Adapun mengenai sifat dari orang-orang yang iradah itu bermacam-macam, menurut satu pendapat di antaranya adalah :
Menurut suatu kisah bahwa untuk menjumpai Abu Yazid Al-Busthami, maka Dzun Nun Al-Misri mengutus seorang utusan, kemudian dia berpesan : "Sampai kapan tidur dan istirahat, sementara kafilah sudah berlalu?". Itulah pesan yang harus dikatakannya.
Setelah utusan tersebut berhasil untuk menjumpai Abu Yazid dan telah menyampaikan pesan gurunya, lalu Abu Yazid juga berpesan kepada utusan tersebut supaya disampaikan kepada Dzun Nun Al-Misri yaitu pesannya : "Orang laki-laki itu adalah orang yang tidur sepanjang malamnya lalu memasu¬ki waktu shubuh di suatu tempat "Penurunan" sebelum kafi¬lah". Dzun Nun Al-Misri kemudian menyambutnya, sambil ber¬kata: "Bahwa betapa indahnya!, ini adalah merupakan ucapan yang keadaan kami belum bisa untuk mencapainya".
- Mencintai Allah SWT. dengan mendirikan shalat-shalal Nafilah.
- Ikhlas di dalam memberikan suatu nasehat kepad.i ummat.
- Merasakan kebersamaan Allah disaat sedang sendi rian.
- Sabar di dalam menghadapi akan kekerasan dari ... penguasa.
- Mengutamakan akan perintah Allah SWT..
- Merasa malu sebab Allah SWT. telah melihatnya
- Berusaha dengan apa saja yang telah disenangi oleh sang kekasih Allah..
- Merasa puas dengan yang ada.
- Tidak merasakan ketenangan batin hingga dapat ber-jumpa pelindung dan juga sesembahannya.
Ketahuilah bahwa seseorang telah menampakkan akan kehinaannya sendiri apabila engkau melihat orang yang berkehendak menghendaki pada selain Allah SWT."menurut pendapat Hatim Al-Asham.
Semakin hari akan semakin mundur ke belakang, bagi ... siapa yang telah kehendaknya tidak benar pada permulaanya, pendapat dari Abu Utsman Al-Hiry.Mengenai arti iradah ini banyak orang yang mengomentarinya, dari masing-masing telah mengungkapkannya lewat apa yang tersirat di dalam hatinya, akan tetapi pendapat para Shufi bahwa iradah ialah meninggalkan apa yang paling menjadi suatu kebiasaan.
Adapun mengenai kebiasaan manusia itu pada umumnya sangat terpaku pada hukum penampakan (proses aktualisasi diri) di tempat-tempat yang membuatnya lupa, percaya akan ajakan syahwat, cenderung untuk mengikuti apa yang telah dibisikkan oleh harapan atau angan-angan. Dan seorang ... haruslah terlepas dari identitas semacam itu, semuanya tidak boleh melekat pada dirinya.
Telah diriwayatkan tentang adanya dua versi pernyataan mengenai iradah dari Al-Junaid, namun sifatnya itu sangat ... serta perlu rincian lebih lanjut.
Pertama, dari Ja'far dia berkata bahwa dia pernah .... Al-Junaid telah berkata : "Jika orang yang berkehendak itu benar, maka dia tidak perlu lagi pada orang lain yang ... ilmu.
Kedua, juga dari Ja'far, dia telah mendengar dari Al-Junaid, "Jika Allah SWT. telah menghendaki kebaikan pada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya ke dalam golongan orang-orang yang ahli Shu-fi dan mencegahnya untuk bergaul dengan para qari
Allah SWT. akan memasukkan sebuah barakah kebenaran ke dalam hati seseorang dan mu'ammalah yang baik dengan Allah, yang mana membuatnya tidak memerlukan ilmu yang datang dari pemikiran manusia dan pendapat mereka tidak memerlukan ilmu yang tidak dibutuhkan sebagai bekal ke alam kubur, tidak memerlukan berbagai macam isyarat dan juga ilmu orang-orang shufi, yang mana dengan isyarat dan ilmu itu mereka tidak bisa mengetahui nafsu, aib, kekurangan dan juga amal-amal yang telah rusak, jika orang yang telah berkehendak benar dan perjanjiannya dengan Allah juga benar adanya.
Telah menjadi bukti atau tanda atas suatu kebenaran iradah Allah SWT., maka kemampuan salik telah keluar dari semua kenyataan-kenyataan iradahnya. Dan keadaan semacam inilah yang dinamakan dengan iradah, yaitu keluarnya salik dari hukum kebiasaan (hukum alam kemanusian, kebenaran semu atau kehendak yang bukan sesungguhnya).
Dengan demikian yang dinamakan dengan tanda-tanda iradah itu adalah suatu keberhasilan yang meninggalkan kebi asaan. Dan manifestasi kebangkitan hati di dalam pencarian Al-Haqq itu adalah hakekatnya, oleh karenanya, hal semacam ini telah dikatakan bahwa sesungguhnya iradah itu adalah suatu kepedihan hati karena jeratan cinta kepada Allah SWT yang mampu menghinakan pada setiap keharuan".
Ilmu itu adalah cahaya, dan hati orang yang benar itu selalu dipenuhi dengan cahaya kebenaran, di samping itu juga di.i telah memiliki cahaya iman, sehingga ada cahaya yang telah memberi petunjuk kepada cahaya tersebut.
Mengenai tentang keperluan terhadap ilmu ini juga oleh Al-Junaid telah ditegaskan di tempat yang lain yaitu bahwa orang yang tidak mempunyai ilmu itu tidak akan beruntung,
dan tidak seorang pun yang diperbolehkan untuk berbicara ten¬tang jalan kecuali berdasarkan pada ilmu, Al-Junaid pun berka¬ta bahwa : "Barangsiapa yang tidak menjaga akan adanya Al- Qur'an dan juga tidak menulis akan adanya hadits, maka se-sungguhnya dia tidak layak untuk diikuti, karena ilmu Allah SWT. itu sangat terikat dengan Al-Qur'an dan juga Al-Hadits atau As-Sunnah".
Seorang guru Shufi telah bercerita bahwa suatu hari guru Shufi itu sendirian berada di sebuah dusun yang amat sunyi. Dengan tiba-tiba dada guru tersebut terasa sangat sempit, sehingga mendorong lidahnya untuk mengucapkan: "Wahai manusia, bicaralah pada saya, wahai jin bicaralah pada saya". Tiba-tiba suara yang tanpa bentuk telah menyahutinya : "Apa¬kah yang engkau kehendaki?", kemudian guru Shufi itu menja-wab: "Yang saya kehendaki adalah Allah SWT.", suara itu lalu bertanya lagi: "Kapankah kamu menghendaki Allah SWT.?
Sedangkan mengenai perkataan dari Al-Junaid bahwa : "Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seseorang yang telah berkehendak, maka Allah SWT. akan menghimpun- kannya ke dalam suatu golongan atau kelompok orang-orang ahli Shufi dan mencegahnya untuk bergaul dengan para Qari', adalah para ahli ibadah, baik dengan cara membaca Al-Qur'an atau pun dengan melaksanakan berbagai macam ibadah, akan tetapi hanya sebatas dzahirnya saja tanpa disertai dengan Ma'rifat, hakekat iman, cinta dan juga amal-amal hati yang lainnya.
Namun di dalam pelaksanaan ibadahnya, mereka terlalu mendatail, seperti halnya melaksanakan puasa, shalat, akan tetapi itu semuanya disertai dengan manisnya amal hati dan juga keinginan untuk mengasah jiwa, sebab memang bukan Itu jalan mereka, sedangkan maksud dari golongan kaum Shufi Itu ialah kebalikannya.
Orang yang selalu aktif dan muncul adalah murid sedang¬kan orang yang telah diisi, diberi faedah, dan dengannya dia disenangkan itu adalah murid. Sunnatullah bersama dengan para perambah jalan di dalam menuju kepada Allah SWT. telah memiliki bentuk yang berbeda-beda, sebab dari masing-masing telah memiliki tingkatan atau jenjang hukum yang tidak sama.
Untuk mencapai Maqam atau tingkatan yang dekat dengan ke hadirat Allah SWT. setelah mengalami berbagai kesulitan dari tahun ke tahun di dalam kurun waktu yang cukup panjang. Sehingga sebagian yang lain telah disingkap batinnya semen¬jak permulaan (usia) dengan keagungan makna Allah, kemudi¬an baru mencapai Maqam yang tidak bisa dicapai oleh kelom¬pok ahli Riyadhah atau Mujahadah.
Kebanyakan di dalam pencapaian Maqam kewalian telah dilemparkan oleh Allah SWT. ke sebuah tempat yaitu yang ber¬nama Kawah Condrodimuko Mujahadah, setelah mereka mem¬peroleh akan suatu kesadaran intuisi (hakekat) baru penggodo¬kan ini terjadi, tujuannya adalah agar mereka memperoleh apa- apa yang terkandung di dalam hukum Riyadhah.
Maksudnya itu adalah bukanlah mereka yang telah kembali kepada sesuatu yang mengeluarkan mereka dari sifat-sifat tercela dan mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan yan^ dapat menimbulkan kerinduan kepada Allah SWT..
Namun yang dimaksud oleh Allah SWT. itu adalah mereka yang telah terlemparkan kepada Maqam atau posisi kerohanian yang sangat luhur, yang berupa berbagai macam bentuk Muja¬hadah (perjuangan lahir dan batin menuju Allah), menetapi etika, dan juga ujian di dalam hal-hal tersebut.
Berkaitan dengan masalah iradah ini, Allah SWT. telah ber¬firman:
Artinya:
"Katakanlah, setiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing", Al-lsra' : 84).
Penafsiran mengenai ayat tersebut di atas itu telah mengan¬dung pembuktian bahwa begitu agungnya mengenai posisi hamba di dalam masalah ilmu, dengan arti lain adalah setiap orang telah berbuat menurut keadaannya, yang mana telah membentuknya dan telah sesuai dengan keadaan dirinya sen¬diri, sama halnya dengan orang kafir, munafik, orang yang te¬lah menghendaki akan keduniaan serta kegemerlapannya, maka akan berbuat sesuatu yang sangat sesuai dengan keadaan diri sendiri.
Seseorang akan berbuat sesuai dengan keadaan dirinya sendiri, bertindak menurut pembentukan kehendaknya dan yang sesuai sekali dengan keadaannya, jika seseorang itu telah mencintai Allah SWT. dengan cara yang benar serta dengan cara yang tulus.
Mengenal arti Murid dan Murad, Imam Al-Junaid pernah ditanya oleh seseorang, lalu dia menjawab : "Murid itu adalah orang yang telah dikuasai oleh siasat ilmu, sedangkan Murad itu ialah orang yang telah dikuasai oleh pemeliharaan Al-Haqq secara langsung, bahkan Murid itu berjalan namun Murad adalah terbang. Maka apakah seorang pejalan bisa menyusul pada seorang yang terbang ?".
Menurut suatu kisah bahwa untuk menjumpai Abu Yazid Al-Busthami, maka Dzun Nun Al-Misri mengutus seorang utusan, kemudian dia berpesan : "Sampai kapan tidur dan istirahat, sementara kafilah sudah berlalu?". Itulah pesan yang harus dikatakannya.
Setelah utusan tersebut berhasil untuk menjumpai Abu Yazid dan telah menyampaikan pesan gurunya, lalu Abu Yazid juga berpesan kepada utusan tersebut supaya disampaikan kepada Dzun Nun Al-Misri yaitu pesannya : "Orang laki-laki itu adalah orang yang tidur sepanjang malamnya lalu memasu¬ki waktu shubuh di suatu tempat "Penurunan" sebelum kafi¬lah". Dzun Nun Al-Misri kemudian menyambutnya, sambil ber¬kata: "Bahwa betapa indahnya!, ini adalah merupakan ucapan yang keadaan kami belum bisa untuk mencapainya".