لاَ تُطَالِبْ رَبَّكَ بِتَأَخُّرِ مَطْلَبِكَ وَلَكِنْ طَالِبْ نَفْسَكَ بِتَأَخُّرِ اََدَبِكَ٠
“Jangan Tuhan yang disalahkan, karena tertundanya permintaan kalian. Akan tetapi salahkanlah diri kalian sendiri, karena kalian menunda kewajiban terhadap Allah "
Apabila permohonannya kepada Allah belum diperkenankan, jangan kalian mengira, apalagi berprasangka jelek kepada Allah yang permohonanmu kepada-Nya tidak dikabulkan. Jangan Allah swt yang Maha Suci kalian salahkan, karena sesungguhnya Allah bukannya melupakan kalian, akan tetapi kalian harus mawas diri. Apakah tugas dan kewajiban kalian sudah dikerjakan tepat pada waktunya, atau kalian menundanya, atau sama sekali tidak dikerjakan.
Ketahuilah, ibadah dan amal seorang hamba yang sesuai dengan kehendak Allah, akan menjadi sebab Allah mencintai dan meridai hamba tersebut. Demikian juga akan menjadi sebab Allah swt menyegerakan mengabulkan permohonannya, atau Allah sendiri yang akan mengatur pemberian untuk para hamba menurut kehendak-Nya.
Hamba Allah yang saleh dan mentaati ibadah yang telah ditetapkan Allah kepada mereka, akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik- baiknya. Melaksanakan tepat pada waktunya, menghormati dan ta’zim kepada panggilan Allah dalam semua bentuk, terutama amal ibadah yang wajib. Ia tidak akan menunda-nunda kewajiban, apalagi meninggalkannya. Salat, zikir, zakat dan infaqnya, bantuan dan kepentingan lain yang berkaitan dengan amalan muamalah semuanya dikerjakan dengan tertib, disiplin, ikhlas dan tawakal, hanya mengharapkan rida dan kasih sayang Allah.
Permohonan kepada Allah berkaitan pula dengan kemurnian permintaan si hamba kepada Allah. Kebersihan itu adalah menyangkut Tauhid dan akhlak. Yang menyangkut Tauhid ialah tidak tercampurnya permohonan si hamba dengan pengharapan kepada selain Allah. Atau mencampur-baurkan secara tersamar antara permohonan kepada Allah bercampur baur dengan masih diharapkan dari benda lain, atau sesuatu yang dianggap dapat membantu memberikan kekuatan kepada permohonannya itu, agar cepat dikabulkan. Atau menjadikan benda mati, makhluk atau manusia sebagai perantara antara dirinya dengan Allah swt yang Maha Alim dan Maha Bijaksana. Permohonan seperti ini termasuk amal yang tidak murni, dan tidak mensucikan Allah dari makhluk ciptaan-Nya, baik secara jelas maupun secara samar.
Demikian pula terbaginya harapan si hamba, yang semestinya kepada Allah, akan tetapi kepada selain Allah pun masih diharapkan. Meminta bantuan Allah semata, terbagi kepada kepercayaan lainnya, baik itu tradisi atau adat, maupun kepercayaan berupa kebatinan, atau kekuatan yang ada pada benda. Perbuatan seperti ini sama dengan membandingkan Allah dengan kekuatan alam. Perilaku seperti ini termasuk syirik khafi (syirik ringan).
Oleh karena itu, tugas seorang hamba yang saleh dan taat hendaklah tetap istiqamah dan tawakal (berserah diri), agar segala tindakan dan gerakan menjadi ibadah yang diterima oleh Allah. Sehingga setiap ibadah menjadi kenikmatan dan keagungan jiwa bagi si hamba.
Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
مَتَى جََعلَكََ فِِى الظَّاهِِرِِ مُمْتَثلاً لأَمْرِهِ وَرَزَقَكَ فِى الْبَاطِنِ الإِسْتِسْلاَمَ لِقَهْرِهِ فَقَدْ اَعْظَمَ الْمِنَّةَ عَلَيْْكَ٠
“Apabila Allah swt pada lahirnya menjadikan kamu selalu mentaati perintah Nya, dan menolong kamu, agar hatimu berserah bulat kepada Allah, maka sungguh Allah telah menganugerahkan untukmu nikmat yang besar."
Hal ini penting dalam membentuk pribadi hamba Allah yang tangguh, sehingga perilaku manusia secara lahiriah selalu melakukan ibadah dan mempertahankan diri kepada Allah. Dalam bentuk lahiriah seorang hamba berada dalam keadaan ibadah, maka batiniah menjadi tenang. Bersifat rohaniah berarti seorang hamba telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Allah swt. Dengan demikian ia mendapatkan kenikmatan batiniah karena ibadah lahiriahnya teratur dan disiplin.
Allah swt yang telah menetapkan hukum dan peraturan-Nya untuk manusia, agar ditaati dengan sepenuh hati dan ikhlas melaksanakan peraturan Allah swt tersebut. Sifat menyerahkan diri kepada Allah ini masuk sifat hamba yang mentaati ketentuan dan qada-Nya.
Sebagai hamba Allah yang mentaati dan beribadah kepada-Nya bukan karena sesuatu yang lain, melainkan semata-mata karena Allah, sebab memperhambakan diri itu ada pada manusia terhadap Tuhan ('abid kepada ma'bud), bukan sebaliknya. Allah swt menciptakan manusia, seperti firman Allah dalam surat Az Zariyat 56: "Tidaklah Kami (Allah) jadikan jin dan manusia hanyalah untuk memperhambakan diri (beribadah)."
Ketentuan Allah bagi orang yang beribadah, adalah dilindungi oleh Allah, diberinya rahmat, dan diampuni dosa-dosanya, sekaligus menjadikan mereka di lingkungan para salihin dan siddiqin. Terutama para waliyullah, yang telah waktunya semata-mata untuk keberibadahan kepada-Nya.