Mengqadha' Puasa Ramadhan

Dalam puasa Ramadhan ada beberapa orang yang diperbolehkan mengqadha' puasa mereka karena beberapa hal dan alasan. Orang-orang yang boleh mengqadha' puasanya antara lain sebagai berikut : 

1. Musafir dan Orang Sakit

Orang yang tidak melakukan puasa di bulan Ramadhan karena melakukan perjalanan jauh atau sakit maka dia wajib mengqadha'nya sebelum datang bulan Ramadhan tahun berikutnya. Kalau belum di qadha' juga, karena meremehkan, sehingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka dia berdosa, dan selain qadha' dia juga wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang fakir, untuk setiap harinya 1 mud, berupa makanan pokok yang umum di negeri itu. Dan fidyah sekian itu akan berlipat bila bertahun-tahun tidak diqadha'nya juga, yakni tiap tahun tambah 1 mud. 

1 mud = sepenuh dua telapak tangan. Bila ditimbang, sama dengan 1 1/3 rithl Bagdad = ± 600 gram. 

Adapun kalau udzurnya berlangsung terus, umpamanya tetap menderita sakit sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya, maka hanya wajib qadha' saja, tanpa fidyah, sekalipun sampai saat itu puasa yang lalu belum juga diqadha'. 

Dan kalau meninggal dunia sementara belum mengqadha' puasanya, maka boleh jadi dia meninggal selagi belum ada kemungkinan mengqadha'nya, atau dia meninggal sesudah adanya kemungkinan tetapi tidak diqadha'nya juga, karena lalai. Dalam hal ini, jika ia meninggal dunia dalam keadaan yang pertama, maka dia tidak berdosa, dan puasanya tak perlu diqadha karena dia sebenarnya tidak melalaikannya. Tetapi, jika ia meninggal dalam keadaan kedua, maka sebaiknya puasanya diqadha'kan oleh walinya, untuk hari-hari yang ditinggalkannya. Sedang yang dimaksud wali di sini ialah kerabatnya yang mana saja. Adapun dalilnya ialah hadits riwayat al-Bukhari (1851) dan Muslim (1147) dari 'Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ٠ 

Artinya: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung puasa, maka hendaklah puasanya digantikan oleh walinya. " 

 Dan menurut riwayat al-Bukhari juga (1852), dan Muslim (1148), dari Ibnu 'Abbas RA, dia berkata:

 جَاءَ رَجْلٌ اِلَى النَّبِىَ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ׃ يَا رَسُوْلُ اﷲِ ٬ اِنَّ اُمِّى مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ٬ اَفَاَقْضِيْهِ ؟ قَالَ ׃ نَعَمْ فَدَيْنُ اﷲِ اَحَقُّ اَنْ يُقْضَى ٠ 

Artinya: "Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata: "Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia, sedang dia berhutang puasa sebulan. Bolehkah aku membayarnya?" Jawab Rasul: "Ya, piutang Allah lebih patut dibayar. " 

Demikianlah, dan sah juga orang lain (bukan muhrim) yang mememuasakan, apabila dia meminta izin terlebih dahulu kepada salah se-orang kerabatnya. Tapi jika tanpa izin, sedang orang yang meninggal itu sendiri tidak memberi wasiat, maka dia tidak boleh menggantikannya. 

Kalau tidak ada seorang pun yang menggantikan puasanya, barulah puasanya diganti makanan satu mud untuk setiap harinya, yang wajib dikeluarkan dari harta peninggalannya seperti halnya hutang. Dan kalau dia tidak punya harta, boleh dikeluarkan dari harta orang lain supaya bebas tanggungannya. 

At-Tirmidzi (817) meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, dia berkata:

 مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا٠ 

Artinya: "Barangsiapa meninggal dunia, sedang dia berhutang puasa sebulan, maka hendaklah puasanya diganti makanan, yang diberikan kepada seorang miskin untuk setiap harinya. " 

Sedang menurut riwayat Abu Daud (2401) dari Ibnu 'Abbas RA, dia berkata:

 اِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِى رَمَضَانَ ٬ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ اُطْعِمَ عَنْهُ٠ 

Artinya: "Apabila seseorang menderita sakit di bulan Ramadhan, kemudian meninggal dunia sedang dia tidak berpuasa, maka puasanya diganti makanan." 

2. Orang yang tidak kuat berpuasa dan Orang sakit yang tidak bisa diharap akan sembuh

Apabila orang yang sudah sangat tua terpaksa tidak berpuasa, maka dia wajib bersedekah untuk setiap harinya satu mud, berupa makanan pokok yang umum di negeri itu. Dia maupun walinya yang mana saja hanya berkewajiban itu saja. 

Al-Bukhari (4235) telah meriwayatkan dari 'Atha, bahwa dia telah mendengar Ibnu 'Abbas RA membaca: 

Artinya: "Dan wajib bagi orang-orang yang disuruh berpuasa (lalu tidak mampu melakukannya) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. " (Q. S. al-Baqarah 2:184) 


Menurut Ibnu 'Abbas, ayat ini tidak mansukh. Dan yang dimaksud ialah orang yang sudah sangat tua, laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa. Maka ia memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap harinya. 

Dan patut pula diketahui, bahwa orang sakit yang tak bisa diharapkan bakal sembuh, maka sama hukumnya dengan orang yang sangat tua, yang tidak mampu lagi berpuasa. Dia boleh berbuka dan bersedekah satu mud untuk setiap harinya, berupa makanan pokok yang umum di negeri itu. 3. 

3. Wanita Hamil dan Menyusi

Apabila wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa, maka adakalanya tidak puasanya itu karena khawatir atas keselamatan dirinya, atau khawatir atas keselamatan anaknya. Jika tidak puasanya itu karena kha-watir terjadinya bahaya akibat puasa atas dirinya, maka dia hanya berkewajiban mengqadha' puasanya saja selagi belum datang bulan Ramadhan berikutnya. 

Menurut riwayat at-Tirmidzi (715) dan Abu Daud (2408) dan lain-nya, dari Anas al-Ka'bi RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

 اِنَّ اﷲَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ ٬ وَعَنِ الْحَامِلِ اَوِ المْرُضْعِ الصَّوْمَ٠ 

Artinya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala melepaskan dari orang yang bepergian jauh: puasa dan separo shalat, dan dari wanita hamil atau menyusui: puasa." 

Maksudnya: Allah memberi keringanan dengan memendekkan shalat, dan memberi kemurahan berupa berbuka puasa, asal mau mengqadha'nya. 

Tetapi kalau tidak puasanya itu karena khawatir atas anaknya, umpamanya wanita hamil khawatir kandungannya gugur kalau dia bepuasa, atau wanita yang sedang menyusui khawatir air susunya berkurang lalu anaknya binasa jika ia berpuasa. Maka dalam hal ini, wanita itu wajib mengqadha' puasanya, di samping bersedekah satu mud makanan pokok yang umum di negeri, itu untuk tiap-tiap hari yang tidak dia puasai. 

Dan seperti halnya yang dicontohkan pada keterangan di atas, juga bila ada seorang yang berpuasa lalu membatalkan puasanya demi menyelamatkan orang yang nyaris tewas, maka diapun wajib bersedekah satu mud makanan di samping qadha'. 

Menurut riwayat Abu Daud (2318) dari Ibnu 'Abbas RA, dia berkata: 

Artinya: "Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankan puasa (lalu tidak melakukannya) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." 

Ibnu 'Abbas berkata:

 كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْمَرْاَةِ الْكَبِيْرَةِ ٬ وَهُمَّا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ اَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا ٠ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ اِذَا خَافَتَا ـ يُعْنِى عَلَى اَوْلاَدِهِمَا ـ اَفْطَرَ تَا وَاَطْعَمَتَا٠ 

Artinya: "Ayat ini merupakan kemurahan (rukhshah) bagi orang lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan, yang berat melakukan puasa. Mereka boleh berbuka lalu memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap- tiap harinya. Wanita hamil atau menyusui yang khawatir (atas anak- anak mereka), mereka juga boleh berbuka dan memberi makan. "