Perlunya Mempelajari Ilmu Ma'rifat

Di dalam masyarakat, orang lebih mengenal ilmu Hakekat dan juga ilmu Ma’rifat itu sebagai “ilmu dalam”. 

Sebab menurut cerita dari orang-orang tua, bahwa pada zaman penjajahan Belanda dulu, menurut ilmu itu sangat sukar sekali sebelum datangnya bala tentara. 

Kalau memang ada, terpaksa dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, akan tetapi lain sekali dengan pelajaran ilmu Fiqih ada sedikit kebebasan. Sehingga perkembangan ilmu tersebut agak terlambat, hal itu disebabkan adanya dua faktor yaitu : 

(1). Adanya larangan untuk “Berapat dan berkumpul” dari pemerintahan Belanda, walaupun ditujukan kepada kegiatan politik, namun tidak menutup kemungkinan terlibatnya mereka yang menuntut ilmu dengan menggunakan suatu sistem “Kaji duduk”. 

(2). Pendirian dari kalangan para Ulama’ sendiri, karena mereka terlalu berhati-hati di dalam mengajarkan ilmu, kecuali pada mereka yang sudah dianggap memenuhi syarat. 

Karenanya bangsa penjajah tidak senang terhadap ilmu Tasyawwuf, bahkan bangsa penjajah melarang kepada masyarakat untuk mempelajarinya, dikarenakan mereka mengira bahwa kekuatan bangs akita terletak di dalam ilmu Tasawwuf tersebut. 

Meskipun adanya larangan untuk mempelajarinya, masyarakat yang menuntut ilmu Tasyawwuf sedikitpun tidak merasa gentar atau takut kepada pembrontakan penjajah. 

Dalam hal ini para Ulama’ sangatlah berhati-hati untuk mengajarkan ilmu Ma’rifat kepada para peminatnya, hal ini berdasarkan para sebuah lafadh hadits yaitu berbunyi : “Ala Qadri ‘Uqulihim” yakni menurut kadar akalnya, dan juga harus kepada ahlinya. 

Tentang tafsiran “Ahlinya” inilah yang menimbulkan ketatnya penyebaran ilmu tersebut. Sebab prinsip ahlinya “Ahlinya” ini diartikan harus memahami sifat dua puluh secara terperinci, melaksanakan dan mempelajari syari’at secara tekun dan mendalam. 

Mereka menjadi khawatir yang akhirnya akan terjadi tidak peduli lagi kepada syara kalau- kalau apa saja akan terjadi sikap batin. 

Maka tidaklah mengherakan jika dimana-mana terjadi ajaran–ajaran kebatinan yang baru – baru ukuran zaman itu secara sembunyi-sembunyi atau secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan, hanya dikarenakan dilema yang timbul dengan upaya mendiskriminasikan ajaran Ma’rifat disalah satu pihak, sedangkan ummat merasa kehausan untuk mencari ajaran kepuasan batin pada pihak yang lainnya. 

Harapan kita adalah, dalam rangka pembangunan mental spiritual dewasa ini, dimana ilmu Ma’rifat telah memberikan suatu andil yang sangat besar demi untuk memperkuat semangat perjuangan bangsa, maka perlu terwujudnya suatu wawasan pengetahuan Agama Islam yang lebih luas, dengan disertai penelitian-penelitian sejarah. 

Sebagai acuan bagi ummat, terutama untuk mereka yang sedang mencari kepuasan batin, maka Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi rahmatullah ‘alaihi menganjurkan supaya memperluas dengan sungguh-sungguh suatu ajaran Ma’rifat kepada Allah SWT. 

Begitu juga dengan Imam Al-Ghazali ra, sebelum dia merasakan akan nikmatnya ilmu ini, meskipun dia sudah menjadi Ulama’ panutan pada zamannya, sebagai seorang pembesar Negeri, maka beliau baru dapat merasakan akan kepuasan batin setelah dia menyediakan sebagian waktunya dan umurnya untuk ber’uzlah. 

Di samping itu juga, dia telah menyusun beberapa buku yang mana di antaranya adalah sebuah buku yang berjudul Ihya’ Ulumuddin yang sangat terkenal tersebut. 

Bahkan sebagian dari para Arif Billah juga termasuk Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa “Siapa yang tidak kebagian ilmu ini ( ilmu batin), maka atasnya saya menjadi khawatir akan menemukan suatu “Su’ul Khatimah” dan tidak ada jalan yang mengenal-Nya, kecuali hanya dengan perasaan murni (Sirajut Tholibin). 

Tidak berarti mereka memvonis pasti Su’ul Khatimah (mati dalam keadaan jelek) dengan kalimat ini, akan tetapi mereka merasa sangatlah perlu untuk mengemukakan kekhawatirannya demi untuk kepentingan ummat manusia.