Allah swt. berdirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-nisa’ 58).
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad 26).
Dan jika firman Tuhan dalam ayat ini ditujuakn kepada Nabi Dawud maka sebenarnya perintah itu berlaku bagi orang-orang yang kebetulan menjadi penguasa dan wali rakyat. Dan Allah menyebut nabi Dawud dalam ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu hanyalah sebagai contoh dan tauladan bagi tiap penguasa . sebab jika Dawud seorang Nabi yang ma’shum (kebal dosa) masih perlu diingatkan oleh Allah jangan sampai mengikuti hawa nafsu yang dapat menyesatkan sehingga tidak berlaku adil dalam menjalankan kekuasaannya, maka lebih-lebih harus mendapat peringatan Allah ialah orang-orang biasa yang mudah disesatkan oleh hawa nafsu dan syaitan.
Berlaku adil dalam melaksanakan kekuasaan menjamin kemantapan hukum, ketenangan rakyat dan kewibawaan penguasa. Sedang kedzaliman akan menimbulkan keresahan, kekacauan yang pada akhirnya menyebabkan kerapuhan kekuasaan dan kebinasaan penguasa sendiri.
Bersabda Rasulullah:
إنّ هذا الأمر فى قريش ماإذا استرحموا رحموا وإذا حكموا عدلوا وإذا أقسموا أقسطوا فمن لم يفعل ذلك فعليه لعنة الله والملائكة والنّاس أجمعين
“Sesungguhnya urusan khilafah ini akan tetap berada di tangan suku Quraisy selama mereka mengasihani bila diminta belas kasihannya, berlaku adil bila berkuasa dan bila bersumpah jujur dalam sumpahnya. Dan barangsiapa tidak berbuat demikian, laknat Allahlah dan laknat malaikat serta laknat orang semua di atasnya.”
Keadilan menuntut agar tiap hak disampaikan kepada yang patut menerimanya, menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah dan melepaskan hawa nafsu serta pilih kasih dalam segala pembagian dan perlakuan. Allah swt berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”(Al-Maidah 49).
Sikap yang ideal bagi seorang penguasa yang adil, ialah apa yang digambarkan oleh Alhasan Albashri dalam suratnya yang dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari dinasti Umaiyah, yang isinya sebagai berikut:
Ketahuilah hai Amirul-mu’minin, bahwa seorang penguasa yang adil itu adalah penegak bagi yang miring, tujuan bagi yang meminta pertolongan, kekuatan bagi yang lemah, keadilan bagi yang teraniaya dan tempat pelarian bagi yang menderita.
Dan penguasa yang adil, hai Amirul-mu’minin, adalah sebagai gembala yang sayang erhadap binatang ternaknya, ia menggembalakan piaraannya di padang rumput terbaik, menghalaunya dari tempat-tempat bahaya, menjaganya dari binatang-binatang buas dan melindunginya dari gangguan alam panas dan dingin.
Penguasa yang adil itu, hai Amirul-mu’minin, adalah sebagai ayah yang sayang kepada anak-anaknya, berusaha untuk kepentingan mereka, mengajar mereka pada usia remajanya, mencari nafkah bagi mereka selama hidupnya dan meninggalkan simpanan bagi mereka setelah matinya.
Penguasa yang adil itu, hai Amirul-mu’minin, adalah sebagai ibu yang mencintai dan berkasih sayang kepada anaknya, ia dikandungnya dalam keadaan payah dan lemah, demikian pula ia dilahirkan, malam tidak tidur menjaganya, menyusuinya kemudian menyaraknya, bersuka ria jika ia sehat dan berduka jika ia menderita (sakit).
Penguasa yang adil itu, hai Amirul-mu’minin, sebagai pelaksana wasiat untuk anak-anak yatim dan bendahara bagi orang-orang miskin, memelihara yang kecil-kecil di antara mereka dan memberi nafkah kepada yang besar-besar.
Penguasa yang adil itu, hai Amirul-mu’minin, bagaikan hati di antara anggota badan, yang menjadi baik semuanya jika hati baik dan rusak semuanya jika hati rusak.
Penguasa yang adil itu, hai Amirul-mu’minin, adalah penguasa antara Allah dan hamba-hamba-Nya, ia mendengar firman-dirman Allah lalu menyampaikannya kepada mereka, mengenal Allah dan memperkenalkan-Nya kepada mereka, berjalan dan menuntun mereka ke jalan Allah.
Hai Amirul-mu’minin, janganlah dalam mengurus apa yang dikuasakan Allah kepadamu engkau bersikap seperti seorang hamba sahaya yang menerima amanat majikannya untuk menjaga harta miliknya dan keluarganya, tetapi ia menghamburkan harta milik dan mencerai-beraikan keluarga yang diamanatkan kepadanya itu, sehingga harta kucar-kacir dan para keluarga jatuh miskin.
Ketahuilah hai Amirul-mu’minin, bahwa Allah telah menentukan hudud (sanksi-sanksi) untuk mencegah terjadinya kemungkaran dan kemaksiatan, maka bagaimana jika yang harus melaksanakan sanksi-sanksi itu, ialah orang yang melakukan pelanggaran? Sesungguhnya Allah menetapkan qishash untuk melindungi nyawa hamba-hamba-Nya, maka bagaimana jika yang harus melaksanakan qishash itu ialah orang yang pembunuh?
Ingatlah maut, hai Amirul-mu’minin, dan apa yang akan terjadi sesudahnya. Maka berbekallah untuk itu dan untuk hari ketakutan yang terbesar.
Dan ketahuilah, hai Amirul-mu’minin, bahwa bagimu tersedia tempat tinggal selain yang engkau tempati sekarang ini. Di situ akan berpanjanglah masa tidurmu, ke situ engkau diserahkannya oleh kawan-kawanmu lalu ditinggalkannya seorang diri. Maka bawalah bekal yang akan menyertaimu ke tempat tinggalmu yang baru itu:.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.” (Abasa 34-36)
Dan ingatlah, hai Amirul-mu’minin:
“Maka Apakah Dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada”(Al-Aadiaat 9-10).
Segala rahasia akan menjadi terang, dan catatan dalam alkitab:
“Yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (Al-Kahdi 49).
Maka sekaranglah hai Amirul-mu’minin, selagi engkau masih berkesempatan sebelum tiba ajalmu dan terputuslah segala harapan.
Hai Amirul-mu’minin, janganlah memerintah dengan peraturan orang-orang yang bodoh dan jangan membawa hamba-hamba Allah ke jalannya orang-orang yang dzalim. Dan janganlah engkau menguasakan orang-orang yang kejam dan sombong atas orang-orang yang lemah. Karena mereka itu biasanya tidak mempunyai rasa rahmat dan kasihan dan tidak menepati amanat dan janji. Maka jika engkau berbuat demikian akan menanggung dosa-dosa di samping dosa-dosamu dan memikul beban-beban di samping beban-bebanmu. Dan janganlah engkau tertipu oleh sikap orang-orang yang bersenang-senang dengan apa yang menjadi sengsaramu dan menikmati makanan-makanan lezat dengan menghilangkan kelezatan dan kenikmatan akhiratmu.
Janganlah engkau melihat pada kekuasaanmu hari ini, tetapi lihatlah kekuasaanmu besok di kala engkau terjirat oleh jala maut dan di kala engkau berdiri memberi pertanggungan jawab di hadapan Allah dengan disaksikan oleh para malaikat, para nabi dan para rasul dalam keadaan di mana telah:
“Dan telah tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang hidup kekal lagi Senantiasa mengurus (makhluk-Nya).”(Thahaa 111).
Hai Amirul-mu’minin, sungguhpun aku tidak akan mencapai apa yang telah dicapai oleh para cerdik dan pandai yang sebelum aku, namun aku tidak akan lalai memberi nasehat kepadamu dengan tulus ikhlas disertai kasih sayang. Maka anggaplah aku dengan risalahku ini sebagai orang yang memberi obat kepada orang yang disayanginya, dengan harapan membawa sehat dan afiah kepadanya, walaupun obatnya dirasakan pahit dan tidak sedap, wassalamu alaika ya Amirul-mu’minin warahmatullahi wabarakatuh.”
Di bawah ini kami nukilkan dan kasus yang terjadi di masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab r.a. untuk mengetahui bagaimana Umar mempraktekkan pemerintahan yang adil dan demokratis.
Alkisah, seorang usahawan bangsa Persi datang kepada Saiyidina Umar mengadu bahwa sebidang tanah milik Wali (Gubernur) yang ditunjuk oleh Umar di tempatnya telah dikuasai dan diambil alih oleh Wali itu secara paksa, dan walaupun ia telah berusaha memintanya kembali berulang-ulang, namun ia selalu ditolaknya dengan cara yang kasar dan menghina.
Mendengar keluhan dan pengaduan orang Persi itu, segera Umar menulis sepucuk surat, lalu menyuruh sang Persi itu kembali ke tempat tinggalnya dengan membawa surat termaksud untuk disampaikannya kepda sang Wali yang bersangkutan.
Syahdan, setibanya di rumah berceritalah orang Persi itu kepada istrinya yang konon memberi nasehat kepadanya untuk pergi ke Madinah menyampaikan keluhannya tentang tanah kepada Khalifah Umar Ibnul Khaththab r.a.
“Aku telah diberi surat oleh Khalifah Umar untuk aku sampaikan kepada wali kita,” cerita sang suami, “namun aku tidak menaruh harapan bahwa wali kita akan mematuhi perintah Khalifahnya yang waktu aku temui di madinah, ia sedang duduk di atas selembar harapan yang sudah sangat kumal, dan untuk mengikat surat yang ditulisnya itu, ia terpaksa merobek hamparannya, karena tidak mempunyai seutas benang pun. Masukan Khalifah yang demikian sederhananya akan ditaati perintahnya oleh bawahannya termasuk wali kita ini?” tanya sang Persi kepada istrinya.
“Coba saja sampaikan surat itu kepada Wali. Kami akan melihat bagaimana reaksinya,’ ujar sang istri menjawab.
Adalah diluar dugaan sang Persi, bahwa tatkala sang Wali usai membaca surat Umar itu, segera berkata kepada si Persi pemilik tanah sambil peluh dinginnya bercucuran: “ Apakah yang engkau perbuat. Ambillah kembali tanahmu.”
Adapun kasus kedua, ialah tentang seorang bangsawan Arab dari suku Ghassan bernama Jaballah Ibnul Aiham. Ia pada suatu hari ketika sedang berthawaf terinjaklah kainnya tanpa disengaja oleh seorang pemuda dari suku Fizarah. Begitu Jaballah merasa kainnya terinjak, segera ia menoleh dan tanpa ampun ditamparlah wajah pemuda itu sekuat tenaganya.
Sang pemuda yang kena tampar itu segera lari mengadu kepada Saiyidina Umar. Dipanggillah Jaballah oleh beliau dan diberitahukannya bahwa ia harus menerima qishash (balasan setinpal) atas perbuatannya itu dari pemuda yang ditamparnya. Berkata Jaballah kepada Saiyidina Umar : “ Bagaimanakah mungkin terjadi hal yang demikian itu, padahal aku adalah seorang bangsawan, turunan raja-raja dan dia (si pemuda) hanya seorang rakyat jelata.” Umar menjawab: “Agama Islam telah mensamaratakan antara kamu berdua dan hanya karena taqwalah seorang dapat melebihi orang lain.”
Karena Jaballah tidak berhasil dalam usahanya memperoleh pengampunan dari sang pemuda yang tetap menuntut qishash, maka larilah Jaballah meninggal Mekah, pergi ke Roma sambil melepaskan agama Islamnya dan memeluk agama Nasrani. Akan tetapi belakangan Jaballah mersa menyesal atas tindakannya yang terburu-buru itu. Perasaan mana diuraikannya secara puitis dalam bentuk syair.
Dan yang paling tegas dari itu semua, mengenai persamaan dalam peradilan Islam yang tidak mengenal diskriminasi, ialah apa yang diriwayatkan bahwa Usamah bin Zaid pada suatu ketika hendak memberi syafaat (menggunakan jasa baiknya memohonkan penganpunan) bagi seorang yang dijatuhi hukuman. Ditegurlah ia oleh Rasulullah saw. yang bersabda:
أتشفع فى حدّ من حدود الله إنّما أهلك الّذين من قبلكم أنّهم كانوا إذا سرق فيهم الضّعيف قطعوه وإذا سرق الشّريف تركوه والّذى نفسى بيده لو سرقت فاطمة بنت محمّد لقطع محمّد يدها.
“Apakah engkau bersyafaat (memohonkan pengampunan) terhadap salah satu hukum daripada hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah? Sesungguhnya apa yang membinasakan orang-orang yang mendahului kamu, ialah bahwa mereka melakukan diskriminasi dalam peradilan, sehingga bila yang mencuri adalah seorang biasa mereka potong tangannya, tetapi jika yang mencuri adalah seorang bangsawan mereka lepaskan dia. Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah puteri Muhammad mencuri, pasti Muhammad akan memotong tangannya.”