Di kala kita tertimpa musibah, lalu kita dapat mengetahui diri dan menerimanya dengan lapang, dada, serta meyakini bahwa musibah itu adalah kodrat Ilahi, maka hal ini akan meringankan beban penderitaan.
Dalam sejarah Islam, ada segolongan orang yang perlu dijadikan teladan bagi orang-orang yang sedang terkena musibah. Dalam kitab Shahih Bukhari telah diriwayatkan sebuah hadits berikut:
“Anak lelaki Ibnu Abu Thalhah terserang penyakit keras, sampai membawa kematiannya. Sedangkan waktu itu ayahnya sedang berada di luar. Ketika sang ibu melihat anaknya sudah meninggal dunia, segera ia menyediakan tempat tidur di salah satu sudut rumah, dan meletakkan sedemikian rupa sehingga tidak kentara anak tersebut telah meninggal dunia. Setelah ayahnya datang, segera ia menanyakan kepada istrinya mengenai keadaan anaknya. Ia berkata : “Bagaimana keadaan anak kita?”. Sang istri menjawab : “Dia sudah tenang, semoga dapat beristirahat”. Abu Thalhah menduga bahwa anaknya telah pulih kesehatannya. Sang istri lalu menyediakan makanan yang langsung disantap oleh Abu Thalhah. Setelah itu, ia berlaku pura-pura manja sambil menekan perasaan sedihnya dan sang suami tidak menaruh curiga sedikit pun padanya. Pada malam itu sang suami menggauli istrinya, terus tidur. Pada keesokan harinya, setelah Abu Thalhah selesai mandi junub, sang istri menceritakan keadaan sebenarnya, bahwa anaknya telah meninggal dunia. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa sang istri berkata pada suaminya: “Bagaimana pendapat kakanda apabila suatu kaum menitipkan sesuatu pada kaum lainnya, setelah itu mereka hendak mengambilnya, apakah kaum yang kedua tadi harus mengembalikannya pada kaum yang pertama?”. Abu Thalhah menjawab : “Tentu saja”. Sang istri melanjutkan perkataannya : “Kalau begitu relakanlah anakmu”. Abu Thalhah marah melihat tingkah istrinya, lalu segera ia melaporkan kejadian itu pada Rasulullah SAW, Rasulullah hanya memberi jawaban: “Semoga Allah, memberkati malam itu”.
Setelah kejadian itu, Abu Thalhah diberi anugerah anak yang banyak dan semuanya adalah penghafal Al-Qur’an.
Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa anak seorang ulama salaf telah meninggal dunia, lalu para sahabatnya berdatangan menyatakan belasungkawanya. Sang ulama tadi selalu dirundung oleh kesedihan sesudah anaknya meninggal, lalu salah seorang di antara sahabatnya berkata: “Hai sahabat, bagaimana pendapatmu jika anda dan anak anda berada dalam tahanan, apakah anda mengharapkan keluar dulu atau anak anda?”. Sang ulama menjawab: “Tentu saja saya mengharapkan anak saya keluar dari tahanan tersebut dahulu”. Sahabat tadi melanjutkan perkataannya: “Nah, sekarang berarti anak anda telah keluar dari penjara dunia sebelum anda”. Mendengar kata-kata sahabatnya, sang ulama tadi menjadi terhibur hatinya, dan dapat menguasai dirinya dari kesedihan.
Ada suatu riwayat yang menceritakan, bahwa ‘Abdullah ibnu ‘Abbas mendengar kabar kematian saudaranya, sedangkan beliau sedang bepergian. Ketika mendengar keluar itu, beliau mengucapkan istirja’ (inna lillahi wainna ilaihi raji’uun), lalu beliau shalat dua rakaat. Ketika ditanya, beliau hanya menjawab, saya hanya akan berbuat sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an :
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu” (QS. 2 : 45).