Haq (kebenaran) tidak dapat bertegak sendiri, namun sesuai dengan sunnah Allah harus ditegakkan dan disebarluaskan oleh orang-orang besar yang memiliki kecakapan dan sifat-sifat yang khusus.
1) Di antara sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para penegak kebenaran ialah ketetapan hati dan kesadaran penuh akan kesucian missinya. Alangkah mulianya orang yang mengenal kebenaran dan berpegangan teguh kepadanya. Itulah yang akan mempertinggi derajatnya.
Allah swt. Berfirman :
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu”. (Az-zukhruf 43-44)
Artinya wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya adalah suatu kemuliaan baginya dan bagi siapa saja yang berpegang teguh kepadanya.
Firman Allah:
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya?”. (Al-anbiya’ 10)
Dan Allah swt. Telah memuji orang-orang yang berpegang teguh kepada kebenaran (haq) dan berlindung di bawahnya, serta tidak melanggar perintahnya. Allah berjanji tidak akan menyia-nyiakan sedikit pun dari pahala mereka.
Firman Allah:
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang Mengadakan perbaikan”. (Al-A’araaf 170)
2) Di antara sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para penegak kebenaran ialah sifat keberanian yang dapat mendorong mereka menyatakan serta menyiarkan apa yang mereka anggap haq dan benar, tanpa takut dan licik dengan keyakinan bahwa mereka ditugaskan oleh Allah untuk menyiarkan cahaya kebenaran kepada seluruh manusia.
Allah Berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali-Imraan 104)
Mengumumkan kebenaran (haq) dan menyiarkannya di dalam masyarakat merupakan salah satu amal kebajikan yang sangat besar pahalanya. Karena bathil tidak akan berdiri dan merejalela melainkan dikarenakan hilangnya suara kebenaran. Maka selama para da’i mendengung-dengungkan haq dan kebenaran, berda’wah untuknya dan menyiarkan ke dalam masyarakat, maka bathil akan lenyap dan menghilang sirna di bawah sorotan haq.
Karena itu menyiarkan haq dan berda’wah untuknya merupakan salah satu kewajiban keagamaan dan sosial. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengenai hal itu lebih banyak daripada ayat-ayat yang mempersoalkan sebagian daripada rukun-rukun Islam.
Tidak dapat dibayangkan sesuatu golongan atau umat akan tegak berdiri dan maju, kecuali jika terdapat di tengah-tengah mereka para da’i dan muballigh yang menyuarakan haq dan menyebutkan kebenaran ke segala pelosok dan penjuru. Dan pada saat sesuatu umat kehilangan para da’i yang demikian itu, maka berarti bahwa saat kehancurannya telah mendekat dan lonceng kematiannya segera akan berbunyi.
Sabda Rasulullah saw.:
إذاهابت أمّتى أن تقول للظّالم ياظالم فقد تودّع منهم
“Bila umatku pada suatu masa takut menuding kepada si dhalim dan mengatakan kepadanya: “Hai yang dhalim” maka saat lonceng matinya sudah mendekat”.
Para da’i kepada jalan yang benar dan haq, seharusnya tidak takut kecuali kepada Allah dalam menjalankan da’wahnya. Karena da’wah ke jalan yang haq dan benar idak akan pernah mengurangi rezki atau mempercepat maut. Rezki dan ajal adalah melulu di tangan Allah swt.
Sebagaimana firmannya :
“(Yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan”. (Al-Ahzaab 39)
Allah Berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela”. (Al-Maidah 54).
Dan tatkala Nabi Musa a.s. diperintah oleh Allah berda’wah kepada fir’aun, ia dihinggapi rasa takut sebagai kelemahan manusiawi yang menimpa tiap-tiap orang yang menganggap kepada penguasa-penguasa yang kejam dan bengis. Ia berkata:
“Berkatalah mereka berdua: "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami khawatir bahwa ia segera menyiksa Kami atau akan bertambah melampaui batas". Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, Sesungguhnya aku beserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat". (Thaha 45-46).
Maka barangsiapa Allah menyertainya tidak seharusnya mereka lemah dan takut atau menyerah, karena Allah memberinya kekuatan, kebesaran jiwa dan keberanian yang bahkan penguasa yang kejam dan buas pun akan merasa dirinya kecil menghadapinya.
Lihatlah contoh yang telah diberikan oleh Nabi Ibrahim (Syeikh para nabi) tatkala beliau berda’wah di tengah-tengah para penyembah berhala menyerukan tauhid dan iman kepada Allah, padahal ia seorang diri tiada yang menolongnya atau mendukung da’wahnya bahkan mengingkari kebapakannya. Namun Ibrahim berjalan terus tanpa menghiraukan celaan pencela atau ancaman
Firman Allah:
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan. Dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku". dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?" Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Al-An’am 79-82).
Dan teladan lain adalah Nabi besar kia Muhammad saw. betapa dia dan para sahabatnya diancam, dicerca dan ditakut-takuti, namun semuanya tidak menjadikan mereka berhenti berda’wah dan mundur, bahkan sebaliknya menambah teguh keimanan mereka dan makin mempertebal keyakinan dan kepercayaan mereka akan kesucian missi yang mereka bawa dan da’wah yang mereka lakukan.
Allah berfirman :
“Orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusiatelah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung". Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Ali Imran 173-175).
Allah Berfirman:
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. (Al-Ahzaab 22-23).