Wajibnya Zakat Pada Harta Orang yang Berhutang

Barangsiapa memiliki senishab harta yang lazim dizakati sebagaimana tersebut di atas, sedang yang senishab itu tetap dia miliki selama satu tahun penuh, maka wajiblah dizakati. Zakatnya itu wajib dia ke-luarkan seperti tersebut di atas, sekalipun dia mempunyai hutang-hutang yang dapat menghabiskan sama sekali harta yang ada padanya, atau menguranginya dari nishab. 

Dan demikian pula halnya bagi orang yang memiliki barang dagangan, sedang barang itu telah mencapai nishab sesudah lewat setahun sejak dimiliki, maka hutangnya tidak mencegah kewajiban zakat pada harta yang ada pada tangannya, baik itu barang dagangan atau lainnya. 

Hal itu, karena hutang itu berkenaan dengan penanggungan (dzimmah), sedang zakat kaitannya dengan harta yang ada pada tangannya, yang waktunya telah tiba buat dizakati, lagi pula, apabila zakat dari suatu harta telah tiba saat dikeluarkannya, maka ia menjadi milik orang yang wajib diberi, yaitu para mustahiq yang berhak menerimanya. Dan kalau zakat itu masih berada di tangah pemilik harta, maka tetap wajib disampaikan kepada mereka. Hal ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan Imam Malik dalam Muwaththa'nya (1:253), bahwa utsman bin 'Affan RA pernah mengatakan:

 هَذَا شَهْرُ زَكاَتِكُمْ ٬ فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَلْيُؤَدِّ دَيْنَهُ ٬ حَتَّى تَحْصُلَ اَمْوَالُكُمْ ٬ فَتَؤُدُّوْنَ مِنْهُ الزَّكَا ةُ٠ 

Artinya: "Ini adalah bulan zakat kamu sekalian. Oleh sebab itu, barangsiapa yang mempunyai hutang, hendaklah ia melunasi hutangnya, sehingga tinggal hartamu sendiri. Dengan demikian kamu dapat menunaikan zakatnya. " 

Sayidina Utsman RA telah memperingatkan orang-orang supaya melunasi hutang-hutang mereka sebelum habisnya bulan di mana terjadi saat ulang tahun buat mengeluarkan zakat. Dengan habisnya bulan ini zakat tetap wajib dikeluarkan dari harta mereka, tidak peduli berapa hutang mereka. (al-Umm karangan asy-Syafi'i h. 42-43) . 

Tak mengapa kami tunjukkan di sini, bahwa Imam Abu Hanifah RH berpendapat, barangsiapa punya hutang, maka dia tidak wajib berzakat, kecuali apabila memiliki se- nishab atau lebih, selebihnya dari hutangnya. Dia hanya menzakati yang selebihnya dari hutangnya saja. Anda lihat, bahwa yang lebih terhindar dari dosa (wara') dalam beragama, dan lebih berhati-hati bagi kemaslahatan orang fakir, hendaklah mengambil pendapat asy- Syafi'i -semoga Allah merahmati mereka semua. ((al-Umm karangan asy-Syafi'i h. 42-43) .)