Hukum Menggunakan Bejana untuk Menyimpan Air

Al-Awani adalah jamak dari Aniyah, yang berarti wadah, tempat benda-benda cair dan lain-lain. Ada beberapa hal yang patut diketahui mengenai bejana ini. 

Hukum memakai Bejana yang terbuat dari Emas dan Perak 

Bejana-bejana yang terbuat dari emas atau perak adalah haram digunakan untuk apa pun juga, seperti berwudhu’ dan minum, kecuali karena darurat, umpamanya tidak ada bejana yang lain. 

Al-Bukhari (5110) dan Muslim (2028) telah meriwayatkan dari Hudzaifah ibnul Yaman RA, dia berkata:

 سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: لاَ تَلْبَسُواالْحَرِيْرَ وَلاَ الدِّيْبَاجَ، وَلاَ تَشْرَبُوا فِى اَنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا، فَاِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الاَخِرَةِ. 

Pernah aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu mengenakan sutra kasar maupun halus, dan janganlah kamu minum pada bejana-bejana emas dan perak, dan jangan pula makan pada piring-piringnya. Karena semua itu untuk orang-orang kafir di dunia dan untuk kita kelak di akhirat. 

Ad-Dibaj: jenis pakaian sutra yang mahal. 

Aniyah: jamak dari Inaa’ (wadah). 

Shihafina: jamak dari shahfah (piring). 

Lahum: untuk mereka, yakni orang-orang kafir. 

Kepada makan dan minum bisa dikiaskan pula bermacam-macam penggunaan emas dan perak lainnya. Dan pengharaman di sini mencakup laki-laki dan wanita. 

Dan seperti halnya penggunaan, maka haram pula memproduksi bejana dari emas dan perak, karena apa-apa yang tidak boleh digunakan, maka tidak boleh pula memproduksinya, yakni membuat barang-barang itu sekalipun untuk hiasan dan semisalnya.


Hukum memakai Bejana yang direkat dari Emas dan Perak
Menggunakan bejana apa pun yang direkat dengan emas adalah haram, baik perekatan itu sedikit saja ataupun banyak. Adapun perekatan dengan perak, kalau hanya sedikit dan untuk selain hiasan, itu boleh. Tetapi kalau banyak dan untuk hiasan pula, maka haram hukumnya. Dan kalau perekatan itu banyak karena hajat, atau sedikit untuk hiasan, maka makruh hukumnya. 

Adapun dalil tentang diperbolehkannya perekatan besar dengan perak dikarenakan hajat, adalah riwayat yang telah disampaikan oleh al-Bukhari (5315), dari ‘Ashim al-Ahwal, dia berkata:

 رَاَيْتُ قَدَحَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ اَنَسِ بْنِ مَالِكِ وَكَانَ قَدِانْصَدَعَ فَسَلْسَلَهُ بِفِضَّةٍ، وَقَالَ اَنَسٍ: لَقَدْ سَقَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى هَذَاالْقَدَحِ اَكْثَرَ مَنْ كَذَا وَكَذَا 

Pernah saya melihat bejana Nabi SAW pada Anas bin Malik, bejana itu telah retak, lalu dia rekat dengan rantai perak, sedang Anas mengatakan: “Sesungguhnya aku telah mengucurkan air kepada Rasulullah SAW dengan bejana ini lebih dari sekian dan sekian kali.”

HUKUM MENGGUNAKAN BEJANA YANG TERBUAT DARI BARANG-BARANG TAMBANG YANG MAHAL LAINNYA 

Boleh saja menggunakan bejana-bejana yang terbuat dari barang-barang tambang mahal lainnya, seperti permata, mutiara, menjan, dan lain-lainnya, karena tak pernah ada nash yang melarang. Padahal, asalnya segala sesuatu itu boleh, selagi tidak ada dalil yang mengharamkan.

HUKUM MENGGUNAKAN BEJANA MILIK ORANG KAFIR 

Menggunakan bejana-bejana milik orang kafir adalah boleh. Karena menurut riwayat al-Bukhari (5161), dari Abu Tsa’labah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

 فَاغْسِلُوْهَا وَكُلُوا فِيْهَا 

Cucilah bejana-bejana itu dan makanlah dengannya. Suruhan Nabi supaya mencuci bejana-bejana orang kafir itu diartikan sebagai mustahab, karena boleh jadi bejana-bejana itu kotor, dikarenakan mereka telah memakainya sebagai wadah khamar atau daging babi dll. Dan seperti halnya bejana, begitu pula mengenakan pakaian-pakaian mereka dan semisalnya.