Bolehkah Menikah dengan Niat Menceraikan?

Ini adalah masalah yang diperdebatkan oleh orang yang membolehkan dan melarang. Hal ini terjadi pada orang- orang yang meninggalkan tanah airnya karena berjihad, menuntut ilmu, pengobatan, belajar dan sebagainya. Apakah diperbolehkan bagi mereka menikah dengan niat menceraikannya kembali ketika mereka harus kembali ke tanah airnya? 

Sebagian ulama berpandangan boleh demi menjaga kearifan dan tidak terjatuh kepada kemungkaran, Sebelum menjawab,harus kita gambarkan permasalahannya karena hukum tentang sesuatu berarti cabang dari gambarannya sebagaimana dikatakan oleh ulama ushul Fiqh. 

Ketika menggambarkannya, maka kita harus melepaskan perbedaan dan perselisihan mereka seputar apakah ia nikah mut'ah atau tidak. Oleh karena itu kita harus mengambil gambaran nikah mut'ah. Mereka yang berpendapat bahwa hal tersebut nikah mut'ah, mengharamkannya karena itu. Dan mereka yang mengatakan bukan nikah mut'ah berbeda pendapat dalam boleh dan tidaknya. Sebagian mereka menganggap makruh, sebagian yang lain mengharamkan dengan menganalogikan pada nikah muhallil, sebagian yang lain membolehkan. Secara detail masalah ini dapat kita katakan bahwa menikah dengan niat menceraikan tidak terlepas dari dua hal: 

Pertama, adakalanya seorang laki-laki dalam akad memberikan persyaratan bahwa ia akan menikah dengan batas waktu tertentu, bisa satu bulan, satu tahun, sampai selesai studi, sampai urusannya selesai atau yang lainnya. Hal ini tidak terjadi perbedaan pendapat dalam hukum haramnya. Ia masuk ke dalam nikah mut'ah karena seorang suami melakukan mut'ah dengan seorang wanita lalu ketika habis masa waktu yang disyaratkan, akad nikah rusak dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian. 

Kedua, seorang laki-laki ketika menikah berniat akan menceraikan isterinya setelah selesai masa yang ditentukan oleh dirinya sendiri tetapi tidak disyaratkan ketika akad nikah dan tanpa sepengetahuan isteri. Dikatakan bahwa nikah seperti ini makruh. Pendapat ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hambali dan ini adalah pendapat yang pertama. Pendapat yang kedua adalah haram. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut ulama madzhab Hambali. Akad tersebut rusak dan tidak benar. Mereka berargumentasi dari dua sisi: 

Pertama, sesungguhnya sesuatu yang diniatkan seperti sesuatu yang disyaratkan. Laki-laki yang telah berniat menceraikan setelah seiesainya satu tujuan, seakan-akan ia mensyaratkan pembatasan masa ini meskipun ia tidak inengungkapkannya ketika akad nikah, Ini adaiah nikah mut'ah. Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya perbuatan harus disertai dengan niat. Dan sesungguhnya setiap sesuatu tergantung niatnya. 
Kedua, dengan menganalogikan pada nikah tahlil dimana ia adalah pernikahan seorang laki-iaki dengan seorang wanita agar si wanita dapat menjadi halal kembali untuk suami pertamanya yang telah mentalaknya tiga kaii. Mereka berkata: Apabila terdapat seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita yang telah ditalak tiga dan ia niat menikahinya lalu mentalaknya kembali agar dapat kembali halal bagi suami pertamanya, maka nikah tersebut rusak meskipun laki-laki ini tidak mensyaratkannya agar mejadi halal bagi suami pertamanya karena sesuatu yang diniatkan seperti sesuatu yang disyaratkan. Apabila niat menghalaikan saja merusak akad nikah, maka demikian pula niat nikah mut'ah merusak akad nikah juga. 

Ini adalah pendapat madzhab Imam Hambali. Ini adalah pendapat yang ketiga. Ada satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang diriwayatkan dari Imam Auzai' dan dikatakan bahwa dibolehkan seorang laki- laki menikahi wanita dan dalam niatnya ia berkeinginan mentalaknya saat waktu yang dibatasi telah habis seperti ketika kembali dari pengasingan, belajar di luar negeri dan hal lainnya. Karena laki-laki ini tidak mensyaratkan pada waktu akad melakukan mut'ah pada waktu tertentu, maka hal tersebut tidak menjadi nikah mut'ah. Mereka berkata: Terdapat perbedaan antara nikah mut'ah dan nikah dengan niat talak. Nikah rnut'ah bila waktu yang dibatasinya telah habis, maka terjadi perceraian seketika antara keduanya dan .ikad nikah menjadi rusak, baik disetujui oleh suami atau tidak. Adapun nikah dengan niat talak, maka akad nikah tidak rusak di akhir masa, karena mungkin saja suami mencintai isterinya dan isterinya menginginkan suaminya tetap padanya dan ia tidak menceraikannya. Ini dapat terjadi dan realitas mengatakan itu dan apabila wanita ahli kitab, barangkali masuk Islam dan mendapatkan kebaikan yang besar. 

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dan salah satu pendapat dari Syaikhul Isiam, Ibnu Taimiyah. Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad. Kesimpulannya: Dikatakan (yang benar) bahwa nikah dengan niat talak adalah nikah shahih dan dibolehkan. Ia bukan nikah mut'ah karena ia tidak sama dengan definisi nikah mut'ah itu sendiri. Dan apabila disana terdapat hukum haram, maka hukum haram tersebut tidak kembali pada akad nikah, karena akadnya sudah shahih tetapi kembali kepada hal lain yaitu bahwa ia telah menipu isteri dan keluarganya. Nabi Muhammad SAW telah mengharamkan penipuan karena seorang isteri apabila mengetahui bahwa suaminya tidak menginginkan untuk hidup selamanya dengannya, ia tidak akan menikah dengannya serta ia dan keluarganya tidak akan rela. Hal seperti ini akan menarik pada persoalan etika setelah perceraian atau tidak ada seorangpun yang akan menikahinya, maka lelaki ini telah berbuat aniaya dan membohongi disamping apabila anak-anak mereka ada, niscaya mereka akan menjadi korban. Terkadang orang tua wanita mereka berpaling dari agama Islam apabila ia seorang wanita ahli kitab lalu dengan ini akan terjadi kerusakan yang besar. 

Demikian pula sesungguhnya laki-laki seperti ini tidak akan rela apabila seseorang menikahi anak wanitanya sementara orang tersebut berniat untuk menceraikannya apabila telah selesai kepentingannya dengan anak wanita¬nya. Maka bagaimana ia rela orang lain berbuat sesuatu yang ia tidak sukai. Ini bertentangan dengan iman berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW: "Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." 

Hal ini lebih hati-hati dan dapat mencegah kemungkinan lain. Dan seandainya dibolehkan, niscaya akan ada banyak laki-laki khususnya para pemuda melakukan pernikahan dan bersenang-senang saja lalu kembali ke daerahnya. Tidak samar lagi pada diri orang yang cerdas, kerusakan yang terjadi berupa kehilangan harga diri pemuda dan harta mereka serta kurus keringnya isteri-isteri dan hal-hal lainnya. Menolak keburukan lebih didahulukan dari menarik kemanfaatan. Jika kita ingin memberikan batasan, maka tidak halal hukumnya menikah dengan niat mentalaknya kembali kecuali bagi orang yang memiliki kepentingan di negara orang lain, lalu menginginkan kebaikan dan tidak terperososk ke dalam keharaman karena kesulitan pada kita. Betapa banyak orang yang berusaha mencari keringanan hukum atau jalan pintas untuk memenuhi keinginan hawa nafsu lalu membuat pernyataan dimana tidak ada pilihan lain bagi para mufti kecuali mereka mengatakan: Telah memberi fatwa kepada kami ulama fulan. Padahal sebenarnya ulama tesebut memberikan fatwa sesuai dengan pertanyaan mereka tetapi ulama itu tidakmengerti buruknya niatmereka. Mengabaikan permasalahan ini lebih baik karena sebagian masyarakat bodoh dimana mereka tidak risih dalam melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Betapapun, setiap hal yang negatif ini tidak membuat pernikahan ini batil tetapi sebagaimana terdahulu ia sudah benar.