Ukuran Kemampuan Wajib Melakukan Haji dan Umrah

Ukuran Kemampuan Seseorang dianggap mampu apabila telah memiliki harta secukupnya buat melaksanakan haji dan umrah, yakni sebagai ongkos kendaraan dan biaya hidup pulang-pergi, di samping biaya-biaya lain yang ditetapkan pemerintah, seperti biaya untuk paspor, upah muthawif dan lain-lain. Dan ongkos-ongkos ini wajib merupakan kelebihan dari lintangnya dan biaya hidup keluarganya selagi dia tidak ada di rumah. 
Macam-macam Kemampuan
Kemampuan ada dua macam: kemampuan langsung dan kemampuan tidak langsung. 
1. Kemampuan langsung ialah bila seseorang dapat menunaikan haji dan umrah sendiri, karena sehat jasmaninya dan mampu melakukan perjalanan dan melaksanakan manasik-manasik haji, tanpa mendapat bahaya ataupun kesulitan yang tidak teratasi. 
2. Kemampuan tidak langsung ialah bila seorang mukallaf memiliki sejumlah harta yang bisa dia gunakan untuk mewakilkan kepada orang luin agar melaksanakan hajinya, baik selagi dia masih hidup ataupun sersudah matinya, yakni apabila dia sendiri tidak dapat melaksanakan haji, karena sudah tua, atau karena sakit atau alasan lainnya. 
Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA:
 اَنَّ امْرَاَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ ׃ اِنَّ اُمِّى نَذَرَتْ اَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ اَنْ تَحُجَّ اَفَا حُجَّ عَنْهَا ؟ قَالَ ׃ نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا٠ اَرَاَيْتِ اِنْ كَانَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ اَكُنْتِ قَاضِيْتَهُ ؟ قَالَتْ ׃ نَعَمْ ٠ قَالَ ׃ اُقْضُوْا دَيْنَ اﷲِ ٬ فَاﷲُ اَحَقُّ بِالوَفَاءِ٠ 
Artinya: "Bahwa seorang wanita dari Juhainah telah datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: "Sesungguhnya ibuku telah bernadzar melakukan haji, lalu meninggal dunia sebelum sempat melaksanakannya. Bolehkah aku menghajikan dia?" "Ya", jawab Rasul. Lalu beliau katakan pula: "Bayarlah piutang Allah itu, karena Allah lebih patut dilunasi. " 
Sedang menurut lafazh an-Nasa'i:
 اَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلُ اﷲِ ٬ اِنَّ اَبِىْ مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ اَفَا حُجَّ عَنْهُ ٬ قَالَ ׃ اَرَاَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى اَبِيْكَ دَيْنٌ اَكُنْتِ قَاضِيْتَهُ ؟ قَالَ ׃ نَعَمْ ٠ قَالَ ׃ فَدَيْنُ اﷲِ اَحَقُّ بِالْوَفَاء٠ 
Artinya: "Bahwa seorang lelaki berkata: "Ya Rasul Allah, sesungguhnya ayahku telah meninggal dunia, sedang dia belum melakukan haji. Bolehkah aku menghajikannya?" Jawab Rasul: "Apa pendapatmu sekiranya ayahmu itu mempunyai hutang, apakah kamu melunasinya?" "Ya", jawab orang itu. Maka Rasul pun berkata: "Maka, piutang Allah lebih patut dilunasi." 
Dan diriwayatkan pula dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim:
 اَنَّ امْرَاَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ ׃ يَا رَسُوْلُ اﷲِ ٬ اِنَّ فَرِيْضَةَ اﷲِ تَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ اَدْرَكَتْ اَبِىْ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ اَفَا حُجَّ عَنْهُ ؟ قَالَ ׃ نَعَمْ٠ 
Artinya: "Bahwa seorang wanita dari Khats'am berkata: "Ya Rasul Allah, sesungguhnya kefardhuan Allah Ta'ala atas hamba-hamba-Nya untuk berhaji tiba pada saat ayahku telah tua sekali, dia tidak bisa mantap di atas kendaraan. Bolehkan aku menghajikannya?" "Ya", jawab Rasul. 
CATATAN: 
1. Bagi orang yang telah memiliki modal dagang, ia wajib menggunakannya untuk menunaikan haji dan umrah. Dan orang yang memiliki sebidang tanah yang dapat memberi biaya hidup kepadanya, maka wajib dia jual untuk menunaikan haji dan umrah. Karena, sekiranya orang itu berhutang kepada orang lain, bukankah dia wajib membayarnya meskipun dengan harta dagangannya? Maka, demikianlah pula haji dan umrah. Demikian pendapat yang lebih sah. Tapi ada pula yang mengatakan tidak wajib dijual. 
2. Rumah tempat tinggal dan alat-alat keperluan rumah-tangga tidaklah wajib dijual untuk melakukan haji dan umrah. Karena ini semua merupakan kebutuhan pokok yang sangat diperlukan, sehingga tidak wajib dijual. 
3. Bagi orang yang tinggal kurang dari dua marhalah jauhnya dari Mekah, sedang dia kuat untuk berjalan, maka dia wajib melakukan haji berjalan kaki, jika tidak mempunyai ongkos kendaraan. Dan marhalah ialah jarak perjalanan kaki selama sehari-semalam. 
4. Bagi orang yang hanya memiliki harta seharga ongkos naik haji saja, tetapi dia hendak menikah dengan harta itu, maka dia tidak terlepas dari salah satu di antara dua hal: 
Pertama, dia hajat menikah, tetapi masih mampu menahan dirinya. Orang seperti ini wajib menunaikan haji. Dan yang lebih utama hendaknya mendahulukan hajinya daripada menikah. 
Kedua, dia khawatir dirinya melakukan zina dan kemaksiatan- kemaksiatan lainnya. Yang ini pun tetap berkewajiban menunaikan haji. Hanya bagi dia, mendahulukan pernikahan adalah lebih baik daripada menunaikan haji. Dasarnya, bahwa hajat kepada nikah tidak menghalangi kewajiban haji. 
5. Untuk wajibnya haji dan umrah bagi wanita, selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas bagi laki-laki, dipersyaratkan pula dua syarat lain: 
Pertama: 
a) Disertai suaminya. 
b) Atau disertai seorang mahram karena nasab atau lainnya. 
Hal itu karena menurut hadits Shahihain:
 لاَتُسَافِرُ الْمَرْاَةُ يَوْمَيْنِ الاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا اَوْذُوْ مَحْرَمٍ٠ 
Artinya: "Wanita tidak boleh bepergian sampai dua hari, kecuali bersama suaminya atau mahramnya." 
Sedang menurut riwayat lain dalam Shahihain juga:
 لاَتُسَافِرُ الْمَرْاَةُ الاَّ مَعَ ذِىْ مَحْرَمٍ٠ 
Artinya: "Wanita tidak boleh bepergian selain dengan mahramnya. " 
c) Atau disertai wanita-wanita lain yang terpercaya dan dikenal mampu menjaga kehormatan dan teguh beragama. 
Dalam hal ini minimal disertai dua orang wanita, jadi tiga orang dengan dia, dan tidak dipersyaratkan adanya mahram atau suami salah seorang dari mereka yang menyertai. Karena dengan berkelompoknya mereka sebagai wanita-wanita terpercaya, maka akan diperoleh keamanan dan tidak dikhawatirkan salah seorang dari mereka akan terganggu. Apabila seorang wanita tidak mempunyai mahram yang menunaikan haji dan umrah bersamanya dengan hartanya sendiri, maka wanita itu wajib mengupah seorang mahram, anakala dia mempunyai uang untuk membayar upah tersebut. Syarat ini hanyalah dipersyaratkan bagi wajibnya berangkat haji. 
Adapun untuk diperbolehkannya berangkat, sebenarnya cukup disertai seorang wanita. 
Begitu pula, wanita boleh berangkat sendirian, apabila jalannya aman. Tapi yang ini adalah khusus dalam menunaikan haji yang fardhu. Adapun untuk haji yang tidak fardhu, dan juga pada perjalanan-perjalanan lainnya, maka harus ada seorang mahram, yakni suami atau lainnya. 
Adapun dalil yang memperbolehkan perjalanan wanita sendirian untuk menunaikan haji fardhu, ialah hadits riwayat al-Bukhari, dari 'Adiy bin Hatim, bahwa Nabi SAW pernah bersabda kepadanya:
 فَاِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لِتَرَيَنَّ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيَرَةِ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَتَخَافُ اَحَدًا الاَّ اﷲَ٠ 
Artinya: "Bila kamu berumur panjang, niscaya kamu akan melihat sekedup wanita yang pergi dari al-Hirah sehingga berthawafdi sekeliling Ka'bah, tanpa merasa takut kepada seorang pun selain Allah. " 
Kedua: Hendaklah wanita itu tidak sedang menunggu 'iddah sehabis ditalak atau ditinggal mati suaminya selama dalam perjalanan haji itu. Karena Allah Ta'ala berfirman dalam Surat ath-Thalaq 65:1: 
Artinya: "Dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka (wanita dalam 'iddah) dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) keluar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. 
6. Wanita tidak boleh berangkat haji kecuali atas izin suaminya. 
Kalau suaminya melarang, maka dia tidak boleh berangkat. Kalau wanita itu meninggal dunia pada saat dia mempunyai kemampuan berangkat tetapi dicegah oleh suaminya, maka akibat meninggalkan haji itu, hajinya wajib diqadha' (dilaksanakan) oleh orang lain, dan dia tidak berdosa karenanya.