اَلنَّاسُ يَمْحُوْنَكَ لِمَا يَظُنُّوْنَهُ فِيْكَ فَكُنْ اَنْتَ ذَامَّا لِنَفْسِكَ لِمَا تَعْلَمُهُ مِنْهَا٠
“Apabila manusia memujimu, karena ia menyangka ada sesuatu pada dirimu. Oleh sebab itu hendaklah engkau mencari dirimu sendiri, karena engkau lebih mengetahui hakikat dirimu."
Umumnya apabila manusia memuji seseorang, karena ada sesuatu yang dimiliki oleh orang yang dipuji, dan ia mengharap akan mendapatkan sesuatu yang diingininya itu. Dipujinyalah orang tersebut karena sesuatu kepentingan tertentu.
Memuji manusia pada dasarnya tidak dilarang dalam agama, selama pujian itu tidak merusakkan orang lain, atau membuat orang lain menjadi angkuh, atau ia merasa, dengan pujian itu ia mendapat kesempatan untuk menghina atau mencari keuntungan. Terutama pujian yang sangat berlebih-lebihan.
Memuji manusia yang sangat berlebih-lebihan akan menyamai manusia terhadap Khalik, Pencipta alam semesta. Sebab, yang berhak menerima Puja dan puji setinggi-tingginya hanyalah Allah semata. Segala yang tinggi, mulia dan bermartabat dan mendapat pujian dunia, adalah pujian palsu. Lahir dari ketidakjujuran insan pada dirinya sendiri. Pujian kepada sesamanya, bagaimanapun ikhlasnya, memiliki kehendak khusus walaupun sedikit. Memuji dengan maksud seperti ini tidak ditemukan dalam pujian seorang hamba terhadap Allah. Pujian seorang terhadap Al Khalik adalah pujian hakiki, karena memang Allah adalah Dzat yang Maha Agung dan Maha Suci. Pujian yang lahir dari pengabdian dirinya sebagai hamba.
Allah adalah Dzat yang bagi-Nya semesta alam memberikan puja dan puji. Dia adalah Rabbul Alamin, dan pujian bagi Allah dengan mengucapkan Al Hamdu Lillahi Rabbil Alamin.
Seorang hamba janganlah bergembira mendapat pujian dari sesama manusia. Sebab, di saat seseorang sedang mendapat pujian dari orang lain, berarti ia telah memberi kesempatan kepada setan menyelusup ke dalam hatinya. Di saat itu setan membesar-besarkan hatinya dan membangga-banggakan jiwanya, kemudian membakar pula sifat - sifat angkuh lalu menenggelamkan dirinya sedikit-demi sedikit.
Apabila ada orang memuji dirimu banyak atau sedikit, hendaklah engkau mencela dan mencaci dirimu, sebab engkau lebih mengetahui tentang dirimu sendiri, kebaikan dan kejelekannya. Engkau pun lebih tahu kekurangan dan kejelekan dirimu yang sedang ditutupi oleh Allah swt.
Janganlah memuji dan jangan pula suka dipuji, agar terhindar dari sifat-sifat buruk seperti munafik, ujub, lupa diri, dan sifat-sifat buruk lainnya akibat kelemahan manusia. Agar diri kita terhindar dari sifat - sifat tersebut di atas hendaklah senantiasa berdoa:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِىْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْلِى مَالاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِىْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ ٠
"Ya Allah, jadikanlah kami lebih baik dari apa yang mereka duga dan janganlah engkau siksa kami, karena apa yang mereka ucapkan, dan ampunilah kami dari apa yang mereka itu tidak tahu.”
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila kalian membenci atas dirimu hendaklah kalian alihkan untuk memuji kepada Allah swt. Karena orang yang memuji Allah itu adalah orang yang dekat dengan Allah. Orang yang berlebihan memuji manusia adalah yang lupa bahwa Allah bersifat Maha Tinggi lagi terpuji."
Sangat penting diingat oleh hamba Allah, bahwa setiap orang memiliki kelebihan yang tidak sama di antara satu dengan lainnya. Kelebihan itu adalah anugerah Allah swt yang wajib dihargai. Ia harus yakin pada dirinya sendiri tentang apa yang ada padanya, sehingga tidak mudah ia terpesona atas pujian manusia terhadapnya. Ia harus malu kepada Allah, apabila ia menerima pujian, dan ingin memelihara pujian terhadap dirinya.
Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
اَلْمُؤْمِنُ اِذَا مُدِحَ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى اَنْ يُثْنَى عَلَيْهِ بِوَصْفٍ لاَ يَشْهَدُهُ مِنْ نَفْسِهِ٠
“Orang beriman itu apabila mendapat pujian, maka ia merasa malu terhadap Allah swt atas pujian yang diterimanya, apabila sifat- sifat yang dimaksud tidak dimilikinya sama sekali."
Perlu diketahui bahwa orang mukmin yang hakiki, tidak menginginkan pujian apapun bagi dirinya. Ia tidak ingin menyaksikan di hadapan manusia adanya pujian untuknya, karena di hadapan Allah ia akan menjadi orang yang hina dan sangat malu. Dia tidak ingin hal ini terjadi, karena memuji manusia, tidak lain memuji ciptaan Allah seperti makhluk lainnya untuk dirinya. Ia tidak ingin dianggap seperti orang dungu yang suka dipuji, dan tidak menghargai pemberian Allah kepada manusia.
Ditegaskan lagi oleh syekh Ataillah:
اَجَهْلُ النَّاسِ مَنْ تَرَكَ يَقِيْنَ مَا عِنْدَهُ لِظَنِّ مَاعِنْدَ النَّاسِ ٠
"Adapun manusia yang paling bodoh, ialah orang yang suka mengabaikan keyakinan dirinya, karena mengikuti dugaan yang ada pada orang lain."
Orang yang paling tergiur oleh pujian dari manusia dan paling suka kalau mendapat pujian, sedangkan ia sendiri lebih tahu tentang dirinya, dosa dan kesalahannya, kelemahan dan kekurangannya, orang seperti ini adalah termasuk orang bodoh di sisi Allah. Orang seperti ini suka mengabaikan keyakinan dirinya, karena suka kepada pujian. Padalul ia sendiri memiliki kemampuan diri dan potensi yang tidak memerlukan sanjungan dan pujian.
Kadang-kadang orang yang menunjukkan senangnya dengan kita, lalu memuji dan menyanjung kita, ibarat orang yang menyiram minyak wangi Pada baju kita. Wanginya hanya sekadar di kulit dan terasa di hidung kita untuk sementara. Sedangkan orang yang menyiram bau wangi itu sendiri sebenarnya tidak menyukai kita. Ia memberi sanjungan dengan maksud dan menghancurkan. Apabila ada manusia yang berilmu dan beragama, terpengaruh oleh bujuk rayu orang yang suka menghembus-hembuskan pujian, maka ia telah masuk ke dalam perangkap orang bodoh yang merusak iffah agamanya.
Seorang ahli makrifat mengibaratkan orang yang terkena racun sanjungan dan pujian itu seperti orang yang suka diejek-ejek dan dihina-hina dengan pujian pula. Ia memuji, sekaligus ia mengejek dan mencela, seperti kalimat: "Kotoranmu saja harum baunya, apalagi hatimu." Kita senang dan tersanjung mendengar pujian itu, maka kita pun telah terperangkap masuk lembah kedunguan diri kita sendiri. Sesungguhnya kejahilan kita itu lebih kotor dari kotoran kita sendiri
Oleh sebab itu, seperti kata Mu'adz Ar Razi, hendaklah engkau menghindarkan diri dari rayuan orang jahil seperti itu, agar engkau tidak termakan oleh sanjungan orang jahil. Peliharalah kesucian dirimu, bersihkan aib dirimu, sehingga dalam hidupmu engkau tidak memerlukan pujian orang lain, karena engkau sendiri tahu potensi yang ada pada dirimu, dan keyakinan yang engkau miliki.
Sesungguhnya bagi orang mukmin, layaknya pujian itu hanyalah untuk Allah semata. Dialah Penguasa langit, bumi dan seisinya, Raja dan penguasa di dunia dan akhirat. Maka tiada puji sanjungan, atau pujaan dan pujian kecuali baginya. Ucapan Muslim sejati itu adalah: “Al HAMDU LILLAHI RABBlL ALAMIN.”
Pujian dan sanjungan yang diberikan orang kepada kita selalu bersifat sementara. Tidak pernah ada orang yang memuji manusia itu terus menerus. Seorang hakim pernah dipuji oleh orang awam, maka si hakim pun menangis tersedu-sedu. Seorang temannya bertanya: “Mengapa engkau menangis, padahal engkau mendapat pujian?" Jawab si hakim: "Orang ini tidak akan memuji dan menyanjungku kalau ia tahu sifat dan kelemahan diriku."
Kembalikanlah semua pujian itu kepada Allah, karena Dialah yang patut mendapat pujian. Segala puja dan puji itu hanyalah milik Allah Pemelihara alam semesta.
Syekh Ahmad Ataillah berkata:
اِذَا اَطْلَقَ الثَّنَاءَ عَلَيْكَ وَ لَسْتَ بِأَهْلٍ فَاثْنِ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ اَهْلُهُ٠
“Jika Allah membiarkan manusia mengulurkan lidahnya memujimu, padahal engkau sendiri tidak patut menerima pujian itu, maka pujilah Allah karena Dialah yang berhak untuk dipuji."
Orang mukmin ialah orang yang tidak membiarkan dirinya hanyut dalam pujian manusia yang sebenarnya akan membawanya ke lembah kehinaan. Ia harus berusaha menghindarkan diri dari tingkah seperti itu. Sebab, apabila Allah membiarkan dirinya terkena getah lidah orang yang memuji, maka ia akan hanyut dalam perbuatan yang sangat merugikan agamanya. Ia akan kehilangan muru'ah-nya dan terpesona oleh godaan yang merusak hati dan pikirannya. Padahal ia sendiri tahu semua puji sanjung itu bukan miliknya, dan ia tidak berhak menerima itu semua. Hanya Allah jualah yang berhak menerima puja dan puji karena Allah jualah Pemilik alam semesta.
Janganlah engkau hidup dalam suasana sanjungan dan pujian manusia, karena hidup seperti ini akan membuat engkau lari dari keadaan sebenarnya. Engkau akan kehilangan dirimu sendiri dan selain itu harga diri dan pribadimu akan goncang.
Hiduplah seperti manusia pada umumnya dengan tahu jati dirinya sendiri, menghargai pikiran dan perasaan sendiri, dan selalu memohon perlindungan Allah tak henti-hentinya. Itulah manusia mukmin yang beribadah dan beramal tanpa mengingat puji dan sanjung manusia. Dalam jiwa dan pikirannya, hanya ada kalimat yang suci dan abadi, ialah ALHAMDU LILLAHI RABBIL ALAMIN.
Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
اَلزُّهَّادُ اِذَامُدِحُوْا انْقَبَصُوْا لِشُهُوْدِهِمُ الثَّنَاءُ مِنَ الْخَلْقِِ وَالْعَارِفُوْنَ اِذَا مُدِحُوْا انْبَسَطُوْا لِشُهُوْدِهِمْ ذَلِكَ مِنَ الْمَلِكِ اَلْحَقِّ٠
"Adapun orang yang zuhud, apabila mendengar puji dan sanjung bagi dirinya dari sesama makhluk, akan menjadi ketakutan. Sedangkan orang-orang arif, apabila mendapat pujian ia merasa gembira, karena tahu pujian itu berasal dari AlHaq, Allah swt.”
Orang zahid memang kuatir apabila puji sanjung itu akun merenggangkan mereka dari Allah, dan merusak ibadahnya. Karena ia selalu berhati-hati, karena tingkat ke-zuhud-an mereka terhadap dunia tidak sama. Mereka menginginkan agar dengan ke-zuhud-an itu, akan meraih kecintaan Allah, dan mendapatkan karunia semata-mata dari Allah. Mereka tidak ingin terikat dengan dunia, termasuk dengan makhluk. Oleh karena itu mereka memahami bahwasanya puji sanjung manusia itu akan merusak, maka mereka merasa kuatir dan menjauhkan diri. Sebaliknya orang makrifat, ia senang mendapat pujian dari manusia karena beranggapan bahwa pujian makhluk itu hanya sekadar perantara sepanjang yang diketahui si makhluk, akan tetapi sebenarnya pujian itu adalah gerakan dari Allah sendiri. Maka ia beranggapan itu semua adalah pujian dari Allah belaka.
Pujian yang dimaksud oleh orang makrifat tidak berarti ia tidak berhati-hati menghadapi pujian sanjungan manusia. Orang-orang makrifat menerima pujian, tentu saja sanjungan yang berkenaan dengan kemakrifatan mereka, tidak bersifat duniawi. Sebab pada umumnya puji sanjung itu dikenakan pada orang awam dalam pergaulan umum. Sehingga pujian yang masuk pun sangat bersifat umum dan lebih banyak berupa pujian yang merusak dan hanya sedikit yang membawa kebaikan.
Pujian yang sebenarnya dibolehkan, ialah pujian yang bersifat mendidik, mendorong, dan bersifat mengajak, semuanya dalam rangka amar makruf nahi munkar dengan cara dakwah bil hikmah dan mau 'idzah hasanah.
Sedangkan puji sanjung yang dilarang, ialah puji sanjung yang menjadikan orang angkuh, atau puji sanjung yang menjebak manusia melakukan perbuatan tercela, atau berupa penghinaan kepada orang yang disanjung, atau membuat orang menjadi ragu dan bimbang terhadap diri sendiri yang mendekatkan kepada sifat munafik. Puji sanjung seperti ini dilarang oleh Rasulullah saw, seperti dalam sabda beliau: "Sumbatlah tanah ke dalam mulut orang yang suka Memujimu."