Definisi dan pengertian makruh
Tiap-tiap yang berlawanan dengan salah satu sunnah yang telah diterangkan di atas, adalah termasuk makruh.
Adapun makruh itu sendiri, yang dimaksud ialah tiap-tiap perbuatan yang berpahala bila ditinggalkan dengan siakp patuh, dan tidak berdosa bila dilakukan.
Jadi, tidak melakukan takbir-takbir, intiqal umpamanya, adalah makruh; karena melakukannya adalah sunnah. Begitu pula, tidak memulai shalat dengan tawajjuh adalah makruh, karena melakukannya adalah sunnah.
Hanya saja, masih ada lagi perbuatan-perbuatan tertentu lainnya yang sunnah dihindari dan makruh dilakukan oleh orang yang shalat. Antara lain kami sebutkan berikut ini:
1. Menoleh dengan memutar leher ketika shalat, kecuali karena hajat:
Abu Daud (909) dan lainnya telah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda:
لاَيَزَال اللهُ عَزَّوَجَلَّ مُقْبِلاً عَلَى الْعَبْدِ فِى صَلاَتِهِ مَالَمْ يَلْتَفِتْ، فَاِذَاالْتَفَتَ انْصَرَفَ عَنْهُ
Allah ‘Azza Wa Jalla akan tetap menghadapi hamba(Nya) dalam shalatnya, selagi dia tidak menoleh. Apabila ia menoleh, maka Allah pun berpaling darinya.
Dan Nabi SAW pun telah menerangkan, bahwa menoleh itu tidak lain adalah:
هُوَاخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
......suatu pencopetan yang dilakukan oleh syetan dari shalat seseorang.
Demikian diriwayatkan oleh al-Bukhari (718).
Dan juga, karena dengan menoleh seperti itu berarti tidak khusyu’ dalam shalat, sebagaimana diperintahkan.
Adapun kalau ada penyebab hingga terpaksa menoleh, seperti memperhatikan musuh umpamanya, maka hal itu tidak makruh. Dalilnya ialah sebuah hadits riwayat Abu Daud (916) dengan isnad shahih, dari Sahal bin al-Hanzhaliyah, dia berkata:
ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ، يَعْنِى صَلاَةِ الصُّبْحِ، فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى وَهُوَ يَلْتَفِتْ اِلَى الشِّعْبِ
Shalat telah ditegakkan –yakni shalat Shubuh-, maka mulailah Rasulullah SAW shalat, sedang beliau menoleh ke celah gunung.
Abu Daud berkata: “Beliau telah mengirim seorang penungang kuda ke celah gunung itu, untuk meronda”.
Dan lain pula bila penolehan itu dilakukan dengan leher.
Adapun kalau dilakukan dengan dada, yakni dengan memutarnya dari kiblat, maka hal itu membatalkan shalat, karena meninggalkan salah satu rukun shalat, yaitu menghadap kiblat. Sedang lirikan mata tanpa menoleh, tidaklah mengapa. Karena Ibnu Hibban dalam shahihnya (500) menyebutkan sebuah hadits dari ‘Ali bin Syaiban RA, dia berkata:
قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّيْنَا مَعَهُ، فَلَمَحَ بِمُؤَخَّرِ عَيْنِهِ رَجُلاً لاَيُقِيْمُ صُلْبَهُ فِى الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ، فَقَالَ: لاَصَلاَةَ لِمَنْ لاَيُقِيْمُ صُلْبَهُ
Pernah kami datang kepada Rasulullah SAW, lalu kami shalat bersama beliau. Tiba-tiba beliau melirik dengan ujung matanya kepada seorang lelaki yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud. Maka, beliau bersabda: “Tidak sempurna shalat bagi orang yang tidak meluruskan punggungnya.”
Maksudnya, tidak tenang (thuma’ninah) dalam ruku’ dan sujudnya.
2. Melihat ke langit.
Al-Bukhari (717) telah meriwayatkan dari Anas RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
مَابَالَ اَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ اَبْصَارَهُمْن اِلَى السَّمَاءِ فِى صَلاَتِهِمْ؟ ثُمَّ قَالَ: لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ اَوْ لَتُخْطَفَنَّ اَبْصَارَهُمْ
“Bagaimanakah halnya kaum-kaum yang mengangkat pandangan mereka ke langit?” Kemudian sabda beliau pula: “Mereka harus menghentikan itu, atau mata mereka benar-benar akan disambar.”
Dalam pada itu, Muslim juga meriwayatkan hadits yang serupa (428), (429) dari Jabir bin Samurah, dan Abu Hurairah –semoga Allah meridhai mereka berdua.
3. Membetulkan letak rambut dan menyingsingkan ujung baju di tengah shalat.
Al-Bukhari (777) dan Muslim meriwayatkan –sedang lafazh hadits ini menurut Muslim-, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
اُمِرْتُ اَنْ اَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ اَعْظُمٍ وَلاَ اَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
Aku disuruh bersujud atas tujuh tulang, dan agar tidak melipat baju maupun rambut (selagi shalat).
Dan sunnahnya, agar baju dibiarkan menurut tabi’atnya.
4. Shalat menghadapi makanan yang menimbulkan selera, karena nafsu akan terganggu karenanya, sehingga menghilangkan kekhusyu’an dalam shalat.
Al-Bukhari (642), dan Muslim (559) telah meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:
اِذَا وُضِعَ عَشَاءُ اَحَدِكُمْ وَاُقِيْمَتِ الصَلاَةُ، فَابْدَءُاوا بِالْعَشَاءِ وَلاَيَجْعَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ
Apabila makan malam seorang dari kamu sekalian telah dihidangkan, sedang shjalat telah ditegakkan, maka mulailah dengan makan malam, jangan tergesa-gesa hingga selesai makan.
5. Shalat sambil menahan buang air besar maupun kecil. Karena dalam keadaan demikian, orang takkan bisa melakukan shalat sebaik-baiknya, seperti khusyu’ dan kehadiran hati. Rasulullah SAW bersabda:
لاَصَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ اْلاَخْبَثَانِ
Tidaklah sempurna shalat (seseorang) di hadapan makanan, maupun orang yang terganggu oleh dua kotoran.
Maksudnya, terganggu oleh kencing dan tinja. Demikian diriwayatkan oleh Muslim (560) dari ‘Aisyah RA.
Adapun penafian shalat di sini, yang dimaksud menafikan kesempurnaannya.
6. Shalat dalam keadaan sangat mengantuk, yakni mengantuk yang tidak menjamin tepatnya bacaan dan selamatnya dari kelalaian.
Al-Bukhari (209) dan Muslim (&86) telah meriwayatkan dari ‘Aisyah RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:
اِذَا نَعَسَ اَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّى فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَاِنَّ اَحَدَكُمْ اِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ، لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ
Apabila seorang dari kamu sekalian mengantuk –ketika sedang shalat-, maka hendaklah ia tidur, sampai hilang kantuknya. Karena, apabila seorang dari kamu shalat sambil mengantuk, barangkali dia merasa sedang memohon ampun, tapi ternyata tengan mencela dirinya.
7. Shalat di tempat-tempat sebagai berikut: jamban, jalan, pasar, kuburan, gereja, tempat sampah dan tempat deruman binatang ternak, karena besar kemungkinan di sebagian tempat-tempat itu terdapat najis, sedang pada sebagian lainnya hati akan terganggu.
Mengenai larangan shalat di tempat-tempat tersebut di atas, at-Tirmidzi (346) telah meriwayatkan:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِقِ، وَفِى الْحَمَّامِ، وَفِى مَعَاطِنِ اْلاِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ الْبَيْتِ
Bahwasanya Nabi SAW telah melarang shalat di tempat sampah, tempat penjagalan, kuburan, tengah jalan, di jamban, di tempat-tempat menderumnya unta, dan di atas Ka’bah.
Menurut at-Tirmidzi, isnad hadits ini tidak begitu kuat.
Qari’atu ‘th-Thariq: tengah jalan, yaitu jalur yang dilewati orang.
Sementara itu, Ibnu Hibban (338) telah mengesahkan pula sebuah hadits:
اْلاَرْضُ مَسْدِدٌ اِلاَّ الْمَقْبَرَةِ وَالْحَمَّامِ
Seluruh bumi adalah tempat sujud, selain kuburan dan jamban.
Dan pernah pula ia mengesahkan sebuah hadits lain (336):
لاَتُصَلُّوا فِى اَعْطَانِ اْلاِبِلِ
Janganlah kamu shalat di tempat-tempat menderumnya unta.
Yakni, tempat-tempat menderumnya yang ada di sekitar sumber air. (Demikian diriwayatkan oleh at-Tirmidzi: 348, dan lainnya.