Kunci Mendapatkan Kebahagiaan yang Sempurna

Ada dua perkara yang harus dipahami oleh setiap individu karena keduanya menjadi sebab tercapainya keberuntungan dan kebahagiaan yang sempurna. 

Pertama, seseorang harus mengetahui sebab-sebab kebaikan dan keburukan secara mendetail lewat realitas yang disaksikannya, pengalamannya sendiri dan orang lain, serta sejarah umat-umat terdahulu dan masa kini. 

Di antara hal yang paling bermanfaat untuk itu ialah memahami kandungan al-Qur'an secara mendalam. Sesungguhnya, al-Qur'an telah mencakup semuanya dari berbagai sudut pandangnya secara sempurna. Di dalamnya, diterangkan tentang seluruh sebab-sebab kebaikan dan keburukan dengan jelas dan rinci. Berikutnya adalah memahami as-Sunnah. Ia adalah saudara kandung al-Qur'an dan merupakan wahyu kedua. Dengan mengarahkan perhatian pada kedua sumber itu, meski tanpa yang lain, sebenarnya telah mencukupi. 

Keduanya menerangkan tentang kebaikan dan keburukan serta sebab-sebabnya kepada Anda hingga seakan-akan Anda melihatnya dengan mata telanjang. Jika Anda mau merenungkan kisah-kisah dari berbagai umat dan bagaimana Allah memperlakukan orang yang taat kepada-Nya juga yang durhaka, pasti Anda akan mendapati hal itu sesuai dengan keterangan yang ada dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Anda pun akan mengetahui secara detail apa-apa yang Dia beritakan dan yang Dia janjikan. 

Dengan tanda-tanda kebesaran-Nya di langit, Anda akan mengerti bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah hak (benar) dan Allah pasti menepati janji-Nya. Maka, segala sebab kebaikan dan keburukan yang telah diberitahukan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita telah dijelaskan oleh sejarah. 

Kedua, hendaknya senantiasa waspada terhadap tipu daya nafsu dalam menyikapi berbagai sebab. Hal ini termasuk hal yang terpenting. Sesungguhnya, seorang hamba sungguh telah mengetahui bahwa kemaksiatan dan kelalaian termasuk sebab yang membahayakan bagi dunia dan akhiratnya, akan tetapi nafsu memperdayanya, seperti dengan sikap pasrah terhadap maaf dan ampunan Allah, menunda-nunda taubat, mengucapkan istighfar hanya sebatas lisan, mengerjakan amal-amal sunnah saja, merasa berilmu, berdalih sebab takdir, berdalih dengan perilaku yang semisal atau sebanding, dan berdalih telah mengikuti para pembesar.