Sunnah-sunnah yang dilakukan sesudah shalat

Ada beberapa hal yang disunnatkan melakukannya sesudah shalat, yaitu sebagai berikut: 

1. Membaca istighfar, dzikir dan doa. Diriwayatkan oleh Muslim (591), bahwa Nabi SAW apabila telah usai dari shalatnya, belaiau memohon ampunan (istighfar) kepada Allah tiga kali, lalu mengucapkan:

 اَللهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يأذَاالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ 

Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Sejahtera, dari dari Engkaulah segala segala kesejahteraan. Maha Suci Engkau ya Tuhan kami, ya Tuhan Yang memiliki kemegahan dan kemuliaan. Dan tidak ada halangan bagi imam, untuk membaca itu semua dengan suara keras, apabila bermaksud mengajari jamaahnya. Tetapi, apabila mereka tidak pandai, maka suara direndahkan. 

Karena, al-Bukhari (705), dan Muslim (583) telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA, dia memberitakan:

 اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِحِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسِ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Bahwasanya berdzikir dengan suara keras di kala orang-orang usai dari shalat fardhu, telah terjadi pada masa Nabi SAW. Dan Muslim (506) telah meriwayatkan pula, dari Ka’ab bin ‘Ujrah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

 مُعَقِّبَاتٌ لاَيَخِيْبُ قَائِلُهُنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ: ثَلاَثٌ وَ ثَلاَثٌوْنَ تَسْبِيْحَةً، وَ ثَلاَثٌ وَ ثَلاَثٌوْنَ تَحْمِيْدَةً، وَ ثَلاَثٌ وَ ثَلاَثٌوْنَ تَكْبِيْرَةً 

Ada beberapa bacaan pengiring, yang takkan sia-sia orang yang mengucapkannya sesudah tiap-tiap shalat fardhu: 33 tasbih, 33 tahmid, dan 33 takbir. Sedang yang menurut periwayatan Abu Hurairah RA (597):

 وَكَبَّرَاللهُ ثَلاَثاً وَثَلاَثٌيْنَ، فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَِسْعُوْنَ، وَقَالَ تَعَامَ الْمِائََةِ: لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَاِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِالْبَحْرِ 

.....Dan mengagungkan Allah (bertakbir) 33 kali. Jadi, semua itu 99. Lalu berucap, melengkapi 100: “La ilaha illa ‘l-Lahu Wahdahu La syarika lahu, lalu ‘lmulku walahu ‘l-hamdu, wa Huwa ‘ala kulli syai’in Qadir” (Tiada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. kepunyaan Dia segala kerajaan, dan kepunyaan Dia segala puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka diampunilah kesalahan-kesalahannya, meski bagaikan buih di laut. 

Khathayahu: kesalahan-kesalahannya. Maksudnya, dosa-dosa kecil. 

Zabadu ‘lbahri: buih laut, yang ada di atas permukaan airnya, ketika ia bergolak dan bergelombang. Adapun maksudnya: betapa pun banyaknya dosa-dosa itu. 

Dan menurut riwayat at-Tirmidzi (3470), bahwa Nabi SAW bersabda:

 مَنْ قَالَ دُبُرَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَهُوَ ثَانٍ رِجْلَهُ قَبْلَ اَنْ يَتَكَلَّمَ: لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ، عَشْرَ مَرَّاتٍ، كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ، وَمُحِىَ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ، وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ، وَكَانَ فِى يَوْمِهِ ذَلِكَ كُلِّهِ فِى حِرْزٍ مِنْ كُلِّ مَكْرُوْهٍ وَحُرِسَ مِنَ الشَّيْطَنٍ 

Barangsiapa mengucapkan sesudah shalat Shubuh, dalam keadaan masih menekuk kakinya sebelum berbicara (apapun): “La ilaha illa ‘l-Lahu Wahdahu la syarika lahu, lahu ‘l-mulku wa lahu ‘l-hamdu yuhyi wa yumitu wa Hua ‘ala kulli syai’in Qadir” (Tiada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kepunyaan Dia segala kerajaan, dan kepunyaan Dia segala puji. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), sepuluh kali, maka dicatatlah untukya sepuluh kebaikan, dan dihapuskan darinya sepuluh keburukan, dan diangkat untuknya sepuluh derajat, sedang sepanjang hari itu dia dibentengi dari segala yang tidak menyenangkan, dan dipelihara dari (godaan) syetan. 


Sedang menurut riwayat Abu Daud (1522), dari Mu’adz bin Jabal RA:

 اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ: يَامُعَاذُ، وَاللهِ اِنِّى َلاُحِبُّكَ، فَقَالَ: اُوْصِيْكَ يَامُعَاذُ لاَتَدَعَنَّ فِى دُبُرِكُلِّ صَلاَةٍ تَقُوْلُ: اَللهُمَّ اَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ 

Bahwa Rasulullah SAW memegang tanagn Mu’adz seraya sabdanya: “Hai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku menyukai kamu”. Lalu sabdanya pula: “Aku wasiatkan kepadamu, hai Mu’adz, jangan sekali-kali kamu tinggalkan sesudah tia-tiap shalat kamu ucapkan: “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika” (Ya Allah, tolonglah aku agar tetap menyebut Engkau, bersyukur kepada-Mu dan beribadat kepada-Mu dengan baik)” 

Dan masih banya lagi doa-doa dan dzikir-dzikir, yang diwiridkan sesudah shalat pada umumnya, dan sesudahnya masing-masing shalat secara khusus, yang bisa diketahui pada kitab-kitab as-Sunnah dan kitab-kitab adzkar. 

2. Berpindah dari tempat shalat fardhu, untuk melakukan shalat sunnah, supaya tempat-tempat sujud menjadi banyak. Karena tempat-tempat itu akan memberi kesaksian baginya. Yang paling utama, apabila seseorang shalat di masjid, hendaknya ia pindah ke rumahnya. 

Dalilnya ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (698) dan Muslim (781), dari Nabi SAW, beliau bersabda:

 فَصَلُّوااَيُّهَاالنَّاسُ فِى بُيُوْتِكُمْ، فَاِنَّ اَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ بَيْتِهِ اِلاَّ الْمَكْتُوْبَةََ 

Maka shalatlah kamu sekalian, hai orang-orang, di rumahmu. Karena shalat yang paling utama ialah shalat seseorang di rumahnya sendiri, kecuali shalat fardhu. 

Dan Muslim (778) meriwayatkan pula, bahwa Nabi SAW bersabda:

 اِذَا قَضَى اَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ فِى مَسْجِدِهِ، فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْبًا مِنْ صَلاَتِهِ، فَاِنَّ اللهَ جَاعِلٌ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا 

Apabila seorang dari kamu sekalian telah menyelesaikan shalatnya di masjidnya, maka berilah rumahnya bagian dari shalatnya. Karena Allah sesungguhnya menjadikan suatu kebaikan dari shalatnya. 

3. Apabila shalat di masjid, sedang di belakang ada jamaah wanita, maka disunnatkan kaum lelaki tetap tinggal di tempat masing-masing, sehingga kaum wanita keluar semua. Karena bercampur baur dengan mereka mudah menimbulkan kerusakan. 

Al-Bukhari (828) telah meriwayatkan dari Ummu Salamah RA:

 كُنَّ اِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةََ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَاشَاءاللهُ، فَاِذَاقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ

Sesungguhnya kaum wanita di masa Rasulullah SAW, apabila telah mengucapkan salam dari shalat fardhu, maka mereka bangkit, sementara Rasulullah SAW dan kaum lelaki yang ikut shalat tinggal diam selama waktu yang dikehendaki Allah. Apabila Rasulullah SAW bangkit, maka orang-orang lelaki itu pun ikut bangkit. 

Sedang menurut suatu riwayat lain dari Ummu Salamah juga (832), dia berkata:

 كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِى تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِى مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ اَنْ يَقُوْمَ 

Dulu, apabila Rasulullah SAW telah mengucapkan salam, maka kaum wanita pun bangkit di kala beliau menyelesaikan ucapan salamnya, sementara beliau sendiri diam di tempatnya sesaat sebelum bangkit. 

Ibnu Syihab as-Zuhri, salah seorang periwayat hadits, berkata: “Kami beritahukan –dan Allah juga yang lebih tahu- bahwa hal itu adalah agar para wanita keluar, sebelum diketahui oleh seorang lelaki pun.”