Pengaruh Ketakwaan pada Kehidupan di Dunia

Sebagian orang meyakini bahwa pengaruh ketakwaan hanya muncul dalam kehidupan di akhirat, tidak mencakup kehidupan di dunia. Barangsiapa taat kepada Allah SWT dan berhenti dari perbuatan kemaksiatan, maka ia akan diberi pahala di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa tidak bertakwa kepada Allah dan melampaui batas di dunia ini maka ia akan disiksa di akhirat. Dengan demikian, tidak ada perbedaan di dunia ini antara orang-orang bertakwa dan orang-orang durhaka. 

Namun, pandangan seperti ini tentang ketakwaan benar-benar bertentangan dengan apa yang dikemukakan Alcjuran. Hal itu karena Al- quran tidak mengkhususkan pengaruh ketakwaan bagi manusia di alam akhirat dan dalam hal pahala dan siksaan di akhirat saja. Akan tetapi, menurut Alquran, pengaruh ketakwaan itu muncul, baik di dunia maupun di akhirat. Di dalam Alquran terdapat banyak ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang bertakwa dan para pendurhaka tidak sama, seperti firman Allah SWT berikut. 

Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah Kami menganggap orang-orang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbual kemaksiatan ?. QS Shad [38]: 28 

Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu mengira bawa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka ? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. QS. al-Jatsiyah [45]: 21 

Ayat-ayat yang lain dalam Alquran menjelaskan pengaruh-pengaruh ketakwaan pada kehidupan seseorang di dunia. Allah SWT berfirman: Ad/ipun, orang-orang yang memberikan [hartanya dijalan Allah] dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan menyiapkan bagi mereka jalan yang mudah. QS al-Layl [92]: 5-7 

Kehidupan orang bertakwa di dunia ini mudah dan baik, tidak ada kesempitan. Hal ini pun ditunjukkan dalam firman-Nya: Barangsiapa mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberinya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan memberi mereka balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS an-Nahl [16]: 97 

 Kehidupan orang Mukmin adalah kehidupan yang baik bukan hanya di dunia. Akan tetapi, seperti itu pula kehidupannya di akhirat. Allamah ath-Thabathaba i, dalam mengomentari ayat tadi, mengatakan: Firman-Nya: maka sesungguhnya Kami akan memberinya kehidupan yang baik. QS an-Nahl [16]: 97. 

Al-Ihya (menghidupkan) berarti memberikan dan memancarkan kehidupan pada sesuatu. Kalimat itu menunjukkan bahwa Allah SWT memuliakan orang Mukmin yang mengerjakan amal salih dengan kehidupan baru yang tidak dirasakan oleh orang lain dalam kehidupan pada umumnya. Ayat itu sejalan dengan firman-Nya yang lain: Dan, apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia . QS al-An’am [6]: 122 

Cahaya yang dimaksudkan di sini adalah ilmu yang membimbing manusia menuju kebenaran dalam keyakinan dan pengamalan. 

Sebagaimana ia memiliki ilmu dan pengetahuan yang tidak dimiliki orang lain, demikian pula ia diberi kemampuan untuk menghidupkan kebenaran dan membinasakan kebatilan yang tidak dimiliki orang lain. Ilmu dan kemampuan baru ini memudahkannya untuk melihat sesuatu seperti apa adanya sehingga ia membaginya ke dalam dua bagian, yaitu kebenaran yang kekal dan kebatilan yang fana. Kemudian, ia memalingkan hatinya dari kebatilan yang fana—yang merupakan kehidupan dunia dengan berbagai perhiasannya yang menipu lagi menimbul kan banyak fitnah—dan mengagungkan keagungan Allah. Dengan demikian, setan tidak akan menghinakannya dengan godaannya, nafsu dengan keinginan-keinginannya, dan dunia dengan keindahannya karena ia telah melihat bahwa kesenangan dunia itu batil dan kenikmatannya akan sirna. 

Hatinya terpaut dengan Tuhannya, al-Haqq, yang membenarkan setiap kebenaran dengan kalimat-kalimat-Nya. Ia tidak menginginkan selain keridhaan-Nya, tidak menyukai selain kedekatan pada-Nya, dan tidak merasa takut kecuali pada kemurkaan-Nya dan kejauhan dari-Nya. Ia melihat, bagi dirinya, kehidupan yang suci lagi kekal dan abadi, tidak diatur kecuali oleh Tuhannya Yang Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi, dan tidak dihadapi sepanjang hidupnya kecuali dengan sikap yang baik. Ia menyempurnakan akhlaknya dalam segala sesuatu ada keburukan baginya kecuali apa yang dinilai buruk nleli Allah SWT berupa kemaksiatan kepada-Nya. 

Manusia ini merasakan keindahan, kesempurnaan, kekuatan, kemu-liaan, kelezatan, dan kebahagiaan di dalam dirinya yang tidak dapat diukur dengan ukuran apu pun. Bagaimana tidak? Ia larut di dalam kehidupan kekal yang tidak akan sirna dan kenikmatan abadi yang tidak akan hilang serta tidak ada kepedihan di dalamnya dan tidak ada noda yang mengotorinya. Itulah kehidupan yang baik dan bahagia, tidak ada kesengsaraan di dalamnya. Kehidupan inilah yang dibicarakan dalam banyak ayat Alquran. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil.12, hal.341. 

Allah SWT berfirman: 

... Yang beriman kepada Allah, hari akhirat, dan beramal salih, maka tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati . QS al-Ma’idah [5]:69 [Yaitu] orang-orang yang beriman dan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. QS ar-Ra’d [13]: 28 

Barangsiapa bertakwa kepada Allah dan hari akhirat, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka- sangka. QS ath-Thalaq [65]: 2-3 

Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. QS ath-Thalaq [65]:4 Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan. QS al-Anfal [8]: 29 

Artinya, kepada orang bertakwa, Allah SWT akan memberikan ke-mampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dalam keadaan-keadaan sulit sehingga ia mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan. Demikianlah pula, terdapat puluhan ayat Alquran yang menjelaskan pengaruh-pengaruh ketakwaan dalam kehidupan individual manusia. Bahkan, Alquran juga menunjukkan pengaruh-pengaruh ketakwaan dalam kaitan dengan keturunan manusia. Misalnya, kita menemukan dalam kisah hamba yang salih bersama Nabi Musa a.s. bahwa Alquran menyampaikan kepada kita firman Allah SWT: 

Maka, keduanya berjalan hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian, keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding yang roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, "Kalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. QS al-Kahf [18]: 77" 

Hamba yang salih itu (Khidhr) menjawab: Adapun dinding rumah ilu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpnanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah mereka adalah seorang salih Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. QS al-Kahf [18]: 82 

Di dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa kesalihan orang tua memiliki pengaruh yang baik terhadap kebahagiaan anak-anak. Demikianlah, kita menemukan pengaruh-pengaruh ketakwaan dan .unal salih sangatjelas terhadap kebahagiaan umat dan turunnya keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi. Allah SWT berfirman: Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. QS al-A’raf [7]:96 

Dan, bahwasanya kalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, Kami benar-benar akan memberi minum kepada mereka dengan airyagn segar. QS al-Jinn [72]: 16 

Demikian pula, ketika kita beralih ke sisi yang lain, kita mendapati bahwa Alquran menegaskan juga secara jelas pengaruh-pengaruh keduniaan yang diakibatkan kedurhakaan dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Allah SWT berfirman: Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, makakelak Kami akan menyiapkan baginya [jalan]yang sukar. QS al-Layl [92]: 8-10. 

Ayat ini menunjukkan bahwa pendusta dan orang yang tidak bertakwa akan mendapatkan kesulitan, kesempitan, dan ketidakmudahan dalam kehidupannya. Namun, ia tidak mengetahui penyebabnya. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: Dan, barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata, "Ya Tuhan-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku adalah seorang yang melihat?" Allah menjawab, "Demikianlah, telah hilang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan."Dan demikianlah, Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. QS Tha Ha [20]: 124-127 

Barangkali, ayat yang paling jelas menunjukkan hubungan yang konsisten antara kedurhakaan seseorang dan perusakannya di muka bumi dengan kemunculan bencana alam, penyakit, dan sebagainya adalah firman Allah SWT: 

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali. QS ar-Rum [30]:14. 

Anda lihat bahwa ayat ini merupakan saksi terbaik yang membicarakan hakikat tersebut. Ayat itu menyebutkan bahwa kezaliman dan perbuatan dosa yang dilakukan tangan-tangan manusia akan menyebabkan kerusakan di darat dan di laut yang menimpa manusia itu sendiri secara langsung, seperti terjadinya perang, terputusnya jalan, dan hilangnya keamanan atau menimpanya secara tidak langsung, seperti kerusakan kondisi udara dan tanah yang membahayakan manusia dalam kehidupan dan penghidupannya. 

Hal semakna ditunjukkan dalam firman Allah SWT berikut. 

Dan, musibah apa pun yang menimpa kalian adalah disebabkan perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar [kesalahan kalian]. QS ar-Rum [30]: 14 

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri. QS asy-Syura [42]: 30 

Ringkasnya, kalau umat kembali seperti itu—betapapun sedikit dan jarangnya pada umat-umat kalau mereka terus-menerus dalam kesesa- tan dan bertindak serampangan—maka Allah menutup hati mereka. Akibatnya, mereka terbiasa dalam keadaan seperti itu dan mulai mengira bahwa kehidupan manusia hanyalah kehidupan yang kacau-balau dan susah. Mereka disesaki bagian-bagian alam materi, ditimpa berbagai musibah dan bencana, dan didera kerasnya alam. Tidak ada pilihan lain bagi manusia selain memajukan ilmu pengetahuan dan menyiapkan kemampuan berpikir sehingga mereka bersaing dan mengambil perlengkapan yang memadai untuk menghilangkan himpitan alam dan menghindarkan tipu dayanya, sebagaimana pada hari ini mereka me-ngambil perlengkapan yang memadai untuk menghilangkan kelaparan, kegersangan, sampar, lepra, dan berbagai penyakit lainnya yang biasa terjadi. Di sisi lain, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, mereka mengatasi banjir, topan, badai, dan lain-lain yang mendatangkan kerusakan alam dan mengancam kelangsungan hidup manusia. 

Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafirannya. Sikap arogan menguasainya sehingga ia mengira bahwa kemajuan dalam apa yang dinamakan peradaban dan ilmu pengetahuan membuatnya menguasai alam, menghadapi kekuatannya, dan mengalahkannya agar patuh pada keinginannya dan tunduk pada hawa nafsunya. Ia sendiri adalah bagian dari alam yang dihukumi dengan hukum-hukumnya dan lemah susunan tubuhnya. Kalau kebenaran mengikuti hawa nafsunya, tentu langit dan bumi akan hancur. Kalau langit dan bumi hancur, tentu manusia yang lemah itu menjadi bagian alam yang paling dahulu mengalami kehancuran dan paling cepat terkena kebinasaan. 

Inilah hakikat burhaniyyah yang menentukan bahwa manusia, seperti bagian-bagian alam yang lain, keberadaannya berkaitan dengan keberadaan bagian-bagian lain yang mengelilinginya. Perbuatan-perbuatannya dalam perjalanan hidupnya menuju tempat kebahagiaan berkaitan dengan yang lainnya. Jika hubungannya dengan alam itu baik, maka bagian-bagian alam yang lain pun akan baik kepadanya dan membukakan keberkahan langit untuknya. Jika langit rusak maka alam ini pun rusak. Ia menghadapkan alam pada kehancuran. Jika ia kembali pada kebaikan, maka alam pun menjadi baik. Jika tidak, alam akan mengalami kerusakannya. Akibatnya, apabila jatuh ke dalam kerusakan, alam bangkit melawannya, membinasakannya dengan menghancurkan bangunan-bangunannya dan menghilangkan jejaknya, dan membersihkan bumi dari kotorannya. Al-Mizan fi tafsir al-Qur’an, jil.8, hal.196