Iman menurut pengertian bahasa adalah kepercayaan secara mutlak (total). Sedang menurut pengertian syar'i, iman adalah percaya dengan apa yang di bawa oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw. dari sisi Allah SWT. secara total berdasar pada (ditopang dengan) akal budi da hati sanubari (yang bersih) secara bersamaan.
Ahli kalam mengartikan iman sebagai ikrar (dengan lisan), i'tikad di dalam hati dan diwujudkan melalui amal perbuatan. Itulah ikrar, i'tika tentang ke-Esaan Allah pada dzat, sifat dan perbuatan-Nya serta apa yang datang dari sisi Allah SWT. tentang kitab-kitab, para Rasul dan apa yar ada pada sisi-Nya dari para malaikat.
Ahli hakikat dari para sufi mengartikan: keyakinan dalam hal mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan rukun-rukun syariat denga perbuatan. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh 'Aisyah ra., bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda :
اَلإِيْمَانُ بِاللهِ اِقْرَارٌ بِالِلّسَانِ وَ تَصْدِيْقٌ بِالقَلْبِ وَعَمَلٌ بِالاَرْكاَنِ
"Iman kepada Allah adalah diikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan semua rukunnya."
Para ulama syara' mengartikan, bahwa iman dan Islam memiliki hakikat makna yang satu dengan mengajukan satu dalil dari firman Allah SWT.
"Lalu Kami keluarkann orang-orang beriman yang berada di negeri (kaum Luth) itu dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali (penghuni) sebuah rumah yang terdiri dari orang-orang muslimin." (Adz Dzariyat 35-36)
Sedang para ahli tasawuf mengartikan iman sebagaimana contoh yang diambil dari ayat tersebut di atas adalah pada umat (kaum) Nabi Luth as., maka persoalannya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh imam Syafi'i ra.: "Barangsiapa memakai ajaran Islam secara umum dan khusus, maka setiap orang Mukmin adalah Muslim dan belum tentu setiap orang Muslim atau Mukmin." Mereka mengambil dalil dari firman Allah SWT. :
"Orang-orang Arab Badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka): Kamu belum beriman, tetapi ucapkan bahwa kami telah Islam, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Al Hujurat 14)
Iman pada dasarnya terbagi menjadi lima bagian, yaitu : .
- Iman yang sudah menjadi tabiat.
- Iman yang terpelihara.
- Iman yang terkabul.
- Iman yang masih bergantung.
- Iman yang tertolak.
Adapun katagori yang pertama adalah iman para malaikat dan yang kedua adalah iman para Nabi. Yang ketiga adalah iman orang-orang yang beriman diantara kita. Keempat adalah iman para ahli bidah dan yang rakhir adalah iman orang-orang munafik (musyrik).
Iman menurut istilah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: iman dzati, iman istidlali (iman yang menggunakan dalil) dan iman taqlidi (iman yang ikut-ikutan).
Iman Dzati merupakan cerminan dari hati nurani yang telah terbiasa (secara fitrah) menun-Esakan Allah SWT. dengan penuh keyakinan. Kemudian percaya (mengamalkan dengan sepenuh hati apa yang diwajibkan berupa syariat. Sehingga, andaikata seluruh penduduk bumi mengingkari apa yang ia yakini, niscaya tidak akan ada keraguan dan guncangan yang menyalahi apa yang telah terpatri dalam lubuk hatinya. Yang demikian itu hanya akan berhasil pada saat menyatunya sifat-sifat ke-Tuhanan yang ada dalam dirinya dengan sifat-sifat kehambaan yang ia punyai. Semakin tinggi nilai manusia dihadapan Allah, maka ia akan menduduki maqam Iman dan Ihsan.
Iman istidlali (yang menggunakan dalil) merupakan wujud pembuktian yang di ambil dari dalil-dalil yang ada terhadap suatu perbuatan atas seseorang, sekaligus jejak yang meninggalkan bekas. Sesungguhnya pada jejak yang tidak bertanda (membekas) adalah suatu kemustahilan dan kotoran unta adalah bukti penunjuk akan adanya unta. Jejak orang yang berjalan membuktikan bahwa ada yang berlalu-lalang. Untuk itu, petala langit dengan gugusan bintang jemintang, samudera (lautan) dengan ombaknya yang melukiskan keindahan, bumi yang penuh dengan lorong bagaikan jalur nadi, apakah kesemuanya itu tidak menunjukkan (membuktikan) padanya pemilik Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Barangsiapa menjadikan hal tersebut sebagai dalil (bukti) terhadap keberadaan Allah, niscaya ia akan mendapatkan bukti nyata pada dirinya sendiri. Dan semua itu tidak akan menjadikan sirnanya keimanan dari dirinya sepanjang hidup sampai menjelang ajal. Apabila ia ditimpa sesuatu yang mengguncangkan keyakinan dan melemahkan imannya, yang demikian itu karena sifat dari iman ini berlainan dengan yang pertama (Iman dzati yang tidak akan pernah sirna dan tidak pula akan terguncang oleh apapun).
Iman taklidi (ikut-ikutan) adalah dasar keyakinan yang didapat dari warisan orang tua (nenek moyang). Termasuk di dalamnya adalah percaya (secara bulat, utuh) akan kata-kata para ulama dengan tidak didasari oleh burhan (bukti) pencarian terhadap diri sendiri. Keimanan semacam ini tidak akan bertahan lama jika di hadapkan pada cobaan dan guncangan yang meragukan hati. Serta akan menambah kebimbangan karena tiupan angin subhat (was-was) yang sengaja diciptakan oleh musuh manusia, setan. Ia menerobos masuk ke dalam lubuk hati orang yang selalu dalam kebimbangan. Akan sangat disesalkan apabila hal itu telah merasuk kedalam akal budi seseorang sampai ajal menjemputnya.