Jihad Berbakti Kepada Orang Tua

 جَاءَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اﷲِ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ ׃ فَقَالَ أَحَيُّ وَالِدُاكَ ؟قَالَ ׃ نَعَمْ ، قَالَ فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ٠ 

"Pernah datang seseorang menemui Nabiyullah saw meminta ijin untuk perang. Maka Nabi saw bertanya lebih dahulu: "Masih hidupkah kedua orang tuamu? Ia menjawab: "Benar." Nabi saw pun berkomentar: "Kepada keduanya engkau berjihad. " (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i) 

Amalan jihad fi sabilillah merupakan impian dan puncak cita-cita semua orang. Sebab dengannya seseorang pasti akan memperoleh salah satu di antara dua kebaikan. Kemenangan, atau kesyahidan. 

Menang melawan musuh, mengibarkan panji Islam, mendeklarasikan kalimatullah di muka bumi, atau menuai kesyahidan. Dan kedudukan (manzilah) para syuhada' di surga, berdekatan dengan kedudukan para nabi dan orang-orang yang benar (assiddiiqiin) sehingga dicemburui oleh banyak penghuni surga lainnya. Bahkan para syuhada' ber- angan-angan agar ia dikembalikan di dunia, lantas berperang lagi dan terbunuh. Ini semua diutarakan panjang lebar oleh Nabi. 

Adalah sudah menjadi kebiasaan generasi angkatan pemula dari sahabat- sahabat Rasulullah saw, mereka berlomba-lomba melesat ke barisan perang. Berusaha diikutkan dalam medan perang. Membela dienullah, atau memporak-porandakan barisan musuh yang ingin merobohkan Islam. 

Bahkan sampai-sampai ada dua anak remaja, mereka berbaris bersama kaum pria dewasa di saat mobilisasi perang. Takut ditolak Nabi saw karena usianya yang masih belia, Samurah bin Jundab berdiri dengan mengangkat tumit di atas jari-jari kakinya. Yang demikian agar terlihat sama tinggi dengan pria dewasa yang sudah layak perang dan mampu memanggul senjata. Sementara Raf' bin Hudaij pun iri, sehingga merengek kepada Nabi saw sembari mengatakan: "Saya bisa mengalahkan Samurah jika bergulat. Maka ijinkanlah saya." Ia pun akhirnya diijinkan Nabi saw. 

Beginilah jihad ... Namun Nabi saw menyepadankannya dengan berbakti kepada orang tua. Dalam hadis di atas Nabi mengatakan: Masih hidupkah kedua orang- tuamu? Ia menjawab: Ya. Maka Nabi berkomentar: "Pada keduanyalah engkau berjihad." 

Nabi saw menggunakan ungkapan bahasa yang sama. Nabi tidak mengatakan kepada sahabat tersebut: "Berbaktilah kepada keduanya, atau: Awasilah (rawatlah) keduanya, atau: urusilah keperluannya." Namun beliau katakan: "Kepada keduanyalah engkau berjihad." 

Ini adalah pertanda kemuliaan mengurusi kedua orang tua. Terlebih-lebih lagi pada saat usia keduanya sudah uzur, atau energinya sudah mulai berkurang, maupun kekuatannya berangsur-angsur menyusut. 

Wahai pemuda pemudi yang kucintai... Sesungguhnya kedua orang tua kita, tidak pernah "membesitua" kan kesungguhan dan kelonggarannya, dalam rangka meningkatkan status kehidupan yang lebih baik. Baik sektor pendidikan, moral, atau hidup keseharian itu sendiri. Mereka peras keringat, banting tulang, siang jadi malam, malam jadi siang hanya demi anak-anak dan buah hatinya. Mereka jalani pahit getirnya kehidupan untuk sang anak. 

Sepersen pun kita tak bisa mengganti jasa mereka, dari apa yang telah mereka korbankan. Dan hendaklah kita mengingat, bahwasanya kita akan menjumpai kondisi ketuaan (lansia) seperti yang mereka alami. 

Dikisahkan bahwa ada seorang kakek tua renta. Ujung jari tangannya sudah terlihat gemetaran dan menggigil. Suatu hari mangkok yang keseharian ia pergunakan makan, terjatuh. Kuenya pun otomatis berserakan. Untung, kue masih berada di atas kaki, kontan menantu putrinya (istri anak lelakinya) berpikir: Lebih baik kue ini kuambil, dan aku akan memakan sendiri kue ini, tidak usah bersama keluargaku yang lain. Ia ambil tempat yang jauh dari dapur, agar tidak diketahui orang, jika ia makan kue sendirian. 

Tak disangka, cucu kesayangan kakek yang biasa duduk bersamanya datang. Ia pun lantas menanyakan mengapa ibu menyendiri. Si cucu dipeluknya, dan dibisiki bahwasanya ibunya berbuat demikian, karena ia bakhil. Cucu itu pun akhirnya bergegas mengambil potongan kue. Sehingga ibunya menanyakan apa yang telah ia perbuat. Ia pun menjawab: "Dua potong kue, saya ambil. Sepotong ini, untuk ibu. Dan sepotong lagi untuk kedua orangtuaku nanti jika telah lanjut usia. Sang ibu pun lantas tersipu malu, dan kembali ia mempergauli dengan halus dan lembut terhadap si kakek.