon itu berbuah dengan buah yang baik dan menelurkan cabang-cabangnya setiap saat dengan izin Tuhannya. Oleh karena itu, Anda mendapati orang-orang sempurna dari kalangan kaum Mukmin yang memiliki keimanan yang benar pada tauhid tidak terputus dari buah yang baik, dan tidak keluar Imah yang buruk dari mereka. Dengan demikian, dari orang orang maksum a.s. misalnya tidak muncul kemaksiatan. Sebab, buah yang buruk tidak mungkin keluar dari akar yang baik, karena yang baik tidak mengeluarkan selain yang baik pula. Sebaliknya, yang buruk tidak mengeluarkan selain yang buruk juga. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman- tanamannya hanya tumbuh merana. QS al-A’raf [7]: 58.
Inilah makna ucapan kami bahwa perbuatan merupakan refleksi dari akidah. Setiap kali akidah itu lebih suci, maka perbuatan pun lebih jernih, dan lebih ikhlas kepada Allah SWT.