Antara Doa, Sebab, dan Akibat

Pada umumnya, yang menjadi persoalan ialah diminta atau tidak, jika apa yang menjadi permintaan telah ditakdirkan maka itu pasti terjadi. Sebaliknya, jika hal itu tidak ditakdirkan untuk terjadi maka diminta atau tidak, hal itu tetap tidak akan terjadi. Tidak sedikit orang yang mengira hal ini adalah benar hingga mereka tidak mau berdoa dan menyatakan, "Doa itu tidak ada gunanya." Mereka termasuk golongan orang-orang dungu dan sesat, sebab sikap dan pandangan mereka yang kontradiktif. Pandangan yang demikian akan memunculkan sikap menafikan segala sebab. Buktinya, coba dikatakan, "Makan atau tidak makan, jika telah ditakdirkan kenyang dan segar, tentu itu akan terjadi, dan andaikan itu tidak ditakdirkan maka tidak akan terjadi. Jika ditakdirkan mempunyai anak, baik melakukan hubungan biologis atau tidak maka itu akan terwujud, dan jika tidak ditakdirkan, itu tidak akan terwujud. Oleh sebab itu, tidak perlu menikah dan seterusnya." 

Tidak mungkin manusia yang berakal akan berpandangan demikian?! Bahkan, hewan saja digariskan untuk menjalankan sebab-sebab yang dengannya, ia bisa bertahan dan melanjutkan hidup. Jika demikian, hewan masih lebih berakal dan lebih paham dibanding manusia yang seperti binatang atau bahkan lebih sesat. 

Di antara mereka, ada yang berlagak pintar dengan mengatakan, "Sibuk berdoa merupakan bagian dari ibadah yang akan dibalas oleh Allah dengan pahala tanpa membawa pengaruh apa pun terkait dengan apa yang diminta." Baginya, berdoa atau tidak, itu sama sekali tidak berpengaruh pada terwujudnya sesuatu. Mereka menganggap bahwa berdoa itu sama halnya dengan diam. 

Ada sebagian lainnya yang kelihatan lebih pintar berpendapat, "Doa hanyalah tanda yang ditancapkan oleh Allah Swt. sebagai petunjuk atas pemenuhan kebutuhan. Ketika Allah Swt. memberikan taufiq kepada hamba untuk berdoa maka itu adalah tanda yang menjadi petunjuk atas kebutuhannya yang akan terpenuhi. Ibaratnya, Anda melihat awan hitam di musim dingin yang menjadi petunjuk bahwa hujan akan turun." Mereka juga berpandangan bahwa hubungan antara ketaatan dengan pahala, kekufuran dan kemaksiatan dengan siksa, semua itu hanya sebagai petunjuk akan adanya pahala dan siksa, bukan menjadi sebab adanya hukuman dan pahala tersebut. 

Begitu juga, bagi mereka, penghancuran dan kondisi hancur, pembakaran dan kondisi terbakar, pembunuhan dan kematian, kesemuanya itu bukanlah sebab. Tidak ada keterkaitan antara yang s.itu dengan yang mengiringinya. Bahkan, itu hanyalah kejadian y.mg beriringan dan bukan hukum pengaruh sebab akibat. 

Dengan demikian, mereka telah mengingkari perasaan, akal, syariat, fitrah, dan segenap orang-orang yang menggunakan akalnya. Mereka yang menggunakan akalnya, menilai bahwa orang yang berpandangan demikian itu lucu karena sebetulnya yang benar ialah pandangan yang belum disebutkan, yaitu bahwa takdir itu ditetapkan berdasarkan banyak sebab. Termasuk di antara sebabnya adalah doa. Takdir tidak ditetapkan tanpa sebab, tetapi ia terlaksana dengan sebabnya. Bila sebabnya dilaksanakan maka apa yang ditakdirkan akan terjadi dan apabila sebab itu tidak dilaksanakan maka ia akan lenyap. Sama halnya dengan kenyang dan segar yang ditakdirkan sebab makan dan minum, memiliki anak sebab hubungan biologis, tanaman tumbuh sebab bibit, hewan mati sebab disembelih, masuk surga atau neraka sebab amal. Inilah pandangan yang benar yang tidak sesuai dengan sejumlah pandangan sebelumnya. 

Dalam hal ini, doa termasuk di antara sebab yang paling kuat. Apabila apa yang diminta terwujud sebab doa maka tidaklah benar jika dikatakan, "Doa itu tiada gunanya." Sebagaimana tidak dapat pula dikatakan, "Makan, minum, semua gerak dan amal tidaklah berguna." Tidak satu pun sebab yang lebih ampuh dan lebih bisa mewujudkan permintaan daripada doa. 

Oleh karena itu, para sahabat Nabi Saw semoga Allah meridhai mereka merupakan generasi umat yang paling mengenal Allah dan Rasul-Nya dan yang paling mengerti tentang agama, mereka adalah yang paling teguh berdoa dengan memenuhi syarat juga tata kramanya daripada generasi lainnya. 

Sahabat Umar Ra. meraih kemenangan atas musuhnya dengan doa. Padahal, kekuatan bala tentara musuhnya itu jauh lebih besar. Ia berkata kepada para sahabatnya, "Kemenangan kalian bukanlah karena banyaknya jumlah, tetapi kalian mendapatkan kemenangan dari langit." Ia juga menuturkan, "Aku tidak merisaukan atas terkabulnya doa, tetapi yang kurisaukan adalah tekad dalam berdoa. Jika kamu diilhami untuk berdoa, tentu diiringi terkabulnya.” 

Seorang penyair mengungkapkan hal yang senada dengan itu dalam bait syairnya: 

Tak mungkin Engkau mengajariku meminta dengan segenap kemurahan-Mu. 

Andai saja Engkau tiada menghendaki terwujudnya harapan dan pintaku. 

Barang siapa diilhami untuk berdoa maka sungguh, doanya akan dikabulkan. Allah Swt. berfirman:

 وَقَالَ رَبُّكُمُ اُدْعُونِىّ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan, Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku kabulkan bagimu..( Al-Mu’min (40):60).” 

dan juga:

 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيْبٌ ۖ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ "

Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka {jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku....( Al-Baqarah (2) :186)” 

Diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah Ra. menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Barang siapa tidak meminta kepada Allah maka Allah akan murka kepadanya." Ini menunjukkan bahwa keridhaan Allah terletak pada sikap meminta dan ketaatan hamba-Nya. Apabila Tuhan meridhai, segala kebaikan ada di dalamnya sama seperti segala bencana dan musibah yang terletak dalam murka-Nya. 

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits Qudsi, "Akulah Allah, tiada Tuhan selain-Ku. Jika Aku lidlu, Aku berkahi, dan keberkahan-Ku tiada terbatas. Jika Aku murka, Aku melaknat, dan laknat-Ku sampai tujuh turunan." 

Akal, nash (al-Qur'an dan as-Sunnah), fitrah, dan pengalaman umat dari berbagai macam bangsa dan agama telah menunjukkan bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan, mencari ridha-Nya, kebajikan, dan berbuat baik kepada makhluk-Nya merupakan sebab terbesar yang mendatangkan setiap kebaikan. Adapun kebalikannya, merupakan salah satu sebab terbesar akan datangnya keburukan. Tiada satu pun perkara dapat men-datangkan nikmat Allah dan me¬nolak murka-Nya yang sebanding dengan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta berbuat baik kepada makhluk-Nya. lebih dan seribu kali, Allah Swt. telah menetapkan dalam al- Qur’an bahwa kebaikan dan kebahagiaan dunia akhirat tergantung dengan amal, sebagaimana balasan tergantung dengan syarat, dan akibat tergantung dengan sebab. 

Kebaikan yang bersifat duniawi dapat dikaitkan dengan perintah syariat dengan gambaran yang sesuai, misalnya firman Allah Swt:

"Maka, tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang, kami katakan kepadanya, 'Jadilah kalian kera yang hina! (Al-A’raf (7): 166)"

 "Maka, tatkala mereka membuat kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya {di laut).( Az-Zukhruf (43) : 55) "

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan sebab apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al-Ma’idah (5) : 38).”

 "Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut {nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.( Al-Ahzab (33) :35)” 

Allah Swt juga menetapkan hubungan keterkaitan syarat dan alasan, seperti firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu petunjuk, kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa- dosa)mu. Dan, Allah adalah Dzat yang mempunyai karunia yang agung.( Al-Anfaal (8): 29)”

"Dan, bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), Kami benar-benar akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).( Al-Jinn (72) : 16)”

"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudaramu seagama.( At-Taubah (9) : 11)” 

Adakalanya Allah menetapkan keterkaitan itu dengan menggunakan "lam ta'lil," seperti firman-Nya: 
 
"Supaya mereka jnemperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shad [38]: 29).

“Agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian." (QS. al-Baqarah [2]: 143). 

Adakalanya Allah dengan menggunakan kay yang menunjukkan makna "supaya", seperti dalam firman-Nya berikut:

"Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS. al-Hasyr [59]: 7). Ada juga yang menggunakan ba dengan makna sebab, seperti firman-Nya:

 "(Azab) yang demikian itu disebabkan perbuatan tanganmu sendiri." (Ali Imran [3]: 182).
 كُلُوا وَاَشْرَبُوا هَنِيْئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ 

"(Dikatakan kepada mereka), 'Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan."

 "Dan, berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian, 'Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikit pun atas kami maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan." (QS. al- A'raaf [7]: 39).

"Itulah balasan bagi mereka sebab mereka telak kufur terhadap ayat-ayat Kami." (QS. al-Israa' {17]: 98) 

Adakalanya juga dengan mafulliajlih, secara tersurat maupun tersirat, seperti dalam firman-Nya:

"(Jika tak ada dua orang lelaki), boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai agar jika seorang lupa maka yang lain dapat mengingatkannya." (QS. al-Baqarah [2]: 282).

"(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tulah mengatakan, 'Sesungguhnya, kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS.al-A’raaf (7) :172)

Kami turunkan al-Qur’an itu agar kamu (tidak) mengatakan, “Kitab itu hanya diturunkankepada dua golongan saja sebelum kami.” (QS. Al-An’aam (6) : 156 ) 

Adakalanya dengan menggunakan fa’ sababiyyah yakni fa yang mengandung makna sebab, seperti dalam firman Nya:

"Lalu, mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu maka (sebab itu) Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa-dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah)" (QS. asy-Syams [91]: 14). 

"Mereka telah mendurhakai utusan Tuhan mereka, (sebab itulah) Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras." (QS. al-Haaqqah [69]: 10).

 "Maka, (tetaplah) mereka mendustakan keduanya maka sebab itu mereka adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan." (QS. al-Mu'minuun [23]: 48). 

Adakalanya dengan lamma yang menunjukkan makna "pembalasan", seperti berikut: 

 "Maka, tatkala mereka membuat kami murka, kami menghukum mereka."(QS. az-Zukhruf [43]: 55). 

Adakalanya juga dengan inna dan konsekuensinya seperti dalam ayat berikut:

... Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik...." (QS. al- Anbiyaa' [21]: 90).

... Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat maka Kami tenggelamkan mereka semuanya." (QS. al-Anbiyaa' [21]: 77). 

Adakalanya dengan lau laa yang menunjukkan adanya keterkaitan antara sesuatu sebelumnya dengan sesudahnya sebagaimana ayat berikut:

"Maka, kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah." (QS. ash-Shaaffaat [37]: 143). 

Adakalanya dengan law yang menunjukkan makna syarat.

... Kalau saja mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentu hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka...." (QS. an-Nisaa' [4]: 66). 

Secara keseluruhan, al-Qur'an dari awal hingga akhir menjelaskan hukum hubungan balasan atas kebaikan dan keburukan, dan juga hukum alam serta sebab-sebabnya. Bahkan, keterkait¬an hukum dunia dengan akhirat dan kebaikan serta kehancuran dijelaskan juga di dalamnya bahwa semua itu berhubungan de¬ngan sebab dan perbuatan. 

Barang siapa bersungguh-sungguh memahami permasalahan ini dan mau menghayatinya dengan sepenuh hati, ia akan mendapatkan manfaat yang tiada terkira. Ia tidak akan berpasrah pada takdir secara bodoh, lemah, sembrono, dan sia-sia. Jika sampai demikian, kepas¬rahannya menjadi kelemahannya dan kelemahannya menjadi kepasrahannya. 

Orang yang benar-benar paham ialah yang menolak takdir dengan takdir, mencegah takdir dengan takdir, mencegah takdir dengan takdir serta melawan takdir dengan takdir. Tanpa itu, manusia tidak mungkin dapat bertahan hidup karena sesungguhnya rasa lapar, haus, dingin, serta berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran merupakan bagian dari takdir. 

Seluruh makhluk berusaha menolak takdir dengan takdir. Begitu juga orang yang mendapat taufiq dan petunjuk dari Allah Swt. Mereka menolak takdir siksaan akhirat dengan takdir bertaubat, beriman, dan beramal shalih. Inilah hukum yang berlaku di dunia dan begitu juga kebalikannya. 

Tuhan Penguasa dunia dan akhirat adalah tunggal. Kebijak- sanaan-Nya juga tunggal, tiada kontradiksi ataupun pertentang¬an antara yang satu dengan yang lain. Hal ini sangat penting bagi orang yang mengerti dan memperhatikan takdirnya dengan benar.