Allah SWT. telah berfirman berhubungan dengan tempat persinggahan Wara' ini, yaitu berbunyi :
Artinya :
"Hai Rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". (QS. Al-Mukmi- nuun : 51).
Maksud dari Wara' itu adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat, menurut pendapat Al-Ustadz Al-Imam ra. Sedangkan yang dimaksud Wara' menurut pendapat Ibrahim bin Adham adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang itulah pasti (tidak dikehendaki) dengan kata lain adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Meninggalkan sesuatu hal yang tidak berguna itu adalah sangat baik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji, sebab banyak sekali kewajiban yang harus dilakukan atau di jalankan oleh seorang muslim. ,
Ngobrol dan begadang sampai larut malam yang tidak ada gunanya itu adalah termasuk menyia-nyiakan waktu dan usiarnya untuk sesuatu yang tidak berguna atau berfaedah. Padahal masih banyak tugas atau kewajiban yang harus dikerjakan atau diselesaikannya.
Misalnya : Belajar, Mengaji, Menelaah sesuatu ilmu dan lain scbagainya.
Wara' itu terbagi menjadi dua bagian, menurut pendapat Yahya bin Mu'adz Ar-Razi yakni :
- Wara' pada anggauta lahir : Tidak menggerakkan pada anggauta lidahnya melainkan hanya kepada hal-hal yang telah diridhai oleh Allah SWT..
- Wara' pada anggauta batin : Yakni tidak memasukkan sesuatu di dalam ingatan dan juga kenangannya melainkan hanya Allah SWT.,
Sedangkan seberat-berat perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia itu ada tiga yaitu :
- Terhadap sesuatu yang jumlahnya sedikit itu sangat atau bersifat pemurah,
- Di dalam keadaan sedang sendiri atau menyendiri itu bersikap wara'.
- Di hadapan ocang yang sedang ditakuti selalu menyatakan tentang kebenaran.
Tiga macam keterangan di atas adalah menurut pendapat Bisyar bin Harst.
Akan tetapi Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Hasan Bisri : Yang dapat menyebabkan suatu kebaikan pada Agama dan yang dapat menyebabkan kerusakan pada Agama itu perbuatan apakah ?, kemudian menjawab Hasan Bisri: Perbuatan yang dapat menyebabkan suatu kebaikan pada Agama itu adalah hidup Wara, sedangkan suatu perbuatan yang dapat menyebabkan kerusakan pada Agama itu ialah hidup tamak.
Maksud dari Wara' itu adalah suatu sikap hidup orang muslim, sebab yang dapat menyingkirkan suatu rintangan yang dapat menghalangi akan tercapainya suatu tujuan hidup itu sendiri adalah hanya dengan kewara'an itu pula.
Dengan arti kata bahwa bersih rohani dan dekat kepada Allah SWT., yang mana sikap wara' ini tidak akan dapat diperoleh oleh seorang muslim kecuali apabila setiap sesuatu yang dimakan itu senantiasa berasal dari makanan yang halal, karena dengan memakan makanan yang haram, dapat menghalangi atau merintangi seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT., disebabkan karena jiwanya kotor.
Oleh karenanya maksud wara' itu adalah dapatlah membersihkan jiwa yang kotor dan juga najisnya. Sebagaimana air yang dapat membersihkan kotoran pakaian dan juga najisnya.
Sebab ada kesesuaian dzahir dan batinnya antara hati dan pakaian tersebut. Maka oleh karenanya pakaian tidur seorang itu adalah menunjukkan keadaan dirinya serta hatinya, yang satu berpengaruh terhadap yang lainnya.
Sehingga Allah telah melarang untuk kaum laki -laki memakai sutera, emas dan juga mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, sebab hal yang demikian sangatlah berpengaruh terhadap hati, yang mana hal itu tidak menunjukkan atau menggambarkan sifat Ubudiyah serta ketundukan.
Nabi Muhammad saw. telah menghimpun secara keseluruhan wara' itu di dalam satu kalimat, yaitu sebagai berikut bunyinya :
Artinya :
"Di antara tanda kebaikan Islam seseorang telah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya".
Sedangkan maksud dari meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini adalah mencakup perkataan, pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua perbuatan yang termasuk gerakan dzahir dan batin. Dan semua yang ada di dalam wara' sudah dicakup di dalam perkataan Rasulullah saw. tersebut.
Telah berkata As-Sariy : Hudzaifah Al-Mar'asyu, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham, serta Sulaiman Al-Khawwas mereka adalah empat ahli Wara' yang pernah hidup di masanya As-Sariv.
Adapun mengenai wara' keempat orang tokoh tersebut lelah mempunyai pandangan yang sama, dan mereka telah mampu untuk meminimalkan di saat mendapatkan suatu persoalan yang sangat sulit.
Wara' itu adalah merupakan suatu upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai macam persoalan atau perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan Allah SWT., itulah pendapat yang pernah diucapkan oleh Syibli, serta yang pernah di dengar oleh tokoh wara' di atas.
"
Di dalam ilmu logika wara' itu lebih hebat daripada ema's dan perak, akan tetapi yang lebih hebat dari keduanya itu adalah zuhud di dalam kepemimpinan, oleh sebab itu di dalam mencari kepemimpinan, engkau dapat mengalahkan keduanya", perkataan dari Ishaq bin Khalaf di dalam cerita.
Namun lain lagi dengan pendapat Abu Sulaiman Ad- Darani bahwa wara' itu adalah merupakan permulaan dari zuhud, sedangkan Qana'ah merupakan akhir dari keridhaan.
Abu Utsman telah mengutarakan pendapatnya yaitu pahala dari wara' itu ialah takut terhadap hisap, tapi menurut Yahya bin Mu'adz bahwa wara' itu akan terhenti di atas ilmu tanpa ada perubahan.
Di samping itu Yahya bin Mu'adz masih mengutarakan akan pendapatnya yakni : "Seseorang itu belum pernah menikmati akan pemberian dari Allah SWT., jika belum menikmati akan lezatnya daripada suatu wara'. Sampai-sampai ada satu ungkapan bahwa derajat seseorang itu akan ditinggikan oleh Allah SWT. di hari kiamat kelak, bagi orang-orang yang pandangannya mengenai suatu keagamaan itu sangat baik dan bagus.
Di dalam membahas mengenai wara' ini tidak ketinggalan pula pendapat Yunus bin Ubaid yaitu yang dimaksud dengan wara' adalah menghindarkan diri dari segala macam bentuk syubhat dan memelihara diri dari segala macam bentuk arahan pandangan.
Juga Sufyan Ats-Tsauri berkata : "Sesuatu yang lebih mudah daripada wara' itu tidak pernah dilihatnya kecuali meninggalkan hal-hal yang lebih keruh di dalam diri. Sedangkan sebuah komentar yang telah berbentuk pesan juga telah diberikan oleh Ma'ruf Al-Karkhi yakni: "Jagalah mulutmu dari pujian, sebagaimana engkau telah menjaga mulutmu dari perbuatan tercela".
"Menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, serta menjauhi perbuatan dosa karena pengagungan", itulah yang dimaksud dengan wara' (menurut pengarang kitab Manazilus- Sa'irin).
Dengan arti lain bahwa menjaga diri dari setiap hal-hal yang membahayakan semaksimal mungkin, serta menjaga diri dari hal-hal yang haram dan juga hal-hal yang mengandung syubhat.
Dan di dalam kalimat menjaga diri dan waspada adalah merupakan dua arti yang hampir serupa, hanya saja dalam kalimat menjaga diri itu mengandung arti perbuatan tubuh sedangkan kalimat waspada adalah merupakan suatu amalan hati.
Wara' itu adalah merupakan suatu permulaan zuhud orang-orang khusus serta merupakan kesudahan zuhud orang- orang awam, menurut pengarang kitab Manazilus-Sa'irin, orang-orang yang khusus tadi yang berjalan menuju kepada Allah SWT..
Dan wara' ini pun menurut pengarang kitab Manazilus- Sa'irin juga dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
Sebab hendak menjaga diri, maka menjauhi segala bentuk keburukan, oleh karena menjaga iman sebaiknya memperbanyak akan suatu sifat kebaikan.
Memelihara dan melindungi dari hal-hal yang dapat mengotori akan dirinya serta dapat menodai di sisi Allah SWT., para Malaikat, hamba-hamba Allah yang beriman dan semua makhluk Allah SWT., itulah arti dari menjaga diri, sedangkan batasan maksimal di dalam menjauhi akan suatu keburukan itu adalah menjaga diri.
Adapun di dalam memperbanyak kebaikan itu dapat dilakukan melalui dua cara yakni :
Pertama :
Di dalam melaksanakan kebaikan, maka memperbanyak kesempatan. Kesempatan yang telah dipersiapkan untuk suatu kebaikan menjadi berkurang, apabila seorang hamba telah banyak melakukan suatu keburukan.
Kedua :
Agar tidak menjadi berkurang, maka memperbanyak untuk melakukan suatu kebaikan, sebab suatu keburukan itu dapat menggugurkan suatu kebaikan, entah secara keseluruhan ataupun sekedar hanya berkurang, yang penting minimal akan melemahkan suatu posisi kebaikan itu sendiri.
Dan ini sangat berkaitan dengan menjaga iman, sebab iman itu bisa berkurang karenakedurhakaan dan iman juga bisa bertambah karena ketaatan, menurut Ulama' Ahlils-Sun- nah seluruhnya.
Cahaya di dalam hati itu adalah iman, sedangkan yang bisa mengurangi dan juga bisa melenyapkan cahaya itu adalah suatu keburukan, kebaikan bisa menambah cahaya di dalam hati akan tetapi keburukan bisa mengurangi atau memadamkan cahaya di dalam hati.
Bahwa yang menjadi sebab kerasnya hati itu adalah melanggar perjanjian yang telah diteguhkan oleh Allah SWT. terhadap hamba-hamba Allah itulah kabar yang telah di-terangkan oleh Allah. Allah SWT. berfirman :
Artinya :
"Karena mereka telah melanggar janji, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya. (QS. Al-Maidah : 13).
Dosa yang disebabkan karena melanggar perjanjian akibatnya adalah bisa menimbulkan beberapa dampak yakni berupa kekerasan hati, datangnya sebuah kutukan, kebiasaan merubah kalam Ilahi serta melupakan ilmu.
Sifat yang ada di dalam derajat pertama ini adalah juga merupakan wara'nya orang-orang yang berjalan kepada Allah SWT. dengan arti bahwa mereka itu masih mempunyai jenis wara' lain.
Dalam perkara-perkara yang mubah, mengekalkan, melepaskan diri dari kehinaan serta menjaga diri agar tidak melampaui batasan hukum, maka dapatlah untuk menjaga hukum.
Orang yang naik dari derajat pertama wara' kemudian beralih kepada derajat kedua, maka akan meninggalkan sekian banyak hal-hal yang tergolong bersifat mubah, sebab takut hatinya akan terkena kotoran dan cahayanya akan menjadi padam, karena hal-hal yang mubah itu bisa mengotori akan kebersihan hati, mengurangi gemerlapnya hati dan memadamkan cahaya hati. Menjauhi jalan-jalan kehinaan dan juga perbuatannya itu merupakan arti dari melepaskan diri dari kehinaan. Sedangkan menjaga diri agar tidak melampaui batasan hukum, maka batasan hukum di sini artinya kesudahan dan juga pemutusan yang halal dan juga yang haram, adapun batasannya adalah selagi suatu hukum itu disudahi dan diputusi atau diputuskan. Dan barangsiapa yang melanggarnya, maka berarti telah berada di dalam kedurhakaan.
Menjauhi segala sesuatu yang akan mengajak kepada perceraian, bergantung kepada perpisahan dan yang telah menghalangi kebersamaan secara total. Adapun perbedaan antara perceraian dan bergantung kepada perpisahan seperti perbedaan antara sebab dan akibat, penafian dan juga penetapan.
Yang dapat membuahkan wara' adalah perasaan takut, permohonan dan pertolongan serta harapan yang tidak bersifat muluk-muluk. Sedangkan yang dapat membuahkan zuhud itu adalah kekuatan iman kepada perjumpaan dengan Allah SWT.. Yang dapat membuahkan cinta adalah ma'rifat, takut dan juga harapan. Yang dapat membuahkan keridhaan adalah rasa cukup, namun yang dapat membuahkan kehidupan hati adalah Dzikir, adapun yang dapat membuahkan tawakkal adalah iman kepada takdir.
Terus-menerus untuk memperhatikan asma' dan juga sifat Allah itu adalah akan membuahkan syukur. Tekat yang kuat dan sabar dapat membuahkan semua keadaan dan juga kedudukan yang sangat tinggi. Ikhlas dan kejujuran adalah saling membuahkan. Ma'rifat membuahkan akhlak, pikiran membuahkan tekad. Mengetahui nafsu dan jugn membencinya membuahkan rasa malu kepada Allah SWT., menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar akan ayat-ayat Allah SWT. yang telah didengarnya dan disaksikan dapat membuahkan sebuah pengetahuan paling benar.
Ada dua macam penopang semacam, ini yaitu:
Pertama :
Memindahkan hati dari kampung dunia menuju ke kampung akhirat.
Kedua :
Mendalami, menyimak dan juga memahami akan makna-makna Al-Qur'an serta sebab-sebab diturunkannya, kemudian mengambil dari ayat-ayat tersebut untuk dijadikan sebuah obat penyakit di dalam hati.