Mandi Janabat/Jinabat

ARTI JANABAT 

Pada asalnya, janabat artinya: jauh. Allah Ta’ala berfirman: 

Maka kelihatan Musa oleh saudara perempuannya dari jauh. (Q.S. al-Qashash: 11) 

Tapi, janabat diartikan pula: air mani yang memancar, dan juga diartikan bersetubuh. 

Dengan demikian, al-junub artinya: orang yang tidak suci dikarenakan mengeluarkan air mani atau bersetubuh. Dikatakan demikian, karena janabat membuat dia jauh dari melakukan shalat, selagi demikian keadaannya. Dan kata al-junub iu bisa digunakan untuk mudzakkar dan mu’anas, mufad maupun jamak. Jadi, unuk mudzakkar dikatakan junub, untuk mu’annats junub, untuk seorang junub, dan untuk banyak juga junub. 

SEBAB-SEBAB JANABAT 

Ada dua sebab bagi janabat: 

Pertama, karena keluarnya air mani dari laki-laki maupun perempuan dengan sebab apapun, baik karena bermimpi, bersenda gurau, memandang ataupun memikirkan. 

Dari Ummu Salamah RA, dia berkata:

 جَاءَتْ اُمُّ سُلَيْمٍ اِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنَّ الله لاَ يَسْتَحْىِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْاَةِ غُسْلٌ اِذَااحْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ اِذَا رَاَتِ الْمَاءَ (رواه البخارى 278 ومسلم 313

Pernah Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah idak malu menerangkan yang hak. Pakah wania wajib mandi ketika bermimpi?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Ya, apabila ia melihat air mani,” (H.R. al-Bukhari: 278, dan Muslim: 313). 

Ihtalamat: mimpi bersetubuh. 

Sedang menurut riwayat Abu Daud (236) dan lainnya, dari ‘Aisyah RA, dia berkata:

 سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَيَذْكُرُاحْتَلاَمًا؟ فَقَالَ يَغْتَسِلُ، وعَنِ الرَّجُلِ يَرَى اَنْ قَدِاحْتَلاَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ؟ فَقَالَ لاَغُسْلَ عَلَيْهِ، فَقَالَتْ اُمُّ سُلَيْمٍ: اَلْمَرْاَةُ تَرَى ذَلِكَ، اَعَلَيْهاَ غُسْلٌ؟ قَالَ نَعَمْ، اَلنِّسَاءُ شَقاَئِقُ الرِّجَالِ 

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang orang laki-laki yang merasakan basah tapi tidak ingat mimpi, maka jawab beliau: “Dia harus mandi,” dan tentang orang laki-laki yang merasa bahwa dirinya telah bermimpi, tetapi tidak menemukan sesuatu yang basah, maka jawab beliau: “Dia tidak wajib mandi.” Maka berkatalah Ummu Sulaim: “Wanita juga bermimpi seperti itu. Apakah ia juga wajib mandi?” Jawab Rasul: “Ya, wanita adalah belahan orang lelaki.” 

Maksudnya, wanita itu sama seperti laki-laki tentang kejadian maupun tabi’atnya, jadi seolah-olah mereka itu adalah belahan kaum lelaki. 

Kedua, bersetubuh, sekalipun tidak sampai mengeluarkan air mani. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (287), dan Muslim (348), dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda:

 اِذَاجَلَسَ بَيْنَ شُعَابِهَااْلاَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهاَ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الغُسْلٌ، وَفِى رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: وَاِنْ لَمْ يَنْزِلْ 

“Apabila laki-laki telah duduk di antara bagian-bagian tubuh wanita yang empat, kemudian meletihkannya, maka berarti ia telah wajib mandi.” Sedang dalam suatu riwayat lain menurut Muslim: “Sekalipun dia tidak mengeluarkan mani.” 

Syu’abiha jamak dari syu’bah artinya: penggalan dari sesuatu. Sedang di sini yang dimaksud dua paha dan dua betis wanita. 

Jahadaha: laki-laki dengan gerakannya meletihkan wanita. 

Dan dalam suatu riwayat lain menurut Muslim juga (349), dari ‘Aisyah RA:

 وَمَسَّ الْخِتاَنُ الْخِتاَنِ فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلٌ 

..........dan khitan telah menyentuh khitan, maka berarti telah wajib mandi. 

Maksudnya, wajib mandi atas yang laki-laki maupun yang perempuan, karena kedua-duanya bersekutu, yakni sama-sama melakukan hal menyebabkan mandi. 

Al-khitan: bagian yang dipotong ketika dilakukan penyunatan. Pada anak kecil, yang dimaksud ialah kulit yang menutupi kepala zakar. Adapun persentuhan antara dua khitan, yang dimaksud pergesekan di antara keduanya, yaitu bahasa kinayah dari bersetubuh. 

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN AKIBAT JANABAT 

Ada beberapa hal yang haram dilakukan akibat janabat, yaitu: 

1. Shalat, 

Baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, karena Allah Ta’ala berfirman: 

Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (Q.S. an-Nisa’: 43). 

Yang dimaksud di sini tempat shalat. Karena berlalu terhadap shalat tentu tak mungkin dilakukan. Dan oleh karenanya, maka lebih-lebih lagi firman ini merupakan larangan terhadap shalat itu sendiri bagi orang yang sedang dalam keadaan junub. 

Menurut riwayat Muslim (224) dan lainnya, dari Ibnu Umar RA, dia berkata: Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

 لاَتُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ 

“Takkan diterima shalat tanpa bersuci.” 

Dan bersuci di sini adalah mencakup bersuci dari hadats dan janabat, di samping hadits ini juga menunjukkan haramnya shalat atas orang yang berhadats dan junub. 

2. Tinggal dan duduk dalam masjid. 

Adapun sekedar lewat dalam masjid tanpa diam dan bolak-balik di sana, itu tidaklah haram. Allah Ta’ala berfirman:

 وَلاَ جُنُبًا اِلاَّ عَابِرِى سَبِيْلٍ 

Dan (jangan pula menghampirinya) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja. 

Maksudnya, janganlah kamu mengahampiri shalat maupun tempatnya -yaitu masjid- apabila kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja. Rasulullah SAW bersabda: 

لاَ اُحِلَّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ لِجُنُبٍ 

Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid dan junub. (H.R. Abu Daud: 232). 

Larangan ini dimaksudkan terhadap diam dalam masjid, sebagaimana anda tahu dari ayat tersebut di atas, dan juga karena alasan yang akan dijelaskan dalam bab Haid. 

3. Thawaf sekeliling Ka’bah, baik thawaf fardhu maupun thawaf sunnah. 

Karena thawaf itu kedudukannya sama dengan shalat, dan oleh karenanya dipersyaratkan untuknya bersuci, seperti halnya shalat. Sabda Rasulullah SAW:

 اَلطَّوَافُ بالْبَيْتِ صَلاَةٌ، اِلاَّ اَنَّ اللهَ اَحَلَّ لَكُمْ فِيْهِ الكَلاَمَ، فَمَنْ تَكَلَّمَ فَلاَ يَتَكَلَّمْ اِلاَّ بِخَيْرٍ(رواه الحاكم 1/459 وقال صحيح الاسناد

Thawaf di sekeliling Ka’bah adalah shalat juga. Hanya saja dalam thawaf Allah memperbolehkan kamu berbicara. Maka, barangsiapa berbicara, hendaklah jangan berbicara selain yang baik-baik saja. (H.R. al-Hakim: 1:458, dan dia katakan, shahih isnadnya) 

4. Membaca al-Qur’an. 

Sabda Rasulullah SAW:

 لاَتَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ لْجُنُبُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْاَنِ (رواه الترمذى 131 وغيره) 

Janganlah orang yang Haid maupun junub membaca sesuatu dari al-Qur’an. (H.R. at-Tirmidzi: 131 dan lainnya). 

Catatan: Bagi orang yang junub diperbolehkan membaca al-Qur’an dalam hati tanpa melafazhkannya. Begitu pula boleh memandang mushhaf, dan membaca dzikir-dzikir yang berasal dari al-Qur’an, asal dengan maksud berdzikir, bukan membaca al-Qur’an. Contohnya mengucapkan do’a surat al-Baqarah ayat 201: 

Yang artinya: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka". (Q.S. a;-Baqarah: 201). 

Yakni, bila dengan maksud berdo’a. Contoh lain, ketika naik kendaraan maka mengucapkan dengan maksud berdxikir, bukan membaca al-Qur’an: 

"Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi Kami Padahal Kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. (Q.S. az-Zukhruf: 13). 

5. Menyentuh dan membawa mushhaf, atau menyentuh kertasnya atau kulitnya: atau membawa mushhaf dalam kantong ataupun peti. 

Allah Ta’ala berfirman: 

Tidak menyentuhnya (al-Qur’an) kecuali orang-orang yang disucikan. (Q.S. al-Waqi’ah: 79). 

Dan sabda nabi SAW: 

لاَيَمَسُّ الْقُرْاَنَ اِلاَّ طَاهِرٌ(رواه الدارقطنى 1/121 ومالك فى الموطأ مرسلا 1/199

Tidak menyentuh al-Qur’an selain orang yang suci. (H.R. ad-Daruquthni: 1/121, dan Malik dalam Muwaththa’nya secara mursal: 1/199). 

Catatan: bagi orang yang junub diperbolehkan membawa mushhaf, bila berbareng dengan barang-barang lain ataupun maupun buntalan kain, tanpa bermaksud membawa mushhaf itu saja, tetapi membawanya berikut berikut membawa barang-barang lain atau buntalan kain. Begitu pula, boleh membawa Kitab tafsir al-Qur’an, manakala tafsirnya lebih banyak dari Qur’annya. Karena menurut ‘uruf, orang seperti itu tak bisa disebut membawa al-Qur’an.