لِيُخَفِّفَ اَلَمُ الْبَلاَءِ عَلَيْكَ عِلْمُكَ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الْمُبْلِى لَكَ ٬ فَالَّذِى وَاجَهَتْكَ مِنْهُ الأَقْْدَارُ هُوَ الَّذِى عَوَّدَكَ حُسْنَ الإِخْتِيَارِ٠
“Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu, akan menjadi ringan, apabila kalian sudan mengetahui bahwa Allah swt sedang mengujimu. Sebab Dialah yang sedang mencoba kamu melalui qadar-Nya. Dia juga yang telah mengarahkankamu untuk mengadakan pilihan yang paling baik."
Apabila manusia memahami bahwasanya suatu cobaan, ujian yang datang dari Allah swt, diterima dengan rida hati, dan dipahami pula sebagai anugerah, maka ia akan menerimanya tidak dengan hati sedih, bahkan akan menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah swt memberi cobaan, ujian kepada Para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah swt membenci, akan tetapi Allah swt menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu.
Demikian pula Allah swt memberi kesempatan kepada para hamba untuk berikhtiar sepenuh hati, agar segala yang menimpanya mendapatkan jalan keluar dengan pertolongan dan izin Allah semata. Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah 216: "Boleh jadi seuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan barangkali apa yang kamu suka itu belum tentu jelek bagi kamu."
Abu Talib Al Makky menjelaskan tentang ayat ini, yang dimaksud membenci dalam ayat ini ialah membenci penyakit, kebodohan, kemiskinan yang menimpa seseorang. Belum tentu manusia yang tidak memiliki hal – hal tersebut, lalu menjadi baik dan beruntung bahkan sebaliknya, belum tentu orang yang memiliki harta benda yang banyak, atau tidak pernah ditimpa cobaan, ujian, kesusahan lalu jelek bagi mereka dan tidak termasuk orang beruntung atau merugi. Banyak sekali orang suka kepada harta, atau berlimpah-limpah harta benda yang dimilikinya demikian juga kesehatan dan kemasyuran, belum tentu baik bagi mereka di sisi Allah swt. Seperti yang semakna dengan ayat: “Allah melimpahkan kepada mereka kenikmatan lahir dan batin," Di maksud kenikmatan dalam ibadah yang dianugerahkan Allah di dunia ddan di akhirat.
Ali Daqqaq berkata: "Orang yang selalu mendapat taufiq dari Allah ialah mereka yang terpelihara ibadahnya, dan terjaga imannya di saat menghadapi ujian dan cobaan dari Allah swt. Orang yang selalu menjaga ibadahnya dengan mengendalikan kehendak hawa nafsunya maka imannya pun akan terpelihara, dan jiwanya akan menjadi tenang menghadapi setiap ujian dari Allah swt. Seperti dikatakan juga oleh Junaid yang ia lihat dalam mimpinya: "Wahai Junaid, ia mendengar suara memanggil namanya. Seakan-akan Allah berkata kepadanya: Aku (Allah) menciptakan makhluk, maka mereka semua menyatakan kecintaan kepada-Ku. Ketika Aku menciptakan dunia, sembilan puluh persen melarikan diri dari-Ku,yang tinggal hanya sepuluh persen, ketika Aku menciptkan surga, yang lari dari-Ku sembilan persen, tinggal lagi satu persen.
Ketika Aku menciptakan neraka, mereka yang lari dari-Ku .dari sisanya. Aku berfirman kepada manusia yang sisa paling sedikit itu, "Kalian semua Aku beri dunia, akan tetapi tidak mau, Aku beri "surga juga tidak mau, Kuberi neraka juga tidak takut, Aku timpakan musibah juga tidak lari, sekarang apa yang sebenarnya kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Engkau adalah Tuhan kami, yang Maha Mengetahui keinginan kami, maka terserah apa yang Engkau kehendaki." Allah berfirman, "Mereka itulah hamba-hamba-Ku yang sebenarnya."
Hamba Allah yang saleh dalam mencari makrifat kepada Allah berusaha menyempurnakan ibadahnya dari saat ke saat, sehingga makin sempurna, dan menuju tercapainya maqam makrifat yang tertinggi. Si hamba tidak mengikatkan dirinya dengan kehendaknya sendiri dalam menjalankan tugas hidup dunianya. Seluruh kegiatan hidup rohani maupun jasmani seluruhnya diikatkan kepada kehendak dan izin Allah semata. Ia tidak mencari sesuatu karena kemampuannya sendiri, akan tetapi ia berjalan di atas kehendak dan kasih sayang serta keadilan Allah swt.
Kedudukannya sebagai hamba, benar-benar dipertaruhkan sebagai benda yang diatur oleh pemiliknya. Ia bukannya tidak percaya kepada ikhtiar, akan tetapi ikhtiar baginya semata-mata kehendak Allah jua, bagi keaktifan akal pikiran sebagai suatu kesempurnaan anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan. Setelah itu, apa pun yang akan terjadi bagi dirinya dikembalikan kepada Allah swt semata.