Sistem Islam dalam Menjaga Hak-Hak Naluri Seksual

Di dalam memenuhi tuntutan fitrah ini, Islam tidak bersikap ramah dan toleran kepada laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian maka Islam telah membuat hak yang harus diberikan kepada setiap suami atau istri dalam mendapatkan kepuasan kebutuhan biologisnya. Islam  telah menetapkan suatu ketentuan dengan gambaran yaitu agama yang telah  memagari jiwa manusia dengan ketat dan juga menyertainya di dalam detakan jantung dan selayang pikiran. 

Dan di antara  ketetapan yang mulia dalam hukum-hukum syari'ah adalah suatu ketentuan bahwa  perbuatan itu termasuk suatu aib apabila ada orang yang menetapkan suatu pembatalan pernikahan dalam melaksanakan hubungan biologis antara suami atau istri, yaitu dengan mencegah merealisasikan kepuasan seks bagi salah satunya. Dengan demikian, apabila seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya; yaitu  yang menuntut ahli bahasa dan fiqh disebut ilaa', maka tindakan suami ini dianggap  oleh Islam sebagai suatu perbuatan yang berbahaya dan tindakan yang menyakitkan istrinya dalam mempergunakan hak kepemimpinannya. 

Dari sana dapat diketahui bahwa apabila dia melanggar sumpahnya sebelum  habis masa empat bulan maka dia harus membayar kafarat sumpah.  Namun, apabila masa ini telah lewat sebelum dia kembali mempergauli isterinya, akan tetapi kemudian dia dituntut oleh istrinya untuk menjatuhkan thalak, kemudian dia menolaknya, maka hakim berhak untuk menceraikannya. Dan thalak ini dianggap sebagai thalak bain, yaitu thalak yang tidak dapat dirujuk kembali sampai Islam memutuskan bahaya  dan jalan yang bisa menyakiti isteri, yaitu yang dilakukan oleh suami ketika  dia kembali kepadanya dan kembali kepada kemadharatan yang baru 

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

"Bagi orang-orang yang meng-ilaa' istrinya diberi tangguh empat  bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (tetap hati untuk) talak,  maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. " (Qs. A1 Baqarah (2): 226- 227).

Islam menetapkan hal itu dalam rangka menciptakan masyarakat ketuhanan yang suci, yaitu masyarakat yang tidak ada lagi kecurigaan yang mengintai dan tidak ada lagi pengkhianatan perkawinan atau tidak ada lagi ranjang yang ternoda. Selain itu, agar dapat mengalihkan masyarakat muslim kepada pembentukan jiwa yang bersih dan suci serta jiwa yang  ringan tanpa merasa ada kesulitan dalam memikul beban malu kehidupannya atau penghalang yang sulit di dalam melaksanakan tujuan-tujuan pokoknya di dalam kehidupan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan sistem Islam dalam mengatasi masalah itu, yaitu dengan mengarahkan seluruh pandangan suami kepada hak-hak istri mereka sesuai dengan jalan yang telah digariskan. Hal itu disebabkan karena seorang perempuan adalah sosok manusia yang dikalahkan oleh rasa malu di dalam masalah ini sebelum para peneliti Barat melakukan penelitian-penelitian yang menetapka bahwa posisi ini memiliki pengaruh yang membahayakan di dalam kehidupan perkawinan, dan mungkin juga bisa menyebabkan kepada kehancuran dasar-dasar kehidupan keluarga. 

Dr. Hamillton berkata: Tidak adanya kesepakatan dalam masalah seksual akan menekan ketenangan setiap hubungan perkawinan untuk selamanya. Sesungguhnya, problem-problem yang menyertai perkawinan mungkin disebabkan karena pengabaian suami istri terhadap kesepakatan-kesepakatan ini, walaupun kesepakatan seksual antara keduanya mungkin stabil.

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, beliau berkata bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

Apabila salah seorang di antara kamu menggauli istrinya, maka berilah ia sodaqoh nafkah. Dan apabila melewatinya  maka janganlah menyegerakannya sampai dia menyelesaikan kebutuhannya (Hadits riwayat Abu Ya'laa)

Di dalam riwayat lain dikatakan, “Apabila salah seorang di antara kalian menggauli istrinya, maka janganlah mendatangi mereka seperti datangnya burung yang hanya untuk bertengger dan untuk menetap sejenak saja." (Hadits riwayat Abu Ya’laa)

Ini adalah kisah 'Umar A1 Faruuq bersama seorang perempuan yang menjaga etika dan menjaga diri ketika suaminya sedang tidak ada dirumah keterus-terangan rasa cinta atau kerinduan kepadanya. Dengan demikian, maka dia mengingkari dirinya sendiri untuk berpikir bahwa ada seorang laki-laki lain mengambil kedudukan suaminya karena takut dan malu kepada Allah. Selain itu juga karena rasa hormatnya kepada tuannya (suaminya) agar seseorang memperoleh kedudukannya di dalam hatinya.

Agar kita dapat mengenang hal itu, maka Sa'id bin Jabiir telah meriwayatkan kepada kita kisah ini, maka dia berkata, Umar bin Khaththab radhiyallaahu 'anhu, apabila telah datang sore hari maka beliau mengambil baju besinya dan kemudian berkeliling kota, apabila beliau melihat sesuatu maka beliau mengingkarinya dan terus mengingkarinya.

Suatu ketika beliau beronda di malam hari. Ketika berjalan, dia menjumpai seorang perempuan yang berada di dalam sebuah rumah sedang bersyair :

Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam
Situasinya  menjadikan aku gelisah, karena tidak ada kekasih yang bisa ku ajak bermain
Demi Allah, Andaikata bukan karena Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya
Sungguh ranjang ini akan bergoncang
Akan tetapi ketakutan  dan rasa Maluku kepada Tuhanku telah mencegahku
Juga karena kemuliaan tuanku untuk mendapatkan kedudukannya

Kemudian Ash Sha'daa' bernafas dan berkata, "Sungguh hina Umar bin Khaththab yang saya temui pada malam hari."

Mendengar perkataan itu maka Umar menggedor pintu rumahnya, dan Sha’daa berkata: “Siapakah ini yang telah mendatangi seorang perempuan yang sedang tidak ada suaminya pada saat ini?" Maka Umar menjawab: bukalah pintunya! Akan tetapi perempuan itu enggan membukanya dan 'Umar semakin keras mengetuk pintu rumahnya. Maka perempuan itu berkata: "Demi Allah kalau masalah ini sampai kepada amirul mu'minin pasti dia akan menghukummu." Ketika 'Umar melihat kesucian yang menjaga diri perempuan tersebut, yaitu pada waktu suaminya tidak ada di rumah, maka 'Umar berkata: bukalah pintunya saya adalah amirul mu'minin. Perempuan itu berkata: engkau telah berbohong, kamu bukanlah amirul mu'minin. Maka 'Umar mengeraskan suara dan menampakkan (logat khasnya) kepada Sha'daa', maka tahulah perempuan itu bahwa dia adalah amirul mu'minin.

Setelah mengetahui bahwa beliau adalah amirul mu'minin maka perempuan itu membukakan pintu untuknya dan bertanyalah 'Umar, "coba ulangi bagaimana engkau telah bersyair?" Maka perempuan itu mengulangi sebagaimana yang telah ia katakan. Maka 'Umar bertanya, "dimanakah suamimu?" Perempuan itu menjawab, "dia masih menjalankan misi ini dan ini." Maka 'Umar mengutus kepada salah satu penguasa tentara itu untuk membebas tugaskan fulan bin fulan. Maka ketika dihadapkan kepadanya maka Umar berkata: "Pergilah engkau ke istrimu." Setelah itu kemudian 'Umar masuk ke dalam rumah menemui Khafshah putrinya dan bertanya, "Berapa lamakah seorang perempuan dapat bersabar terhadap suaminya?" Maka Khafshah menjawab: "Maha suci Allah! Amirul Mu'minin bertanya masalah seperti ini?" Maka 'Umar berkata: Kalaulah saya tidak menghendaki kemaslahatan (kebaikan) kaum muslimin maka saya tidak akan bertanya kepadamu. Maka Khafshah menjawab: sebulan, dua bulan, tiga bulan dan pada bulan keempat hilanglah kesabarannya. Maka 'Umar menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menangguhkan misi dan menetapkan bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan.

Ini adalah hak perempuan, adapun pada sisi sebaliknya maka sesungguhnya kami telah melihat bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi peringatan kepada para istri akan hak-hak suami mereka di dalam masalah ini, maka beliau bersabda: 

"Apabila seorang laki-laki memanggil istrinya untuk kebutuhannya, maka datanglah kepadanya meskipun dirinya masih berada di perapian.”  (Hadits riwayat At-Turmudzi dan An-Nasaa’i)

Kemudian beliau bersabda lagi, “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk tidur bersama di atas ranjang, kemudian ia tidak mau, lantas suaminya marah kepada istrinya pada malam itu, maka istrinya akan mendapat laknat malaikat sampai pagi hari.” ( Hadits riwayat Asy-Syaikhaan dan Abu Dawud)

Demikianlah Islam telah menjaga dengan penjagaan yang semestinya untuk menegakkan masyarakat Islami yang bersih dari tekanan naluri seks dan juga untuk mendapatkan jiwa yang sehat, sehingga tidak akan menoleh ke kanan atau ke kiri yang dapat menyebabkan kehancuran dan kemusnahan yang sempurna.

Posting Komentar untuk "Sistem Islam dalam Menjaga Hak-Hak Naluri Seksual"