Islam dan Keadilan dalam peradilan

Seorang hakim (penghulu) wajib berlaku adil – tidak berat sebelah – dalam masalah-masalah persengketaan yang terjadi antara dua orang atau dua golongan. Ia wajib memberi kepada kedua pihak – penggugat dan tergugat: 
  • Kesempatan yang sama bagi kedua pihak untuk menemuinya, 
  • Tempat duduk yang sama di depannya 
  • Perhatian yang sama seriusnya kepada keduanya, 
  • Kesempatan yang sama bagi masing-masing untuk menguraikan masalah perkaranya di hadapannya dan 
  • Penetapan keputusan yang tidka berat sebelah. 
Juga dituntut dari seorang hakim agar bersikap adil, tidak berat sebelah, menghadapi dua pihak yang sedang berperkara, dan dapat mengekang dirinya jangan sampai terpengaruh oleh rasa simpatinya kepada salah satu pihak. Ia tidak boleh mengajar salah satu pihak bagaimana mengajukan alasan atau bukti-bukti, menganjuri untuk mengaku atau mengingkari dan mengajari orang-orang yang ditarik sebagai saksi untuk memberi atau menolak kesaksian. Karena hal itu akan merugikan pihak lain. 
Juga seorang hakim tidak boleh menerima sebagai tamu salah satu pihak yang sedang berperkara – penggugat atau tergugat – dan atau menerima undangan bertamu di rumah salah satu dari keduanya, karena hal itu akan menimbulkan rasa resah dan curiga di hati pihak lain. Bahkan bertamu kepada keduanya pun selama masih dalama perkara tidak dibolehkan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah menerima seorang yang sedang beperkara bertamu di rumah beliau melainkan dengan hadirnya pihak yang lain. 
Walhasil, kewajiban seorang hakim ialah menegakkan kebenaran dan menyampaikan hak seseorang kepada yang mustahaq. Dan hendaklah peradilan berlaku bersih, murni, tidak dicampurbaurkan dengan tujuan yang lain, demikianlah apa yang menjadi maksud dari firman Allah swt.: 
“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (Annisa 58).