Mazhab Abu hanifah sebagai gambaran yang jelas dan nyata tentang samaan hukum-hukum fiqih dalam Islam dengan pandangan-pandangan masyarakat (society) di semua lapangan kehidupan. Karena Abu Hanifah mendasarkan mazhabnya dengan dasar pada Al-Quran, Hadits, Ijma’, Al-Qiyas dan Al-Istihan. Karena itu sangat luas bidang beliau untuk berijtihad dan membuat kesimpulan bagi hukum-hukum menurut kehendak atau kebutuhan msyarakat pada masa itu, tetapi dengan dasar tidak menyimpang hal-hal pokok dan peradaban, atau peraturan undang-undang Islam.
Imam Abu Hanifah berkata, “Aku memberikan hukum berdasarkan Al-Quran apabila tidak saya jumpai dalam Al-Quran, maka aku gunakan Hadits Rasulullah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya (Al-Quran dan Al-Hadits) aku dasarkan pada pendapat para sahabat-sahabatnya. Aku (berpegang) kepada pendapat siapa saja dari para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang pada satu pendapat saja”.
Di bagian akhir kata-kata Abu Hanifah di atas dapat disimpulkan bagaimana ia menggunakan ijtihad dan pikiran. Dan bagaimana pula penggunaan pikiran untuk dapat membuat perbandingan di antara pendapat-pendapatnya dan memilih salah satunya.
Selanjutnya ia berkata : “jika ada hadits, Rasul, kamu (gunakan) tetapi pendapat-pendapat sahabat kami berbeda dan pendapat-pendapat tabi’in kami bahas bersama atau bertukar pikiran dengan mereka.
Kata-kata Abu Hanifah tersebut di atas sebagai keterangan tentang cara beliau berijtihad atau menggunakan pikiran dengan cara yang luas karena beliau berpendapat bahwa pendapat-pendapat atau kata-kata dari pengikut-pengikut (tabi’in) tidak pasti menurutnya. Manakala tidak mendapat nas-nas apakah dari Al-Quran atau hadits dan juga tidak menemukan pendapat dari sahabat-sahabat ia berpendapat bahwa ia harus menyinkronkan dengan pendapat atau pikiran yang mereka berpendapat dan beliau berkata : Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. Dan berpegang kepada kebenaran yang didapat sebagaimana mereka juga.
Karena itu beliau, pernah menyebutkan nama beberapa orang (tabi’in) dan berkata tentang mereka, “Mereka ialah satu kaum yang berijtihad maka aku pun berijtihad seperti mereka berijtihad”. Ia berkata lagi “Pendapat yang datang dari para (tabi’in) laki-laki dan kami pun laki-laki pula”.
Kata-kata Abu Hanifah di atas tadi berarti ia tunduk kepada Al-Quran dan Al-Hadits, dan ia membuat perbandingan di antara pendapat sahabat-sahabat Rasulullah dan memilih mana-mana yang sesuai dengannya. Ada pun pendapat dari para (tabi’in) ia berpendapat bahwa harus setuju atau tidak baginya. Ia seorang lelaki dan mereka itu pun lelaki juga sebab itu ia berhak berbicara dengan mereka di bidang ilmu pengetahuan.
Telah kita uraikan sedikit tentang pemikiran-pemikiran dan tujuan mazhabnya Abu Hanifah. Kita dapat bahwa beliau berdasarkan kepada beberapa dasar atau kaidah yang telah lepas dan juga yang kita sebutkan selanjutnya ialah antara lain :
- Kemudian dalam beribadah dan pekerjaan sehari-hari. Contoh-contohnya kemudian dalam beribadah ialah ; hukum mencuci kain atau baju yang terkena najis. Abu Hanifah mengharuskan mencucinya dengan menggunakan air mawar, cuka atau sebagainya, asalnya air itu cair, dan tidak hanya tertentu kepada air saja.
Contoh kedua ialah ; hukum menghadap kiblat, ketika di malam yang gelap atau di masa-masa yang susah hendak menentukan arah ke kiblat. Hukumnya salah shalatnya sekalipun didapati ia tidak menghadap ke kiblat, tetapi dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat. Banyak lagi contoh-contoh kemudahan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal ibadah dalam mazhab Abu Hanifah.
- Menjaga hak-hak fakir miskin, contohnya : Wajib zakat pakaian emas dan perak, dan tidak diwajibkan zakat pada orang yang berutang.
- Mengakui peradaban hidup manusia. Contohnya ialah, pengakuan keislaman anak-anak yang belum “akil” sebagai seorang Islam yang sempurna sama seperti orang dewasa juga. Contohnya yang lain pula, bagi orang yang menerima wasiat untuk menjaga harta anak yatim menjalankannya perniagaan dengan harta anak yatim tersebut.
- Memelihara kehormatan dan perikemanusiaan, contohnya, bagi anak-anak perempuan yang sudah sampai pada umur untuk mencari pasangan hidup tidak dibenarkan ada paksaan wali. Perkawinan secara paksa anak perempuan tidak sah jika ia menolak. Contoh yang lain pula, keharusan seorang lelaki atau dua perempuan menjadi saksi dalam perkawinan.
- Memberikan kuasa penuh kepada kerajaan, pemimpin-pemimpin negara. Contohnya, kerajaan atau pembesar berhak mengendalikan kekayaan negara seperti tanah dan sebagainya untuk kepentingan umum. Kerajaan atau orang yang berkuasa berhak juga memberikan hadiah-hadiah kepada pejuang-pejuang atau prajurit tanah air sebagai penghargaan kepada mereka, begitu juga kerajaan berkuasa membagi tanah-tanah yang belum dibuka untuk wilayah-wilayah negeri.
Hubungannya kepada asas kemudahan dalam bidang-bidang kehidupan bermasyarakat. Maka Abu Hanifah berhak menyandang gelar rois ahli pikir (Imam Ahlu-Ra’yi) dalam Islam. Abu Hanifah pernah berijtihad dan menggunakan qiyas jika tidak didapati dalam nas-nas yang terang dalam Al-Quran atau hadits-hadits Rasulullah.
Sikap Abu Hanifah terhadap hadits-hadits Rasulullah:
Seperti telah kita sebutkan di atas bahwa Abu Hanifah adalah seorang Rois pada golongan ahli-ahli pikir. Berdasarkan kepada pendapat ini, ada di antara orang banyak yang melontarkan tuduhan bahwa beliau banyak menggunakan akal dan ijtihad dengan meninggalkan hadits-hadits nabi. Tuduhan itu mendatangkan beberapa kesulitan kepada beliau. Oleh karena itu beliau bekerja keras untuk menyanggah dan menjawab tuduhan-tuduhan sehingga beliau pernah berkata :”Aku merasa heran dengan tuduhan-tuduhan yang mengatakan bahwa aku memberikan fatwa-fatwa dalam hubungan dengan berdasarkan pikiran sedangkan aku tidak memberikan fatwa-fatwa dalam hukum melainkan berdasarkan pada Quran dan hadits Nabi dan pendapat-pendapat sahabat”. Beliau menegaskan lagi katanya : “Apakah boleh menggunakan qiyas jika ada nas?” Beliau menambahkan lagi : “Kami mazhab Abu Hanifah tidak menggunakan qiyas melainkan di waktu-waktu terlampaui sempit”.
Jika kami tidak menemukan dalil-dalil dari Al-Qur’an atau hadits, kami mengqiyaskan hukum yang tidak ada hubungannya kepada arti-arti atau tujuan-tujuan percakapan. Beliau berkata lagi : “Kami menggunakan Quran, kemudian membahas seterusnya pendapat-pendapat para sahabat. Kami mendahulukan pendapat yang bermufakat. Jika mereka berselisih, kami qiyaskan hukum-hukum yang lain dengan melihat sebab-sebab atau alasan-alasan yang sama di antara kedua masalah tersebut sehingga terang dan jelas pengertiannya”.
Abu Hanifah banyak menggunakan hadits-hadits mutawatir, masyhur dan hadits-hadits ahad. Jika beliau tidak menerima atau memakai hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja bukanlah berarti beliau mengingkari adanya hadits itu dari Rasulullah.
Beliau menolak atau tidak menerima sebagian-sebagian dari hadits, bukanlah berarti beliau tidak mempercayai Rasulullah, tetapi ini adalah bertujuan menyelidiki kebenaran rawi-rawi hadits.
Oleh karena itu Abu Hanifah pernah menulis dalam kitabnya yang bernama “Al-Alim Wal-Muta’allim”.
“Aku tidak menerima hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang bertentangan dengan Al-Quran. Ini bukan berarti aku menolak Nabi saw. dan bukan pula hendak mendustakannya, tetapi semua ini bertujuan menolak orang yang membawa hadits Rasulullah dengan dusta. Tuduhan itu hanya pada orang itu bukan kepada Nabi saw. Tegasnya, apa yang disabdakan oleh Nabi, kami dengan dan kami patuh dan mempercayainya, dan kami mengakui sebagaimana yang disabdakan Rasulullah.
Kami mempercayai bahwa Nabi tidak mungkin menyuruh suatu perkara yang dilarang oleh Allah. Rasulullah juga tidak mencegah perkara yang disuruh Allah, dan tidak juga perintah-perintah itu bertentangan dengan perintah dari Nabi. Kami mempercayai bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi tetap menyamai semua ajaran-ajaran Allah, dan tidak sekali-kali Nabi bertindak atau bersabda lain dari apa yang diperintahkan atau firman Allah. Oleh karena itu Allah berfirman :
من يّطع الرّسول فقد أطاع الله.
Artinya :
Barangsiapa yang taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah.
Banyak murid-murid Abu Hanifah yang menyanggah atau menolak dengan tegas tuduhan-tuduhan yang dilemparkan pada Abu Hanifah. Mereka mendukung bahwa Abu Hanifah tetap patuh atau tundu kepada Al-Quran dan hadits-hadits sebelum dari yang lain.
Muridnya yang bernama Zufar berkata : “Jangan kamu perhatikan perkataan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, karena Abu Hanifah dan sahabat-sahabat kami tidak akan memberikan suatu pendapat dalam suatu masalah melainkan berdasarkan pada kitab Allah dan As-sunnah dan juga pendapat-pendapat yang benar kemudian mereka mengqiyaskan berdasarkan pada hukum-hukum itu”.
Kadang Abu Hanifah menyimpang hukum dari Hadits Rasulullah, hukum yang ini tidak dapat diikuti oleh orang-orang lain, ini bukan berarti beliau mengada-ada atau membuat-buat, ini adalah menurut pahamnya ta’wilannya juga kesimpulannya. Maka orang yang kurang berpikir dan kurang ilmu pengetahuannya mengatakan Abu Hanifah menyimpang As sunnah atau hadits-hadits, padahal beliau masih menggunakan hadits. Oleh karena itu Abu Yusuf pernah berkata : “Aku belum pernah berjumpa kepada seorang yang lebih alim dari Abu Hanifah tentang menafsirkan hadits-hadits dan sumber-sumber yang dikeluarkan dari hukum-hukum fiqih”.
Bermacam-macam tuduhan yang telah dilancarkan terhadap Abu Hanifah dari segi penggunaan hadits-hadits Rasulullah, tetapi yang sebenarnya ialah disebabkan beliau terlampau cermat dan halus dalam menerima sesuatu hadits dan beliau menentukan beberapa syarat untuk membenarkan suatu hadits.
Abu Hanifah tidak sekali-kali menerima hadits-hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat dan berkata : “ Hadits ini menurut pendapatku tidak sah atau tidak benar dari Rasulullah benarkah aku hendak memberi pendapat berdasarkan hadits tersebut?”
Jika ada di antara mereka yang tidak memahami tentang kedudukan Abu Hanifah mereka bertanya kepadanya : “Mengapa engkau menyalahi ajaran Rasul?” Beliau terus menjawab : “Tuhan melaknat orang-orang yang menyalahi Rasulullah saw. kita dimuliakan dan dijauhkan dari kesusahan dengan keberkatan Rasulullah”.
Imam ibnu Khaldun pernah menceritakan tentang sikap. Abbu Hanifah dalam kitabnya “Al-Muqaddimah” berkaitan dengan penggunaan hadits-hadits Rasululllah, katanya : “Sebab Abu Hanifah tidak canggung-canggung menggunakan hadits-hadits Rasulullah karena beliau sangat membutuhkan dalam hal ini, beliau membuat beberapa syarat bagi penerima hadits-hadits dari perawi-perawi hadits.
Oleh sebab itu Ibnu Khaldun menempatkan Imam Ahmad bin Hambal di antara para mujahidin yang terkemuka dan beliau mengikuti mazhab Abu Hanifah.
Pada masa Abu Hanifah terdapat banyak orang-orang yang tidak mempercayai Rasulullah oleh sebab itu banyak hadits-hadits yang dibuat-buat dan dirujukkan hadits itu kepada Rasulullah maka banyaklah fitnah dan perpecahan-perpecahan di antara orang-orang di masa itu. Negara Irak dewasa ini terkenal sebagai pusat mazhab syiah, Khawarij dan lain-lain, oleh sebab itu Irak adalah sebuah negara yang banyak membuat hadits dan Irak terkenal dengan negara pembuat hadits.
Walaupun Abu Hanifah seorang yang luas pikiran dan banyak ilmu, tetapi beliau sangat merendah diri, beliau tidak terpedaya dengan pikirannya sendiri dan beliau pernah berkata : “Bahwa pendapat kami adalah salah satu dari pendapat dan jika didapati pendapat lain yang lebih baik dan tepat maka pendapat itulah yang lebih benar dan utama”.
Abu Hanifah seorang yang berpribadi tinggi dalam majlis-majlis musyawarah atau diskusi-diskusi beliau tidak sekali-kali mengecewakan mereka yang ikut musyawarah dengannya. Beliau tidak pernah menuduh kafir kepada siapa saja yang bermusyawarah dengannya karena beliau berpendapat : Barangsiapa yang menuduh kafir atau mengatakan kepada orang itu kafir, maka dia sendirilah yang kafir.
Sungguhpun demikian, Abu Hanifah kadangkala berbicara kasar dan keras dan kurang menghormati lawannya, yaitu jika beliau mengetahui pribadi lawan bicaranya. Hal ini kita dapati dalam suatu pecakapan yang hangat antara beliau dan Jiham bin Sapuan.
Abu Hanifah berkata kepada Jiham : “Bercakap-cakap denganmu adalah suatu perkara yang memalukan dan bermusyawarah denganmu seolah-olah masuk ke dalam api neraka yang membakar. Tujuan beliau bercakap-cakap dengan kasar dan panas ialah untuk mendidik dan mencela sikap
Jiham Sapuan. Jiham berkata kepada Abu Hanifah, kenapa kamu menghukum padaku dengan hukuman sedangkan kamu tidak mendengar perkataanku dan tidak pula kamu bertemu denganku?”
Abu Hanifah menjawab, “Aku mengetahui bahwa kamu telah mengatakan beberapa pendapat yang tidak seharusnya dibaca oleh orang-orang yang shalat”.
Jiham berkata, “Mengapa kamu menghukumku dengan tidak melihatku?”
Abu hanifah menjawab, “Perkara itu telah termasyhur, dan diketahui oleh orang banyak dan juga perseorangan maka sudah selayaknya aku mengatakan bahwa itu adalah dirimu”.
Jiham berkata, “Aku tidak akan tanya selain dari arti “iman”.
Abu Hanifah berkata, Kamu masih belum mengetahui apakah iman sampai saat ini?”
Jiham menjawab, “Ya tetapi aku kurang yakin (syak) setengah darinya”.
Abu Hanifah menjawab, Syak atau kurang yakin tentang Iman adalah kufur”.
Jiham menjawab, “Engkau pasti menceritakan kepadaku apakah perkara yang membawaku kepada kafir”.
“Abu Hanifah berkata, “Tanyalah”.
Jiham pun terus bertanya, “Beritahukan padaku hukum seorang manusia yang mengenal Allah dengan hatinya, ia mengetahui bahwa Allah itu satu tidak ada teman dan tidak ada lawan serta mengetahui sifat-sifat Allah. Ia (Allah) tidak menyerupai sesuatu apa pun, tiba-tiba ia meninggal dunia sebelum ia bercakap dengan lidahnya. Apakah orang itu mati sebagai seorang mukmin atau sebagai seorang kafir?”
Abu Hanifah menjawab, “Ia seorang kafir dan ahli neraka. Sehingga orang itu berbicara mengikuti apa yang diketahui hatinya”.
Jiham bertanya lagi, “Mengapa ia tidak tergolong orang mukmin sedangkan ia telah tahu atau kenal sifat-sifat Allah?”
Abu Hanifah menjawab, “Jika kamu mempercayai (beriman) dengan Al-Quran serta kamu jadikan Al-Quran sebagai hujjah, tentu aku berbicara berdasarkan Al-Quran. Jika engkau tidak beriman dengan Al-Quran dan tidak menggunakannya sebagai hujjah, aku berbicara dengan engkau sebagaimana aku berbicara dengan orang yang mengingkari agama Islam.
Jiham berkata, “Aku percaya kepada Al-Quran dan aku jadikan Al-Quran sebagai hujjah”.
Abu Hanifah berkata, “Sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan manusia agar beriman kepada kitabNya Al-Quran dengan dua perkara : Dengan hati dan lidahnya, Allah swt. berfirman :
Artinya :
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). (QS. Al-Maidah: 83-85).
Allah swt. memasukkan mereka ke dalam surga dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah dan mempercayakan serta dijadikan mereka mukmin dengan dua perkara : Hati dan Lidah.
Allah swt berfirman :
Artinya :
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat jalan yang benar (QS. Al-Baqarah : 136 – 137)
Allah berfirman :
وَاُلْزِمُهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى
Artinya :
Dan Allah mewajibkan kepada mereka “Kalimat At Taqwa (ketaatan)
Allah berfirman :
وَهُدُوْ اِلىَ الطَّيِِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوْا اِلىَ صِرَاطٍ حَمِيْدٍ.
Artinya :
Dan mereka diberi petunjuk dengan ucapan-ucapan yang baik dan ditunjukkan (pula) kepada jalan Allah yang terpuji.
Allah berfirman :
اِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ.
Artinya :
kepadaNya (Allah) diangkatkan ucapan yang baik.
Allah berfirman :
يثبت الله الّذين امنوا بالقول الثّابت فى الحياة الدّنيا وفى الاخرة
Artinya :
Allah menetapkan orang-orang yang beriman dengan perkataan
(لااله الاّالله). ثابت"
hidup di dunia maupun di akhirat.
Nabi bersabda :
قولوالااله الاّالله تفلحوا"
Artinya :
Katakanlah tidak ada Tuhan yang lain selain Allah. Mudah-mudahan kamu mendapat kemenangan . . . Maka tidak dijadikan (diberikan) kemenangan hanya dengan ma’rifat tanpa berkata.
Nabi saw. bersabda yang artinya : Dikeluarkan dari neraka di antara mereka yang berkata di dalam hatinya sekian . . .! Tidak pula Nabi mengatakan : Dikeluarkan dari neraka mereka kenal Allah dalam hatinya sekian.
Jika perkataan itu tidak dikehendaki atau disenangi dan menganggap sudah cukup dengan kenal (ma’rifat) maka sudah tentu mereka yang menolak mempercayai Allah dengan lidahnya dan mereka mengingkari dengan lidah sedangkan ia telah kenal Allah dengan hati yang beriman, dan pasti iblis menjadi mukmin karena ia mengetahui Allah, Allah yang mencipta, memastikan, membangkitkan dan membalasnya.
Allah berfirman :
قال ربّ بما اغويتنى.
Artinya :
Iblis berkata dengan apakah kamu akan membalas ku.
Allah berfirman :
انظرنى الى يوم يبعثون
Artinya :
Setan berkata : Tunggulah aku sehingga hari pembangkit.
Allah berfirman :
خلقتنى من ناروخلقته من طين
Artinya :
Engkau jadikan aku dari api dan engkau jadikan Adam dari tanah (Tin) dan orang kafir menjadi mukmin karena mereka mengetahui atau kenal Allah tetapi mereka ingkar dengan lidah-lidah mereka.
Allah berfirman :
وجحدوا بها واستيقنتها انفسهم
Artinya :
Mereka mengingkari dengan lidah sedangkan hati mereka mempercayainya. Allah tidak menjadikan mereka mukmin sedangkan hati mereka mempercayainya.
Bahwa Allah hanya satu.
Allah berfirman :
يعرفون نعمة الله ثّ ينكرونها واكثرهم الكافرون.
Artinya :
Mereka mengetahui nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, kemudian mereka ingkari, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kafir (tidak percaya).
Allah berfirman lagi :
Artinya :
Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab “Allah”, maka katakanlah, mengapa kamu tidak bertaqwa kepadaNya (Allah). Dan yang demikian itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya. (QS. Yunus : 31-31)
Allah berfirman :
يعرفونه كمايعرفون ابنائهم
Artinya :
Mereka mengenal Allah sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, maka pengenalan mereka tidak bermanfaat sedangkan mereka merahasiakan hati serta mereka tidak mempercayainya.
Akhirnya Jiham berkata : Sesungguhnya engkau telah meletakkan satu perkara dalam hatiku, aku akan kembali menuruti Engkau.
Apakah engkau tidak memperhatikan bagaimana Abu Hanifah berhati-hati dalam menyampaikan dalil-dalil?
Apakah engkau tidak memperhatikan pula bagaimana Abu Hanifah menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dasar pada pikirannya? Dan apakah engkau tidak memperhatikan bagaimana beliau menyelingi tiap-tiap sepotong ayat dengan hadits Rasulullah untuk menguatkan atau meyakinkan pendapat-pendapatnya.
Pendapat Abu Hanifah di atas menunjukkan bagaimana pandangan Abu Hanifah tentang ilmu dan gagasan-gagasannya. Saya menganjurkan dan berharap mudah-mudahan beliau tidak menyebutkan sebagian dari contoh-contoh yang keras!
Alangkah baiknya jika sekiranya Abu Hanifah bertukar pikiran dengan Jiham berdasarkan kepada percakapan yang diriwayatkan oleh Ibnu Albar, yaitu pendapatnya tentang pembagian “Al-Iman”.
Al-Iman telah mengenal (ma’rifat) dan tasdik dalam hati mereka berikrar dengan lisan. Tingkat kepercayaan yang benar ialah : “At-tasdiq” dibagi menjadi tiga : Sebagian dari mereka mentasdiqkan Allah dan perkara-perkara yang datang dari Allah dengan hati dan lidah dan sebagian dari mereka mempercayai dengan lidah tetapi dalam hati dan sebagiannya pula mempercayai dengan hati tetapi lidahnya mendustai.
Sebagian dari mereka yang mempercayai Allah dan ajaranNya yang dibawa oleh Rasulullah dengan hati dan lidah, mereka ialah orang mukmin di sisi Allah dan manusia. Bagi mereka yang percaya dengan lidah dan tidak dengan hati mereka itu kafir di sisi Allah tetapi mukmin di sisi manusia, karena manusia tidak tahu hatinya. Dan mereka boleh dipanggil orang mukmin menurut zahir percakapan mereka. Ada pula sebagian mereka yang mukmin di sisi Allah tetapi di sisi manusia kafir, mereka itu ialah orang-orang yang bercakap tidak mempercayai pada Allah di waktu mereka dalam ketakutan (Al-kuf) mereka boleh dinamakan mukmin karena pada hakekatnya mereka tidak diketahui dan mereka adalah mukmin di sisi Allah.
Sekiranya Abu Hanifah mengatakan dengan Jiham dengan perkataannya ini maka sudah tentu beliau tidak terpaksa mengatakan ucapan yang kasar seperti perkataan mereka yang sangat mendidih atau kafir dari penghuni neraka.
Sebenarnya boleh jadi Abu Hanifah berkata keras dan kasar dengan Jiham dengan tujuan ingin menjelaskan serta menakutinya.