Telah kami katakan, hai’at ialah sunnah-sunnah shalat, yang apabila ditinggalkan maka tidak disunnatkan menggantinya dengan sujud sahwi, lain halnya sunnah Ab’adh. Sunnah-sunnah Hai’at ringkasnya sebagai berikut:
1. Mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram, ketika ruku’, dan ketika bangkit daripadanya
Adapun cara melaksanakan sunnah ini ialah dengan mengangkat kedua telapak tangan dihadapkan ke kiblat, sedang jari-jari terbuka (tidak digenggamkan) dan dirapatkan, sehingga kedua ibu-jari setentang dengan cuping telinga.
Al-Bukhari (705), dan Muslim (390) telah meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, dia berkata:
رَاَيْتَ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَفْتَتَحَ التَّكْبِيْرَ فِى الصَّلاَةِ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ يُكَبِّرُ، حَتَّى يَجْعَلُهَا حَذْوَمَنْكِبَيْهِ، وَاِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ فَعَلَ مِثْلَهُ، وَاِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَعَلَ مِثْلَهُ وَ قَالَ: رَبَّنَالَكَ الْحَمْدُ، وَلاَيَفْعَلُ ذَلِكَ حِيْنَ يَسْجُدُ، وَلاَحِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ
Aku melihat Nabi SAW memulai takbir dalam shalat. Ketika takbir itu beliau mengangkat kedua tangannya, sampai beliau letakkan keduanya setentang dengan kedua pundak beliau. Dan apabila bertakbir untuk ruku’ beliau melakukan seperti itu pula. Dan apabila mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah” (semoga Allah mendengar orang yang memujiNya), beliau melakukan seperti itu pula, lalu mengucapkan: “Robbana walakal hamdu” (Ya Tuhan kami, dan bagi-Mu segala puji). Tetapi beliau tidak melakukan seperti itu ketika bersujud dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.
2. Meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri (bersedekap) ketika berdiri.
Caranya, letakkanlah tangan kanan di atas punggung telapak dan pergelangan tangan kiri, dan genggamlah tangan kiri dengan jari-jari tangan kanan, dan tempatkan semua itu di antara dada dan pusat. Karena, diberitakan oleh Muslim (401) dari Wa’il bin Hujr RA:
اَنَّهُ رَاَى اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ....ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Bahwa Wa’il pernah melihat Nabi SAW mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat,.....kemudian meletakkan tangan kana di atas tangan kiri.
Sedang menurut an-Nasa’i (2/126):
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَالرُّسُغِ وَالسَّعِدِ
Kemudian Nabi meletakkan tangan kanannya di atas telapak, pergelangan tangan dan lengan tangan kirinya.
3. Memandang kepada tempat sujud.
Jadi, makruh hukumnya memandang liar ke sekeliling, atau ke atas, atau kepada sesuatu yang ada di depan, sampai Ka’bah sekalipun. Tetapi, disunnatkan memusatkan pandangan secara terus-menerus kepada tempat sujud, kecuali ketiak bertasyahud, maka pandanglah kepada jari telunjuk yang ditunjukkan ketika membaca syahadat.
Adapun dalilnya, karena mengikuti praktek yang dilakukan Nabi SAW.
4. Memulai shalat sesudah takbir dengan bacaan Tawajjuh.
Lafazh Tawajjuh, diriwayatkan oleh Muslim (771) dari Ali RA, dari Rasulullah SAW: Bahwa apabila beliau memulai shalat, maka mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ للَّذِى فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَالاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَااَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى لِلَه رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi secara lurus, dan aku tidaklah tergolong orang-orang menyekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku terserah kepada Allah Pemilik sekalian alam, tiada syerikat bagi-Nya. dan itulah yang diperintahkan kepadaku, sedang aku tergolong orang-orang berserah diri.
Wajjahtu wajhi: aku menghadapkan wajahku. Maksudnya, ibadatku aku tujukan.
Fathara: memulai penciptaan.
Hanifan: condong kepada agama yang hak.
Nusuki: ibadatku dan hal-hal yang dengan itu aku mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Membaca tawajjuh mustahab hukumnya, pada permulaan shalat fardhu maupun sunnah, bagi orang yang shalat sendirian, imam maupun ma’mum, dengan syarat belum membaca al-Fatihah. Jika sudah muali membacanya –yang anda tahu bahwa Basmalah itu bahagian dari al-Fatihah-, atau sudah membaca ta’awwudz, lalu teringat kesunnahan membaca tawajjuh, maka tidak perlu lantas membacanya, meskipun asalnya lupa.
Membaca tawajjuh tidak dihukumi mustahab pada shalat Janazah, dan tidak pula pada shalat fardhu, apabila waktuinya sempit, sehingga khawatir keluar waktu apabila membaca tawajjuh segala.
5. Membaca ta’awwudz sesudah tawajjuh, yaitu ucapan:
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ لشّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.
Yakni ketika memulai bacaan al-Fatihah. Tetapi, apabila sudah mulai membaca al-Fatihah, sebelum membaca ta’awwudz, lalu teringat, maka makruh kembali kepada ta’awwudz.
Tentang sunnahnya membaca ta’awwudz, Allah SWT berfirman:
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S. an-Nahl: 98).
6. Membaca nyaring dan pelan sesuai tempat masing-masing.
Adapun tempat-tempat yang disunnatkan membaca nyaring ialah: dua rakaat shalat Shubuh, dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan ‘Isya, Shalat Jum’at, shlat ‘Idain, shalat Gerhana bulan, shalat Istisqa’, shalat Tarawih, dan shalat Witir di bulan Ramadhan. Dan semua itu bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Sedang selain itu, disunnatkan membaca pelan. Demikian, sebagaimana ditunjukkan semua itu oleh hadits-hadits, antara lain yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari (735), dan Muslim (463), dari Jubair bin Muth’im RA:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat ath-Thur pada shalat Maghrib.
Dan juga yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari (733), dan Muslim (464), dari al-Barra’ RA, dia berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ: وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ فِى لْعِشَاءِ وَمَا سَمِعْتُ اَحَدًااَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ اَوْقِرَاءَةً
Aku mendengar Nabi SAW membaca, “Wa ‘t-Tini wa ‘z-Zaitun” pada shalat ‘Isya, dan aku tak pernah mendengar seorang pun yang lebih indah suaranya dari beliau, atau (lebih indah) bacaannya.
Al-Bukhari (739) dan Muslim (449) juga meriwayatkan pernyataan Ibnu ‘Abbas mengenai kedatangan jin, dan bahwa mereka mendengarkan al-Qur’an dari Nabi SAW, di mana anara lain dikatakan:
وَهُوَ يُصَلِّى بِاَصْحَابِهِ صَلاَةَ لْفَجْرِ، فَلَمَّا سَمِعُواالْقُرْاَنَ اِسْتَمِعُوالَهُ
Sedang Nabi melakukan shalat Shubuh bersama-sama sahabat-sahabatnya. Maka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an, jin-jin itu pun ikut pula mendengarkannya.
Dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (745) dan Muslim (451), dari Abu Qatadah RA:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِاُمِّ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً مَعَهَا، فِى الرَّكْعَتَيْنِ الاُوْلَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ، وَفِى رِوَايَةٍ: وَهَكَذَايَفْعَلُ فِى الصُّبْحِ
Bahwa Nabi SAW membaca Ummul Kitab (al-Fatiha) dan sebuah surat lain bersamanya pada dua rakaat yang pertama dari shalat Zhuhur dan shalat Ashar. Sedang menurut sebuah riwayat lain: Dan demikian pula beliau melakukan pada shalat Shubuh.
Demikian, di samping hadits-hadits yang lalu mengenai bacaan yang nyaring.
Dalam pada itu, Abu Daud (823 dan 824), dan an-Nasa’i (2/141) dan lainnya telah meriwayatkan pula dari ‘Ubadah ibnu ‘sh-Shamit RA, dia berkata:
كُنَّاخَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ، فَلَمَّاانْصَرَفََ قَالَ: لَعَلَّكُم تَقْرَءُوْنَ خَلْفَ اِمَامِكُمْ قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُوْلُ اللهِ، اِى وَاللهِ، قَالَ: لاَتَفْعَلُوااِلاَّبِاُمِّ الْقُرْاَنِ، فَاِنَّهُ لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْبِهَا، وَفِى رِوَايَةٍ: فَلاَتَقْرَءُوْا بِشَيْئٍ مِنَ الْقُرْاَنِ اِذَا جَهَرْتُ بِهِ اِلاَّبِاُمِّ الْقُرْاَنِ
Kami ada di belakang Rasulullah SAW pada shalat Shubuh. Maka, nampak beliau kesulitan membaca (serak). Tatkala berlalu, beliau bersabda: “Barangkali kamu sekalian membaca di belakang imam kamu?”
Kata ‘Ubadah: Maka, kami menjawab: “Ya Rasul Allah, benar, demi Allah”.
Nabi bersabda: “Jangan kamu lakukan, selain (membaca) Ummul Qur’an. Karena sesungguhnya, tidak sah shalat seseorang yang tidak membacanya.”
Sedang menurut suatu riwayat lain: “Maka janganlah kamu membaca sesuatu dari al-Qur’an, apabila aku membacanya nyaring, selain Ummul Qur’an”.
Dalam keadaan seorang ma’mum tidak dapat mendengar bacaan imamnya, maka bagi dia, shalat itu dianggap pelan bacaannya (sirriyah).
Jadi, hadits-hadits di atas menunjukkan , bahwa Nabi SAW menyaringkan bacaannya, sehingga siapa pun yang hadir dapat mendengarnya.
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan bacaan pelan (sirriy) pada selain waktu-waktu tersebut di atas, antara lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (731), dari Khabbab RA ketika ditanya oleh seseorang: “Apakah Rasulullah SAW membaca (surat) pada shalat Zhuhur dan Ashar?” Maka, dia jawab: “Ya”.
Kami bertanya pula: “Bagaimanakah kalian mengetahui itu?” Maka, dia jawab: “Dari janggutnya yang bergerak-gerak”.
Dan al-Bukhari (738) dan Muslim (396) juga telah meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
فِى كُلِّ صَلاَةٍ يَقْرَأُ، فَمَااَسْمَعَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَسْمَعَنَاكُمْ وَمَااَخْفَى عَنَّا اَخْفَيْنَا عَنْكُمْ
Pada setiap shalat, Nabi membaca (Surat). Maka, apa yang diperdengarkan Rasulullah SAW kepada kami, maka kamipun memperdengarkan kepadamu. Dan apa yang tidak beliau perdengarkan kepada kami, kami pun tidak memperdengarkannya kepadamu.
Para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- memang tak pernah menukilkan tentang bacaan nyaring pada selain waktu-waktu tersebut di atas. Adapun dalil-dalil dari masing-masing shalat, akan kita pelajari pada babnya sendiri-sendiri.
Sedang dalam shalat nafilah mutlak di malam hari, bacaan surat harus pertengahan antara pelan dan nyaring. Karena Allah Ta’ala berfirman:
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". (Q.S. al-Isra’: 110)
Dan yang dimaksud shalat di sini ialah shalat malam.
7. Membaca Amin ketika selesai al-Fatihah. Maksudnya, setelah sampai pada firman Allah Ta’ala, “Wala ‘dh-Dhallin”, maka disusul dengan ucapan “Amin”.
Membaca Amin, sunnah hukumnya bagi siapa pun yang melakukan shalat pada shalat apa pun. Shalat yang dikeraskan bacaan suratnya, maka ucapan Amin ikut keras pula. Dan shalat yang direndahkan bacaan suratnya, ucapan Amin ikut rendah pula. Sedang ma’mum mengucapkan Amin dengan mengikuti ucapan imamnya, manakala ia mengucapkan dengan saring.
Sedang arti Amin ialah: kebuilkanlah permohonan kami, ya Tuhan.
Diriwayatkan al-Bukhari (748) dan Muslim (410), dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا قَالَ اَحَدُكُمْ، وَفِى رِوَايَةٍ عِنْدَ مُسْلِمٍ: فِى الصَّلاَةِ اَمِيْنَ، وَقَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ فِى السَّمَاءِ اَمِيْنَ، فَوَافَقَتْ اِحْدَاهُمَاالاُخْرَى، غُفِرَلَهُ مَاتَقَدََّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila seorang dari kamu sekalian mengucapkan -dan menurut riwayat lain oleh Muslim: dalam shalat – Amin, sedang para malaikat di langit mengucapkan pula: Amin, sehingga kedua bacaan itu berbarengan satu sma lain, maka diampuinilah dosanya yang telah lalu.
Al-Bukhari (747) dan Muslim (410) meriwayatkan pula dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
اذَااَمَّنَ الاِمَامُ فَاَمِّنُوْا، فَاِنَّ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَلَهُ مَاتَقَدََّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila mengucapkan Amin, maka ikutlah mengucapkan Amin. Karena sesungguhnya, barangsiapa ucapan Aminnya menepati ucapan Amin para malaikat, maka dia diampuni dosanya yang telah lalu.
Begitu pula, Abu Daud (934) telah meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَاتَلاََ: غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالِّيْنَ، حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلْيِهِ مِنَ الصَّفِّ اْلاَوَّلِ
Apabila Rasulullah SAW telah membaca , “Ghairi ‘l-Maghdhubi ‘alaihim Wala ‘dh-Dhallin”, maka mengucapkan: “Amin”, sehingga di dengar oleh orang yang ada di dekat beliau dari barisan pertama.
Dan oleh Ibnu Majjah (853) ditambahkan:
فَيَرْتَجُّ بِهَا الْمَسْجِدْ
........
Maka bergetarlah masjid karenanya.
8. Membaca sesuatu dari al-Qur’an sesudah al-Fatihah. Oleh as-Sunnah ditegaskan, supaya membaca suatu surat dari al-Qur’an, sekalipun pendek, atau membaca tiga ayat berturut-turut.
Adapun letak disunnatkannya membaca sesuatu dari al-Qur’an ini, pada dua rakaat pertama saja dari semua shalat, yakni bagi imam dan orang yang shalat sendirian, secara mutlak. Adapun bagi ma’mum, juga disunnatkan membacanya dalam shalat sirriyah (yang bersuara rendah bacaannya), atau dia berada jauh dari imam, sehingga tidak dapat mendengar bacaannya.
Dan disunnatkan pula membaca surat-surat Mufashshal yang panjang, dalam shalat Shubuh dan Zhuhur, seperti al-Hujurat dan ar-Rahman. Sedang pada shalat Ashar dan ‘Isya’ disunnatkan membaca surat-surat Mufashshal yang pertengahan, seperti Wa ‘sy-Syamsi Wa Dhuhaha dan Wa ‘l-Laili Idza Yaghsya. Dan pada shalat maghrib, surat-surat Mufashshal yang pendek, seperti Qul Huwa ‘l-Lahu Ahad.
Itu semua, karena ada sebuah hadits riwayat an-Nasa’i (2/167), dari Sulaiman bin Yasar, dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
مَاصَلَّيْتُ وَرَاءَ اَحَدٍ اَشْبَهَ صَلاَةً بِرَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلاَنٍ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَ ذَالِكَ الاِنْسَانِ، وَكَانَ يُطِيْلُ اْلاُوْلَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ وَيُخَفِّفُ فِى اْلاُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ فِى اْلعصْرِ، وَيَقْرَأُ فِى الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِى الْعِشَاءِ بِاالشَّمْسِ وَضُحَهَا وَاَشْباهِهَا وَيَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ بِسُوْرَتَيْنِ
Tak pernah aku shalat di belakang seseorang, yang shalatnya lebih mirip dengan Rasulullah SAW, daripada Fulan. Kami shalat di belakang orang itu, sedang dia memperpanjang dua rakaat pertama dari shalat Zhuhur dan memperpendek (bacaan) pada dua rakaat lainnya. Dan dia perpendek pula pada shalat ‘Ashar, sedang pada shalat Maghrib dia membaca surat Mufashshal yang pendek. Dan pada shalat ‘Isya’ dia membaca Wa ‘sy-Syamsi Wa Dhuhaha dan sejensinya. Sedang pada shalat Shubuh dia membaca dua surat yang panjang.
Dan juga disunnatkan pada shalat Shubuh di hari Jum’at, membaca; Alif Laam Mim, Tanzil (as-Sajdah) pada rakaat pertama. Sedang pada rakaat kedua: Hal Ata. Karena, menurut riwayat al-Bukhari (851), dan Muslim (880), dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى الْجُمُعَةِ، فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ: الم. تَنْزِيْل، اَالسَّجْدَةَ وَهَلْ اَتَى عَلَى الاِنْسَانِ
Adalah Rasulullah SAW membaca pada hari Jum’at ketika shalat Shubuh: Alif Laam Mim, Tanzil –as-Sajdah, dan Hal Ata ‘ala ‘l-Insan.
Dan disunnatkan pula memperpanjang rakaat yang pertama dari pada rakaat kedua pada semua shalat. Karena al-Bukhari (725) dan Muslim (451) telah meriwayatkan:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ......يَطُوْلُ فِى الاُوْلَى وَيَقْصُرُفِى الثَّانِيَةِ
Adalah Nabi SAW.....memperpanjang (bacaan) pada rakaat pertama dan memperpendek pada rakaat kedua.
9. Takbir ketika berpindah rukun.
Kita telah tahu, bahwa Takbiratul Ihram adalah salah satu rukun shalat, yang bila tidak dilakukan maka shalatpun tidak sah. Akan tetapi, apabila anda telah memasuki shalat, yakni telah melakukan Takbiratul Ihram, maka masih disunnatkan lagi bagi anda bertakbir seperti itu pada tiap kali berpindah dari rukun kepada rukun yang lain, selain ketika bangkit dari ruku’. Di sini, sebagai ganti dari takbir, disunnatkan mengucapkan: “Sami’a ‘l-Lahu liman hamidah, Rabbana laka ‘l-hamdu. Karena menurut riwayat al-Bukhari (756), dan Muslim (392), dari Abu Hurairah RA, dia berkata:
كاَنَرَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَاقَامَ اِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُحِيْنَ يَقُوْم وَيُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ: يُكَبِّرُحِيْنَ يُقِيْمُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَاوَلَكَ الْحَمْدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَهْوِى للسُّجُوْدِ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُحِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يَفْعَلُ ذلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلَّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا، وَيُكَبِّرُحِيْنَ يَقُوْمُ مِنَ الثِنْتَيْنِ بَعْدَ الْجُلُوْسِِ
Apabila Rasulullah SAW telah siap melakukan shalat, maka beliau bertakbir ketika berdiri, dan bertakbir ketika ruku’, kemudian mengucapkan: “Sami’a ‘l-Lahu liman hamidah” (semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya), ketika menegakkan punggungnya dari ruku’, kemudian mengucapkan seraya berdiri: ”Rabbana laka ‘l-hamdu” (Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji). Sesudah itu, beliau bertakbir ketika menukik untuk bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika bersujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya. Kemudian, beliau melakukan seperti itu lagi dalam shalat seluruhnya sampai selesai. Dan beliau bertakbir pula ketika bangkit selepas dua rakaat sesudah duduk.
10. Membaca tasbih ketiak ruku’ dan sujud.
Adapun caranya, ialah dengan mengucapkan, apabila telah mantap dalam ruku’, sebanyak tiga kali:
سُبْحَانَ رَبِّي الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung; aku mensucikan-Nya seraya memuji-Nya.
Sedang apabila telah mantap dalam bersujud, maka mengucapkan tiga kali:
سُبْحَانَ رَبِّي اْلاَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi; aku mensucikan-Nya seraya memuji-Nya.
Bertasbih seperti ini adalah bertasbih sempurna yang paling ringan. Dan akan lebih utama lagi apabila lebih dari tiga kali. (Lihat: Ruku’ pada Bab Rukun-rukun shalat)
11. Meletakkan kedua tangan pada ujung paha ketika duduk pada tasyahud awal dan akhir.
Caranya, telapak tangan kiri terbuka, sedang jari-jarinya dirapatkan satu sama lain, sehinga ujung-ujung jari bersentuhan dengan ujung paha. Adapun telapak tangan kanan dikepalkan, selain jari telunjuk, yang disebut musabbihah (jari penghitung tasbih). Jari ini dijulurkan rendah-rendah sejak awal tasyahud. Sehingga apabila sampai kepada kata-kata: illa ‘l-Lah, maka jari ini diangkat, seraya menunjuk kepada tauhid (keesaan Allah). Dan disunnatkan agar jari musabbihah ini tetap terangkat tanpa digerak-gerakkan, sampai akhir duduk.
Diriwayatkan oleh Muslim (580), dari Ibnu Umar RA, mengenai sifat duduknya Rasul SAW, dia berkata:
كَانَ اِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ، وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَقَبَضَ اَصَابِعَهُ كُلَّهَا، وَاَشَرَ بِاِصْبِعِهِ الَّتِى تَلِى اْلاِبَهَامَ، وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
Apabila Rasul duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya, dengan mengepalkan seluruh jari-jarinya, sedang jari-jarinya yang berdekatan dengan ibu-jari beliau tunjukkah. Sedang telapak tangan kirinya beliau letakkan di atas paha kirinya.
12. Bertawaruk pada duduk yang terakhir, dan beriftirasy pada duduk-duduk lainnya.
Tawarruk: ialah duduk dengan pantat kiri, sedang telapak kaki kanan ditegakkan, dan telapak kaki kiri dikeluarkan dari bawahnya.
Dan iftirasy: duduk di atas mata kaki kiri, sedang telapak kaki kanan ditegakkan pada ujung-ujung jarinya.
Al-Bukhari (794) telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hamid as-Sa’di RA, dia berkata:
اَنَا كُنْتُ اَحْفَظُكُمْ لِصَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....وَفِيْهِ: فَاِذَاجَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى، وَنَصَبَ الْيُمْنَى، وَاِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ اْلاَخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَنَصَبَ اْلاُخْرَى، وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Aku adalah orang yang paling ketat di antara kamu dalam memelihara shalat (seperti yang dilakukan) Rasulullah SAW.........Dan antara lain dikatakan pula: Apabila Rasul duduk pada kedua rakaat (yang pertama), beliau duduk pada telapak kaki kirinya, sedang telapak kaki kanan beliau ditegakkan. Dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau menjulurkan telapak kaki kirinya, sedang telapak kaki yang lain beliau tegakkan, dan duduk dengan pantatnya (menempel di latai).
Qaddama rijlahu ‘l-yusra: menjulurkan kaki kirinya. Maksudnya, menjulurkannya dari bawah kaki kanan yang telapaknya ditegakkan.
Menurut riwayat Muslim (579), dari Abdullah bin as-Zubair RA:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا قَعَدَ فِى الصَّلاَةِ جَعَلَ قَدَمُهُ الْيُسْرَى بَيْنَ فَخِذِهِ وَسَاقِهِ، وَفَرَّشَ قَدَمُهُ الْيُمْنَى
Apabila Rasulullah SAW duduk dalam shalat, maka beliau letakkan telapak kaki kirinya di antara paha dan betisnya (yang kanan), sedang telapak kaki kanannya beliau jadikan alas duduk.
13. Membaca shalawat Ibrahimiyah, kemudian berdoa, sesudah tasyahud akhir.
Anda telah tahu pada keterangan lalu, bahwa membaca shalawat untuk Nabi SAW adalah rukun dalam duduk tasyahud yang akhir. Rukun ini bisa dilaksanakan dengan ucapan shalawat untuk Nabi SAW yang mana saja. Adapun kalau yang dipilih shalawat Ibrahimiyah –yang nashnya sudah kita cantumkan di atas-, itu adalah sunnah.
Apabila telah membaca shalawat, maka disunnatkan memohon perlindungan dari azab kubur dan dari dari azab neraka, atau berdoa apa saja untuk diri sendiri, dengan syarat jangan sampai terlampau panjang, melebihi panjangnya bacaan tasyahud dan shalawat untuk Nabi SAW.
Diriwayatkan oleh Muslim (558), dari Abu Hurairah RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:
اِذَا فَرَغَ اَحَدُكُمْ مِنَ التَشَهُّدِ اْلاَخِرِ فَلْيَتَوَّذْ بِاللهِ مِنْ اَرْبَعٍ، مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالْ
Apabila seorang dari kamu sekalian selesai membaca tasyahud akhir, maka hendaklah memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara: dari azab Jahanam, dari azab kubur, dari bencana hidup dan mati, dan dari kejahatan al-Masih Dajjal.
14. Mengucapkan salam yang kedua.
Telah kami katakan, bahwa mengucapkan salam yang pertama adalah rukun, yaitu salam yang disertai menengok ke sebalah kanan. Apabila salam yang pertama ini telah dilakukan, maka selesailah sudah rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat. Hanya saja, masih disunnatkan pula menambah salah satu kali lagi, sambil menengok ke sebelah kiri.
Muslim (582) telah meriwayatkan dari Sa’ad RA, dia berkata:
كُنْتُ اََرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى اَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ
Pernah aku melihat Rasulullah SAW mengucapkan salam ke sebelah kanannya dan ke sebelah kirinya, sampai aku dapat melihat pipi beliau yang putih.
Sementara itu, Abu Daud (9960 dan lainnya, meriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud RA:
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ: اللهِ
Bahwasanya Nabi SAW mengucapkan salam ke sebelah kanannya dan ke sebelah kirinya, sehingga terlihat pipi beliau yang putih: “As-Salamu ‘alaikum Wa Rahmatu ‘l-Lahi; As-Salamu ‘alaikum Wa Rahmatu ‘l-Lahi”
At-Tirmidzi mengatakan, hadist Ibnu Mas’ud ini hadits hasan shahih.
15. Senantiasa khusyu’ sepanjang shalat.
Khusyu’ artinya: kesadaran hati akan apa yang diucapkan oleh lidah, seperti bacaan-bacaan, dzikir-dzikir dan doa-doa. Yakni, dengan memikirkan semua itu dan memperhatikan ma’na-ma’nanya, serta merasa bahwa dirinya sedang berbicara dengan Tuhannya Yang Mah Suci lagi Maha Tinggi.
Yang benar, bahwa khusyu’, dengan pengertian seperti ini, dalam salah satu bagian dari shalat, adalah hal yang tidak bisa tidak, mesti dilakukan. Dalam arti, apabila seluruh shalat diliputi dengan kelalaian, sejak awal sampai akhir, maka shalat itu batal. Adapun khusyu’ secara terus menerus pada semua bagaian-bagian shalat, adalah sunnah yang membuat shalat menjadi sempurna.
Muslim (228) telah meriwayatkan dari ‘Utsman RA, dia berkata; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مامِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وُرُكُوْعَهَا، اِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَالَم يُؤْتِ كَبِيْرَةً، وَذَلِكَ الدَّهْرَكُلُّهُ
Tidak seorang muslim pun yang kedatangan shalat fardhu, lalu dia melaklukan wudhu’, khusyu’ dan ruku’ dengan baik, kecuali shalat itu merupakan penebus dosa-dosa sebelumnya, selagi dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu berlaku sepanjang umur.
Kabirah: dosa besar, seperti jual-beli riba, meminum khamar dan lain-lain.
Wa dzalika ‘d-Dahra kullahu: dan itu berlaku sepanjang umur. Maksudnya, penebusan dosa-dosa kecil dengan jalan shalat, berlaku terus-menerus sepanjang umur, karena shalat itu pun berulang kali setiap hari.
Sunnah-sunnah tersebut di atas, seluruhnya disebut Hai’at. Maksudnya, kalau seseorang tidak melakukan salah satu di antaranya, maka tidak disunnatkan menggantinya dengan Sujud Sahwi. Lain halnya bagian yang pertama, yaitu sunnah-sunnah yang disebut Ab’adh.
Sunnah jenis ini, apabila ditinggalkan salah satu di antaranya, maka disunnatkan menggantinya dengan Sujud Sahwi.