Arti dan Definisi Istilah-Istilah dalam Fiqih

Sebelum kita memasuki bab-bab Fiqih dan masalah-masalahnya, ada baiknya kita mengenal beberapa peristilahan Fiqih, yang akan senantiasa kita dapati ketika membicarakan hukum-hukum Fiqih pada setiap bab nanti, yaitu sebagai berikut: 

FARDHU 
Fardhu adalah sesuatu yang secara tegas dituntut oleh syara’ supaya dilaksanakan, yang apabila dilaksanakan maka mendapat pahala, dan bila ditinggalkan maka berdosa. 

Contohnya, ialah puasa. Syari’at Islam menyuruh kita dengan tegas supaya melakukan puasa. 

Firman Allah Ta’ala: Difardhukan atas kamu sekalian berpuasa. (Q.S. Al-Baqarah: 183). 

Maksudnya, apabila kita berpuasa, maka atas puasa itu kita akan memperoleh pahala di surga kelak, sebaliknya apabila kita tidak berpuasa, maka kita akan mendapat hukum di neraka. 

WAJIB 
Dalam madzab as-Syafi’i RH, wajib sama persis dengan fardhu, tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya, selain dalam masalah haji. 

Dalam masalah haji, wajib ialah amalan yang tidak menentukan sahnya haji. Dengan kata lain, bila amalan itu ditinggalkan maka tidak berarti hajinya itu batal atau tidak sah. Contohnya, melempar jumrah, ihram dari miqat dan wajib-wajib haji lainnya. Jadi, seorang yang beribadah haji bila tidak melakukan wajib-wajib tersebut, maka hajinya tetap sah, sekalipun tidak sempurna. Dan atas ditinggalkannya wajib-wajib tersebut, dia berkewajiban membayar denda (fidyah), yaitu menyembelih kambing. 

Sedang fardhu dalam masalah haji, ialah amalan yang menentukan sahnya haji. Dengan kata lain, apabila amalan itu ditinggalkan maka hajinya batal dan tidak sah. Contohnya ialah, wuquf di ‘Arafah, thawaf ifadhah dan fardhu-fardhu haji lainnya. Jadi, apabila orang tidak menunaikan fardhu-fardhu tersebut, maka hajinya batal. 

FARDHU ‘AIN 
Fardhu ‘ain ialah fardhu yang dituntut secara tegas agar dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf, seperti shalat, puasa, dan haji bagi orang yang mampu. Ibadah-ibadah ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf, orang-perorang, dan tidak cukup dilaksanakan oleh sebahagian orang-orang mukallaf, sedang yang lain tidak. 

FARDHU KIFAYAH 
Ialah fardu yang disuruh laksanakan oleh masyarakat Islam, bukan oleh orang-perorang dari mereka. Maksudnya, apabila telah dilaksanakan oleh sebahagian mereka, maka cukuplah, sedang yang lain-lain tidak berdosa lagi. Adapun bila tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka mereka seluruhnya berdosa dan durhaka. Contohnya, menyelenggarakan dan menyalati mayit. Apabila ada seseorang di antara kaum muslimin meninggal dunia, maka mereka berkewajiban memandikannya, membungkusnya, menyalatinya, kemudian menguburkannya. Apabila pekerjaan ini telah dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin, maka terlaksanalah sudah maksud perintah Allah. Akan tetapi, apabila tidak ada seorang pun yang menunaikannya, maka mereka seluruhnya durhaka dan berdosa, karena tidak menunaikan fardhu kifayahnya. 

RUKUN 
Rukun ialah apa yang wajib kita lakukan, sedang ia merupakan bagian dari pekerjaan yang sebenarnya. Contohnya membaca surat al-Fatihah, ruku’ dan sujud dalam shalat. Semua ini disebut rukun. 

SYARAT 
Yaitu sesuatu yang wajib dilakukan, tetapi tidak termasuk bahagian dari pekerjaan yang sebenarnya, jadi hanya termasuk pendahuluan-pendahuluannya saja. Contohnya ialah wudlu, masuknya waktu shalat, dan menghadap kiblat. Semua ini berada di luar shalat yang sebenarnya, dan merupakan pendahuluan. Namun demikian, untuk sahnya shalat, harus dilakukan. Pekerjaan-pekerjaan ini disebut syarat. 

MANDUB 
Mandub ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ melakukannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak tegas, yang dengan demikian akan diperoleh pahala apabila dilakukan, tetapi tidak mengakibatkan dosa apabila ditinggalkan. Contohnya shalat Dhuha, shalat Tahajjud, puasa enam hari pada bulan syawal dan lain-lain. Ibadah-ibadah ini, apabila tidak kita lakukan, maka kita tidak mendapat hukuman atass meninggalkannya. Mandub disebut pula sunnah, mustahab, tathawwu’ dan nafilah. 

MUBAH 
Yakni sesuatu yang dikerjakan ataupun tidak, sama saja. Karena syara’ tidak menyuruh kita meninggalkannya, dan tidak pula menyuruh melakukannya, bahkan memberi kebebasan kepada kita untuk meninggalkannya atau melakukannya. Dan oleh karenanya, apabilaperkara mubah dilakukan ataupun ditinggalkan, maka tidak menyebabkan diperolehnya pahala maupun dosa. 

Contohnya ialah, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: 
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (Q.S. Al-Jumu’ah: 10). 

Maksud ayat ini, bahwa bekerja sesudah melakukan shalat Jum’at adalah mubah. Jadi yang mau bekerja boleh, dan boleh juga tidak. 

HARAM 
Ialah sesuatu yang secara tegas, syara’ menuntut kita meninggalkannya. Dengan demikian, apabila ditinggalkan, dikarenakan patuh kepada perintah Allah, maka akan diperoleh pahala, sedang bila dilakukan maka berdosa. 

Contohnya membunuh. 

Allah Ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (Q.S. Al-Isra’: 30). 

Contoh lain ialah, mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar. 

Allah Ta’ala berfirman: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil. (Q.S. al-Baqarah: 188). 

Jadi, apabila seseorang melakukan sesuatu di antara hal-hal yang diharamkan tersebut di atas, maka ia berdosa dan patut dihukum. Sedang apabila ia meninggalkannya itu dia kan memperoleh pahala. 

Haram disebut pula mahzhur, ma’shiat dan dosa. 

MAKRUH 
Makruh ada dua macam: Makruh Tahrim dan Makruh Tanzih. Makruh tahrim: ialah makruh yang secara tegas kita tuntut oleh syara’ untuk meninggalkannya, akan tetapi tuntutan itu tidak setegas haram. Dengan demikian, apabila makruh jenis ini ditinggalkan, dikarenakan mematuhi perintah Allah Ta’ala, maka akan diperoleh pahala, sedang bila dilakukan maka diancam hukuman, sekalipun tidak seberat hukuman atas melakukan perkara haram. Contohnya, melakukan shalat Sunnah Mutlak di kala terbitnya matahari, atau di kala terbenamnya. Shalat seperti ini adalah Makruh tahrim. 

Adapun makruh tanzih ialah makruh yang secara tidak tegas syara’ menuntut supaya diotinggalkan, yang dengan demikian apabila kita tinggalkan, dikarenakan mematuhi perintah Allah, maka kita mendapat pahala, sedang apabila kita lakukan, kita tidak diancam hukuman. 

Contohnya, berpuasa pada hari ‘Arafah bagi orang yang sedang melakukan haji. Apabila orang itu tidak berpuasa dikarenakan mematuhi perintah agama, maka dia mendapat pahala. Sedang apabila dia berpuasa, maka tidak mendapat hukuman. 

ADA’ (MEMBAYAR TUNAI)
Yaitu melakukan ibadah tepat pada waktunya telah ditentukan oleh syara. Yakni, seperti berpuasa Ramadhan di bulan Ramadhan, dan seperti melakukan shalat Zhuhur tepat pada waktunya yang telah ditentukan oleh syara’. 

QADHA’ (MEMBAYAR UTANG) 
Maksudnya, melakukan yang diwajibkan di luar waktunya yang telah ditentukan oleh syara’. Yaitu, seperti orang yang berpuasa Ramadhan pada selain bulan Ramadhan, karena pada bulan itu dia terlanjur tidak melakukannya; atau melakukan shalat zhuhur pada selain waktunya yang telah ditentukan oleh syara’, karena telah terlewat. 

Qadha’ wajib hukumnya, baik terlewatnya ibadah itu karena uzur ataupun tanpa uzur. Perbedaannya, bahwa terlewatnya ibadah tanpa uzur mengakibatkan dosa, sedang terlewatnya karena uzur, tidak mengakibatkan dosa. 

Allah Ta’ala berfirman: Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Q.S. al-Baqarah: 185). 

Maksudnya, barangsiapa berbuka puasa dikarenakan adanya suatu halangan, seperti sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka wajiblah ia mengqadha’ puasa yang telah dia lewatkan, sesudah bulan Ramadhan berlalu. 

I’ADAH (MENGULANG) 
 Yang dimaksud mengulang di sini ialah, melakukan sekali lagi ibadah, masih dalam waktunya, dikarenakan mengharap diperolehnya tambahan keutamaan. Yaitu, seperti orang yang melakukan shalat Zhuhur sendirian, kemudian menyaksikan jama’ah. Maka, disunnatkanlah baginya mengulangi shalat Zhuhurnya, supaya memperoleh pahala jama’ah.