Telah berkata seorang Ulama : "Barangsiapa yang tidak menghadap kepada Allah SWT. dengan kelembutan-kelembutan karunia kebaikan Allah SWT., niscaya dia akan dibelenggu Allah dengan berbagai rantai percobaan serta ujian.
Dan barangsiapa yang tidak mensyukuri dengan segala nikmat Allah SWT., maka ia telah menunjukkan kepada hilangnya nikmat-nikmat Allah SWT. tersebut. Akan tetapi barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah SWT. itu, maka berarti ia telah mengikatnya dengan suatu tali nikmat tersebut.
Sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita sebagai seorang muslim atau hamba Allah yang sholeh untuk mensyukuri atas semua nikmat Allah SWT. yang sangat banyak ini, yang mana di antara kita tidak bisa menghitungnya.
Bahwa sesungguhnya yang hanya memberi segala sesuatu dan bermacam-macam nikmat itu hanyalah Allah SWT. dan seorang hamba yang telah mengetahui tentang masalah dirinya yang banyak mempunyai kekurangan, kelemahan serta ketidak mampuannya, semua itu haruslah kita meyakininya.
Maka tugas dari seorang hamba dengan sesamanya ialah saling menyayangi, memberi serta menerima apa saja yang telah mereka terima dari nikmat Allah SWT. tersebut, selain bersyukur atas segala nikmat yang telah diterimanya oleh si hamba dari Allah SWT.
Dan di samping itu pula manusia haruslah atau patut sekali untuk saling berterima kasih, sebab pemberian Allah SWT. yang telah dinikmati oleh setiap manusia itu adalah termasuk kerjasama erat yang dilakukan antara sesama mereka.
Bahwa nikmat itu adalah setiap kebaikan yang dapat dirasakan kelezatannya di dalam kesenangan hidup, akan tetapi kita tahu bahwa nikmat yang sejati itu adalah suatu kesenangan dan kebahagiaan hidup besok di alam akhirat, rumusan dari Iman Al-Ghazali mengenai nikmat.
Mengenai argumentasi atau pendapat masalah nikmat ini yaitu syukur nikmat, itu tidak lain adalah bersyukur kepada semua pemberian Allah SWT. baik yang sedikit maupun yang banyak.
Dan di dalam hal ini Rasulullah saw. telah bersabda atau mengingatkan : "Siapa yang tidak mensyukuri atas pemberian yang jumlahnya sedikit, maka ia pun tidak akan dapat mensyukuri atas pemberian Allah SWT. yang banyak. Dan siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak akan bersyukur kepada Allah".
Syekh Athaillah telah membagi manusia dalam tiga golongan mengenai nikmat ini, di antaranya ialah :
1. Orang yang lalai kepada Allah, sedangkan kelalaiannya itu telah mencapai puncak. Dan ia tidak mempunyai suatu keyakinan bahwa nikmat yang telah diterimanya itu ada-lah dari Allah SWT., bahkan ia lebih percaya bahwa nikmal Allah itu atas hasil usahanya sendiri atau atas bantuai kawan-kawannya yang sama dengan dirinya. Dan sudal pasti bahwa perbuatan semacam ini termasuk ke dalan perbuatan syirik yang telah merusak aqidah dan akhlal manusia, lebih-lebih kaum muslimin.
2. Golongan ahli hakekat, yaitu golongan yang telah melupa kan makhluk karena melihat langsung Allah SWT. dengar bashirahnya, dia telah melampaui sebab-musabab, sebal telah melihat Dzat yang menentukan sebab dan yang men jadikan sebab. Dialah hamba yang menghadapi hakeka yang tampak terang cahaya hatinya, yang sedang berjalai di atas jalannya. Sungguh ia telah mencapai puncak yan; tengah tenggelam di alam cahaya, sehingga tidak nampal bekas-bekas makhluk. Keyakinannya telah mengalahkai ingatannya, lupa kepada duniawinya, karena keinginan nya berjumpa dengan Allah SWT.. Perasaan ke-Ilahiannya mengalahkan penglihatannya kepada makhluk. Sirnanya ia ke dalam pertemuan dengan Allah SWT. telah mengalah kan perasaan bersama makhluk. Hilangnya keadaan makhluk dari penglihatan telah melenyapkan kehadirannya antara makhluk".
3. Golongan orang yang dekat dengan Allah SWT. juga dekat dengan makhluk. Ia berada di hadapan Allah dan di tengah makhluk.
Dan menurut pandangan Allah SWT., yang dapat memenuhi kewajiban terhadap Allah SWT. serta tugas kepada sesama nya (hamba-hamba Allah) itu adalah golongan yang ketiga ini. Di dalam menghadapi akan karunia nikmat Allah, manusi itu dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu :
Pertama : Orang yang bergembira karena nikmat, bukan kepada yang telah memberinya, akan tetapi semata-mata karena kelezatan itu saja. Dan orang semacam ini adalah orang, yang lalai, sesuai dengan firman Allah yang berbunyi : "Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami (Allah) siksa mereka dengan sekonyong- konyong". (Al-An'am : 44).
Kedua : Orang yang bergembira dengan karunia, sebab ia mengerti bahwa karunia yang telah diterimanya sebagai pemberian dari Dzat yang telah memberinya, firman Allah yang artinya : "Katakanlah, dengan karunia Allah SWT. dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah SWT. itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (Yunus : 58).
Ketiga : Orang hanya bergembira dengan Allah, tidak terpengaruh oleh kelezatan nikmat lahir ataupun batinnya. Sebab ia telah sibuk memperhatikan Allah SWT., daripada selain-Nya. Ia merasa bahwa selalu bersama dengan Allah SWT., sehingga ia tidak melihat siapa pun selain-Nya, sesuai dengan firman Allah yang artinya: "Katakanlah, Allah jualah (yang menurunkannya), kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya". (Al-An'am: 91).
Maqam dari segala maqam yang tertinggi itu adalah syukur, menurut pendapat dari Imam Ghazali, sebab bersyukur itu sendiri adalah dimaksudkan bukan merupakan alat, karena syukur itu sendiri terbagi menjadi tiga perkara antara lain :
1. Pengetahuan tentang nikmat, maksudnya ialah bahwa seluruh nikmat itu dari Allah SWT., dan Allah SWT. sendiri yang telah memberikan nikmat ilmu pengetahuan tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sedangkan yang lain itu hanya sebagai perantara untuk sampainya nikmat tersebut.
2. Sikap jiwa yang tetap dan tidak berubah, maksudnya ialah sebagai akibat dari pengetahuannya, sebagai pendorong untuk selalu senang serta mencintai kepada yang telah memberi nikmat tersebut, dalam bentuk kepatuhannya kepada seluruh perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
3. Perbuatan yang bukan maksiat kepada Allah SWT., sikap yang demikian ini bisa terjadi apabila seseorang telah mengenal akan kebijaksanaan Allah SWT. di dalam mencipta- kan seluruh makhluk. Sikap demikian ini hanya diberikan oleh Allah SWT. kepada hamba yang telah dikehendaki- Nya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Ibnu Qudamah Al-Muqadari mengutarakan pendapatnya yakni "Syukur" itu dapat terjadi dengan:
Lisan atau lidah :
Melahirkan rasa terima kasih dengan melalui ucapannya.
Hati :
Keinginan untuk selalu berbuat kebaikan, yang demikian ini tidak diberikan kepada setiap orang.
Perbuatan anggauta :
Mempergunakan nikmat Allah SWT. menurut yang telah dikehendaki oleh yang memberikan, yaitu menurut peraturan-peraturan Allah SWT..
Sebagai Dzat yang telah menganugerahkan rahmat kepada manusia menjadi suatu kewajiban dari juga termasuk ibadah, itulah yang namanya bersyukur kepada Allah SWT. sebagai Dzat Pemberi segala karunia berupa nikmat (pendapat dari Asy-Syibli). Dan dia masih menambahkan pendapatnya yaitu apabila nikmat Allah itu tanpa disyukuri atau bersyukur kepada Allah, maka nikmat itu akan menjadi laknat.
Sedangkan Abdul Aziz Al Mahdawy telah menyebut penjelasannya dengan : "Orang yang tidak bersyukur kepada Pemberi nikmat, maka rahmat itu akan berubah menjadi bala'. Dan bala' itu adalah merupakan laknat yang sangat berbahaya bagi manusia.
Dan orang yang termasuk tidak mensyukuri nikmat itu ialah orang yang telah menyalah gunakan nikmat, sedangkan orang yang termasuk kepada tempat yang akan mendatangkan bala' dan laknat itu adalah orang yang telah mempergunakan nikmat untuk berbuat kemaksiatan.
Oleh karena itu, berhati-hatilah di dalam mempergunakan suatu rahmat serta kenikmatan dari Allah SWT., dan apabila rahmat Allah SWT., tidak dimanfaatkan untuk kebaikan, maka sama halnya dengan mencampur susu dengan air selokan yang mempunyai bau yang sangat busuk.
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan untuk pedoman mengenai syukur ini antara lain adalah :
1. Terdapat di dalam surat Luqman ayat 12, artinya:
"Sesungguhnya Kami telah berikan hikmah kepada Luqman, (yaitu) bersyukurlah kepada Allah. Dan barang- siapa yang bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya Allah SWT. Maha Kaya Lagi Maha Terpuji".
2. Tertera di dalam surat Al-Insan atau Ad-Dahr, ayat 3, yang artinya adalah :
"Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur".
3. Berdasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 152, artinya adalah sebagai berikut :
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku".
4. Hadits Riwayat Tirmidzi, artinya adalah :
"Orang yang memberi makan dan bersyukur (kepada nikmat Allah) adalah seperti orang puasa dan sabar".
............
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ahmad artinya adalah sebagai berikut :
"Orang yang paling bersyukur kepada Allah di antara kami sekalian adalah orang yang paling bersyukur kepada manu sia".
6. Hadits yang telah diriwayatkan oleh Thabrani: "Barangsiapa yang diberi kebaikan maka hendaklah ia menyebutkannya. Barangsiapa yang menyebutnya maka ic telah mensyukurinya, dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka ia telah kufur".