Penyusunan dalam bab "AL-BUKHARI MENGATAKAN, "BAB TIDAK BOLEHNYA SESEORANG MENCACI KEDUA ORANGTUANYA." yang dibuat oleh al-Bukhari tidak lepas dari berbagai manfaat, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa fiqih Imam al Bukhari tampak dari penyusunan bab-babnya.
Dengan judul bab seperti di atas al-Bukhari meninggalkan jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan agar Anda berpikir sendiri-hadits-apa kiranya yang akan ia bawakan-dan apakah ada orang yang mencaci kedua orangtuanya.
Kemudian al-Bukhari menyebutkan hadits dari Abdullah bin 'Amr yang mengatakan: Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya di antara yang paling besar di antara dosa-doa besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya." Lalu beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua orang-tuanya?" Beliau menjawab, "Seseorang mencaci ayah orang lain lalu orang itu mencaci ayahnya dan ia mencaci ibu orang lain lalu orang itu mencaci ibunya. (Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (nomor 5836), Abu Daud (nomor 5136))" Alangkah dalamnya perkataan ini!
Di dalam hadits ini terdapat beberapa masalah:
Masalah Pertama: Penetapan adanya dosa-dosa besar dan dosa- dosa kecil. Ahlussunnah menetapkan adanya dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil dalam Islam. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai pengertian dosa besar dan dosa kecil. Saya akan sebutkan sebagian pendapat mereka, kemudian saya akan sebutkan pendapat yang kuat, insya Allah.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa istilah dosa besar itu adalah relatif. Setiap dosa adalah besar menurut mereka. Tetapi karena ada yang lebih kecil darinya maka ia dipandang oleh mereka sebagai dosa besar. Ini adalah suatu pendapat.
Masalah Kedua: Setiap perbuatan yang menyebabkan adanya suatu had maka ia termasuk dosa besar. Sedangkan yang lainnya adalah tidak.
Masalah Ketiga: Dosa besar adalah yang dinyatakan (disebutkan) oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan yang lainnya (yang tidak disebutkan) adalah dosa kecil.
Pendapat yang benar adalah bahwa dosa besar itu adalah perbuatan yang berlaku padanya had dan Allah mengancamnya dengan azab atau laknat. Maka ini adalah dosa besar. Inilah pendapat yang benar.
Apakah dosa besar itu ada tu juh? Yang benar, dosa besar itu lebih dari tujuh. Adapun sabda Nabi saw, "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan (Ibid, (nomor 2707,6705), Muslim (nomor 222).)" maka ini adalah jumlah (angka) yang tidak menghendaki suatu pembatasan karena ada dosa-dosa besar yang lain. Ibn 'Abbas mengatakan bahwa dosa besar itu lebih dekat kepada tujuh puluh daripada kepada tujuh. Sebagian muhadditsin menyebutkannya sampai seratus.
Dosa besar harus segera diikuti dengan tobat darinya, karena Rasulullah saw mengatakan, "Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa yang ada di antara keduanya dan haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.( Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (nomor 1752), Muslim (3243))"
Beliau juga bersabda, "Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa yang ada di antaranya selama dosa-dosa besar dijauhi. (Di-takhrij-kan oleh Muslim (nomor 505))" Jelaslah bahwa dosa besar tidak dapat dihapuskan oleh ketaatan-ketaatan ini kecuali dengan tobat.
Allah SWT berfirman: "Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (QS. an- Nisa': 31)
Allah menjelaskan bahwa orang yang menjauhi dosa- dosa besar, akan Allah ampuni dosa-dosa kecilnya dengan penghapus dari perbuatan-perbuatan baiknya. Inilah yang dikatakan tentang dosa besar.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadits dari Abu Bakrah di mana ia mengatakan, "Rasulullah saw bersabda, 'Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar?' Kami menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau berkata, 'Ada tiga: menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua—beliau yang sebelumnya telentang kemudian duduk lalu melanjutkan ucapannya—Ketahuilah dan ucapan dusta, ketahuilah dan kesaksian dusta; ketahuilah dan ucapan dusta, ketahuilah dan kesaksian dusta.' Beliau terus mengulang-ulanginya sampai kami berkata, 'Mudah-mudahan beliau diam (karena mereka kasihan melihat Rasulullah saw terus mengatakan hal tersebut).( Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (nomor 5839), Muslim (nomor 219)" Di antara manfaat-manfaat yang dapat dipahami dari hadits-hadits tersebut adalah bahwa seseorang harus bertobat dari dosa besar dan tidak cukup hanya dengan perbuatan-perbuatan baik semata, melainkan harus bertobat kepada Allah.
Adapun dosa-dosa kecil dapat dihapus oleh wudhu, shalat, dan sedekah. Sedangkan dosa-dosa besar—wahai saudara-saudaraku— tak dapat tidak harus bertobat darinya. Allah SWT berfirman, "Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung." (QS. an-Nur: 31)
Dalam ayat lain Allah berfirman, "Dan [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali 'Imran: 135)
Di antara manfaat-manfaatnya juga adalah bahwa Nabi saw menamakan orang yang menyebabkan kedua orangtuanya dicaci sebagai orang yang mencaci orangtuanya.
Beliau mengatakan, "Sesungguhnya di antara yang paling besar di antara dosa-dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya." Hanya sedikit dan jarang orang yang melaknat kedua orangtuanya. Tetapi orang yang mencaci atau melaknat orangtua orang lain kemudian orang itu melaknat kedua orangtuanya, berarti ia menjadi sebab dilaknatnya kedua orangtuanya. Maka seolah-olah ia melaknat mereka secara langsung. Na'udzu billah.
Beliau mengatakan, "Sesungguhnya dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya." Lalu beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua orangtuanya?" Beliau menjawab, "Seseorang mencaci ayah orang lain lalu orang itu mencaci ayahnya dan ia mencaci ibu orang lain itu lalu orang itu mencaci ibunya." Ini berarti melaknat.
Para ahli ilmu mengatakan bahwa hal tersebut memberikan pengertian bahwa orang yang menyebabkan terjadinya suatu dosa atau terputusnya hubungan maka ia seperti orang yang melakukannya secara langsung. Itu seperti firman Allah, "Dan janganlah kalian memaki sembahan sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (QS. al-An'am: 108)
Jika Anda mengetahui bahwa mereka akan mencaci Allah, maka Anda tidak boleh mencaci berhala-berhala atau mencaci pemimpin-pemimpin orang kafir dan thaghut-thaghut mereka. Misalnya, Anda mendatangi seorang kafir lalu Anda mencaci thaghut-nya atau pemimpinnya, padahal Anda tahu bahwa ia akan mencaci pemimpin Anda, akan mencaci Rasulullah, atau bahkan akan mencaci Allah. Maka haram bagi Anda mencaci tuhan-tuhannya, pemimpin-pemimpinnya, dan thaghut-thaghut-nya, karena Anda menjadi sebab dicacinya Allah SWT. Demikian pula melaknat orangtua orang lain; itu termasuk dosa besar yang terbesar, karena dengan demikian ia telah berbuat sesuatu yang menyebabkan kedua orangtuanya dilaknat, yang akibatnya orang lain membalas seperti yang dikatakan olehnya. Barangsiapa yang melempar pintu rumah-rumah orang lain, maka pintu rumahnya akan dilempar pula oleh mereka. Barangsiapa yang mencaci orang lain, maka ia pun akan dicaci oleh mereka.
Para ahli ilmu mengatakan bahwa yang dilarang tidak terbatas pada melaknat saja, melainkan haram juga mencaci dan mencela orang lain, walaupun serendah-rendahnya (sehalus-halusnya) cacian, karena seandainya Anda melakukan itu terhadap orang, mereka pun akan melakukan hal yang sama terhadap ayah Anda atau ibu Anda meskipun dengan celaan yang paling sedikit, sehingga Anda menjadi penyebab hal itu. Dengan demikian, Anda mendapat dosa yang besar.