Berkurangnya kemampuan akal karena maksiat

Termasuk dampak buruk maksiat lainnya adalah dapat mengurangi kemampuan akal. Ketika dua orang yang berakal berkumpul, yang satu taat kepada Allah dan satunya lagi ahli maksiat maka yang taat pasti akalnya lebih sempurna, pemikirannya lebih tepat, pandangannya lebih luas dan lurus, dan keputusannya benar. Oleh karena itu, terdapat pesan bagi mereka yang berakal dalam al-Qur'an:

"... Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal!(Q.S. Al-Baqarah [2] : 197)" 

“.. Maka, bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal!, agar kamu mendapat keberuntungan.(Q.S. Al-Maidah [5] : 100)" 

 .. Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).(Q.S. Al-Baqarah [2] :269) " 

 Dan, masih banyak lagi ayat-ayat lainnya. Bagaimana mungkin orang yang berakal sempurna melakukan maksiat terhadap Allah yang menggenggam jiwanya, sedangkan ia tahu bahwa Dia menyaksikan segala perbuatan maksiatnya?! Ia menggunakan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah dalam perbuatan yang mengundang kemurkaan-Nya sehingga Dia melaknatnya, menjadikannya jauh dari-Nya, mengusirnya dari pintu rahmat-Nya, menolaknya, menghinakannya, membuat dirinya merasa terasing, menjadikan ia hina di pandangan-Nya, menghalanginya dari kedamaian ridha-Nya dan dari ketenteraman liati bersama-Nya, menutup pandangannya hingga ia tak bisa memandang Dzat-Nya kelak, dan menghalanginya untuk masuk dalam golongan para kekasih-Nya. Yang demikian itu akan terus bertumpuk-tumpuk, baik yang termasuk kemuliaan para ahli taat maupun hukuman ahli maksiat. 

Pantaskah disebut orang yang berakal jika ia lebih memilih kesenangan sesaat yang laksana mimpi daripada kenikmatan abadi clan keberuntungan yang besar di dunia maupun akhirat?! Seandainya bukan karena akal yang dijadikan alasan, pastilah ia itu orang gila. Bahkan, orang gila sekali pun terkadang masih lebih baik dan lebih selamat daripada dia.

Pengaruh maksiat yang berupa berkurangnya akal sudah jelas bagi mereka yang taat bahwasanya bencana telah merata dan kegilaan adalah bermacam-macam. 

Sungguh, sangat mengherankan jika akal itu sehat, ia tentu tahu jalan menuju kenikmatan, kesenangan, kebahagiaan, dan keindahan hidup. Semua nikmat itu ada dalam ridha Allah, sedangkan kesengsaraan dan siksa ada dalam kemurkaan dan kemarahan-Nya. 

Dalam ridha-Nya, ada ketenangan, kedamaian, keindahan dan kebahagiaan hidup. Apabila secuil dari nikmat-nikmat itu ditimbang dengan kenikmatan dunia, seluruh nikmat dunia tidak akan bisa menandinginya. Bahkan, jika hati telah merasakan secuil dari nikmat itu, tentu ia tidak akan rela menggantinya dengan nikmat dunia seisinya. Ia dapat lebih menikmati bagian dari dunianya daripada orang-orang yang bermewah-mewahan. Kenikmatan yang sedikit itu pun tidak tersisipi rasa resah, gelisah, dan susah sebagaimana yang dirasakan mereka yang bermewah- mewahan. Ia telah mendapat dua kenikmatan sekaligus dan ia menunggu dua kenikmatan lainnya yang lebih besar. 

Adapun sengsara yang ia rasakan selama di dunia adalah sebagaimana firman Allah: 

".. .Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya, mereka pun menderita pesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya, sedangkan kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S. An-Nisaa [4] : 104)" 

 Betapa dungunya orang yang menukar mutiara dengan kotoran, parfum misik dengan tinja, dan kebersamaan dengan orang-orang yang diberi nikmat, seperti para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang shalih ditukar dengan kebersamaan dengan orang-orang yang dimurkai Allah, dilaknat-Nya, serta neraka Jahannam tempat kembali mereka yang paling buruk.