Mengetahui waktu-waktu shalat Fardhu

Shalat yang lima mempunyai waktu sendiri-sendiri, yang ada permulaannya sehingga tidak sah bila dilakukan sebelum waktunya, dan mempunyai batas akhir sehingga tidak boleh dilakukan sesudahnya. Allah Ta’ala berfirman: 


Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S. an-Nisa’: 103). 

Maksudnya, shalat itu merupakan kewajiban yang telah ditentukan waktunya sendiri-sendiri. Dalan hadits-hadits shahih dinyatakan, bahwa Jibril AS datang kepada Nabi SAW sesudah difardhukannya shalat lima waktu, dia ajarkan kepada Nabi waktu untuk masing-masing shalat secara tepat, baik mulainya maupun berakhirnya. (Lihat: Sunan Abu Daud, Kitab ‘sh-Shalat, Bab Ma Ja’afi ‘l-Mawaqit, no: 393; dan at-Tirmidzi: Bagian pertama Kitabu ‘sh-Shalat, no: 149). 

Dan demikian pula, hal itu diterangkan oleh Rasulullah SAW kepada kaum muslimin, baik dengan perkataan maupun perbuatan beliau. Adapun hadits yang menerangkan tentang waktu-waktu shalat yang lima, ialah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (614) dan lainnya, dari Abu Musa al-Asy’ari RA, dari Nabi SAW:

 اَنَّهُ اَتَاهُ سَائِلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَوَاقِيْتِ الصَّلاَةِ فَلَمْ يُرَدُّ عَلَيْهِ شَيْئًا، وَفِى رِوَايَةٍ اُخْرَى قَالَ: اِشْهَدْ مَعَنَا الصَّلاَةَ، قَالَ: فَاَقَامَ الْفَجْرَ حِيْنَ انْشَقَّ الْفَجْرُ، وَالنَّاسُ لاَيَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضَا، ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ بِالظُّهْرِ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ، وَالْقَائِلُ يَقُوْلُ: قَدِ انْتَصَفَ النَّهَارُ وَهُوَ كَانَ اَعْلَمَ مِنْهُمْ، ثُمَّ اَمَرَهُمْ فَاَقَامَ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ، ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ بِالْمَغْرِبِ حِيْنَ وَقَعَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ اَمَرَهُ فَاَقَامَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ. ثُمَّ اَخَّرَ الْفَجْرَ مِنَ الْغَدِ، حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُوْلُ: قَدْ طَلَعَتِ الشَّمْسُ اَوْ كَادَتْ، ثُمَّ اَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى كَانَ قَرِيْبًا مِنْ وَقْتِ الْعَصْرِ بِاْلاَمْسِ، ثُمَّ اَخَّرَ الْعَصْرَ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُوْلُ: قَدِ احْمَرَّتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ اَخَّرَ الْمَغْرِبِ حَتَّى كَانَ عِنْدَ سُقُوْطِ الشَّفَقِ، ثُمَّ اَخَّرَ الْعِشَاءَ حَتَّى كَانَ ثُلُثُ الَّيْلِ اْلاَوَّلِ، ثُمَّ اَصْبَحَ، فَدَعَا السَّائِلَ فَقَالَ: الْوَقْتُ بَيْنَ هَذَيْنِ 

Bahwa telah datang kepada beliau seseorang yang menanyakan kepada beliau tentang waktu-waktu shalat. Maka, beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Dan menurut suatu riwayat lain, beliau bersabda: “Ikutilah shalat bersama kami.” Kata Abu Musa: Maka Nabi mendirikan shalat Shubuh ketika terbit fajar, sedang orang-orang hampir tidak mengenali sesamanya. Kemudian Nabi menyuruh orang tadi memperhatikan, lalu beliau mendirikan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir. Sedang penanya itu berkata: “Sesungguhnya telah tiba pertengahan siang.” Dan nabi tentu lebih tahu daripada orang-orang lainnya. Maka, kemudian Nabi menyuruh mereka memperhatikan, lalu mendirikan shalat ‘Ashar, sedang matahari masih tinggi. Kemudian, Nabi menyuruh penanya tadi memperhatikan, lalu mendirikan shalat maghrib ketika matahari telah terbenam. Kemudian Nabi menyuruhnya memperhatikan pula. Lalu mendirikan shalat ‘Isya’ ketika mega merah telah tiada. Kemudian besoknya, Nabi mengakhirkan shalat Shubuh, sehingga beliau usai daripadanya, sedang penanya itu berkata: “Sesungguhnya matahari telah atau hampir terbit.” Kemudian Nabi mengakhiri shalat Zhuhur sampai mendekati waktu ‘Ashar yang kemarin. Kemudian, beliau mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai usai daripadanya, sedang penanya itu mengatakan: “Sesungguhnya matahari telah berwarna merah.” 

Kemudian beliau mengakhirkan shalat Maghrib sampai saat hilangnya mega merah. Kemudian beliau mengakhirkan shalat ‘Isya’ sampai saat sepertiga malam yang pertama. Kemudian beliau melakukan shalat Shubuh, maka dipanggilnya penanya tadi, lalu sabda beliau: “Waktu shalat adalah di antara kedua waktu tadi.” Insyaqqa ‘l-fajru: nampak cahaya fajar. 

Zalat: matahari condong dari pertengahan langit. 

As-Syafaq: warna merah yang nampak sesudah terbenamnya matahari. 

Suquthu’ ‘sy-Syafaq: jatuhnya mega merah; yang dimaksud hilangnya. Dan di sana masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan beberapa hal yan mujmal mengenai waktu, atau menambah keterangan mengenainya, sebagaimana yang akan anda lihat dalam keterangan lebih lanjut mengenai waktu tiap-tiap shalat sebagai berikut: 

SHUBUH 

Waktu Shubuh mulia masuk apabila telah nampak Fajar Shadiq, dan berlangsung sampai terbitnya matahari. Rasululah SAW bersabda:

 وَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ 

Waktu shalat Shubuh adalah sejak terbitnya fajar (dan berlangsung) selagi matahari belum terbit. 

ZHUHUR 

Waktu Zhuhur dimulai dengan condongnya matahari dari pertengahan langit ke arah barat -yang mereka sebut waktu Zawal- di mana orang dapat melihat bayang-bayang pendek yang mulai memanjang ke arah timur -yang mereka sebut bayang-bayang Zawal-. 

Dan waktu Zhuhur ini berlangsung sampai saat panjang bayang-bayang sesuatu sama dengannya, ditambah bayang-bayang Zawal yang merupakan tanda mulai masuknya waktu Zhuhur. Muslim (612) meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 وَقْتُ الظُّهْرِ اِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ  ظِلُّا لرَّجُلِكَ طُوْلِهِ ٬مَالَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ 

Waktu Zhuhur adalah apabila matahari telah condong, dan (berlangsung sampai saat) bayang-bayang seseorang sepanjang tubuhnya, yakni selagi waktu ‘Ashar belum tiba. 

‘ASHAR 

Waktu ‘Ashar mulai masuk dengan berakhirnya waktu Zhuhur, dan berlangsung sampai terbenamnya matahari. Hal itu ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW:

 وَمَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ اَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الْعَصْرَ

Barangsiapa dapat mengejar satu rakaat dari shalat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka berarti dia telah dapat mengejar shalat ‘Ashar seluruhnya. (H.R. al-Bukhari: 554, dan Muslim: 608). 

Akan tetapi untuk memperoleh waktu ikhtiar (leluasa), hendaklah orang tidak menggunakan shalat ‘Ashar sampai melampaui saat bayang-bayang sesuatu sepanjang dua kali lipatnya, ditambah bayang-bayang Zawal. Dikarenakan adanya hadits mengenai waktu tersebut di atas, dan juga karena Nabi SAW bersabda:

 وَوَقْتُ الْعَصْرِمَالَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ 

Dan waktu ‘Ashar adalah selagi matahari belum menguning. (H.R. Muslim: 612). 

Yaitu hadits yang pengertiannya dibawa kepada waktu ikhtiar. 

MAGHRIB 


Waktu Maghrib diawali dengan terbenamnya matahari, dan berlangsung sampai hilangnya mega merah tanpa meninggalkan bekas lagi di arah barat. Dan mega merah (asy-Syafaqul ahmar) yang dimaksud ialah sisa-sisa dari bekas cahaya matahari yang nampak di cakrawala sebelah timur ketika terbenamnya matahari, yang selanjutnya diusir oleh kegelapan sehingga hilang sedikit demi sedikit. 

Dan apabila kegelapan elah menutupi segala penjuru, termasuk cakrawala sebelah barat, dan sisa mega merah telah tiada lagi, maka itu berarti waktu Maghrib telah berakhir, sedang waktu ‘Isya mulai masuk. Hal itu ditunjukkan oleh hadits tentang waktu, di samping sabda Rasulullah SAW berikut ini:

 وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ 

Waktu Maghrib adalah selagi merah merah belum lenyap. (H.R. Muslim: 612). 

‘ISYA 

Waktu ‘Isya mulai dengan berakhirnya waktu Maghrib, dan berlangsungnya sampai terbitnya fajar shadiq. Tetapi waktunya yang leluasa (ikhtiar), hendaklah jangan sampai melampaui sepertiga malam yang pertama. Adapun yang dimaksud fajar shadiq ialah cahaya yang tersebar di sepanjang cakrawala timur, yang merupakan pantulan cahaya matahari yang datang dari jauh. 

Selanjutnya, cahaya ini merantai langit sedikit demi sedikit, sampai akhirnya memenuhinya dengan terbitnya matahari. Adapun yang menjadi dalil atas waktu ‘Isya, baik mulainya, berakhirnya, maupun waktu ikhtiarnya, ialah keterangan yang terdapat dalam hadits mengenai waktu, dan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim (681) dan lainnya, dari Abu Qatadah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

 اَمَّا اِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ،  اِنَّمَاالتَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّا لصَّلاةَ حَتَّى يَجِئَ وَقْتُ الصَّلاةِ الاُخْرَى 

Adapun dia sesungguhnya tidak melakukan kelalaian dalam tidurnya. Kelalaian hanyalah dilakukan orang yang tidak melakukan shalat sehingga datang waktu shalat berikutnya. Hadits ini menunjukkan bahwa waktu shalat itu belumlah keluar kecuali dengan masuknya waktu shalat berikutnya. Dan dari pernyataan yang bersifat umum ini, waktu shalat Shubuh dikecualikan. 

Demikianlah waktu-waktu shalat yang lima. Akan tetapi, seorang muslim sepatutnya tidak mengakhirkan shalat dengan sengaja sampai akhir waktu, sekalipun beralasan bahwa waktu shalat cukup luas. Karena hal itu boleh jadi akan menyebabkan shalat itu dilakukan di luar waktunya, bahkan barangkali sikap meremehkan seperti ini menyebabkan shalat itu ditinggalkan sama sekali. 

Tetapi yang disunnatkan ialah agar shalat itu dilakukan dengan segera pada awal waktu:

 وَقَدْ سُئِلَ لنَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَفْضَلِ اْلاَعْمَالِ؟ فَقَالَ׃ الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا اَىْ عِنْدَ اَوَّلِ وَقْتِهَا 

Sesungguhnya Nabi SAW pernah ditanya tentang amal apakah yang paling utama? Maka jawab beliau: “Shalat tepat pada waktunya,” maksudnya, pada awal waktu. (H.R. al-Bukhari: 504, dan Muslim: 85). 

Dan ketahuilah, bahwasanya barangsiapa yang sempat melakukan sebagian shalatnya selagi waktunya masih ada, sedang sisanya dilakukan di luar waktu, maka kalau yang dilakukan dalam waktu itu lengkap satu rakaat, berarti shalat itu tunai (adaa’), dan kalau tidak, maka berarri qadha’. Adapun dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (554) dan Muslim (608), dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 مَنْ اَدْرَكَ  مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ اَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَ مَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِقَبْلَ اَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الْعَصْرَ 

Barangsiapa sempat melakukan satu rakaat dari shalat Shubuh sebelum terbitnya matahari, maka berarti ia sempat melakukan shalat Shubuh seluruhnya. Dan barangsiapa sempat melakukan satu rakaat dari shalat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka berarti ia sempat melakukan shalat ‘Ashar seluruhnya. 

Dan juga sabda Nabi SAW:

 مَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاةَ فَقَدْ اَدْرَكَ الصَّلاةَ 

Barangsiapa sempat melakukan satu rakaat dari shalat, maka berarti ia sempat melakukan shalat itu seluruhnya. (H.R. al-Bukhari: 555, dan Muslim: 607). 

WAKTU-WAKTU YANG MAKRUH UNTUK SHALAT 

Shalat, makruh tahrim hukumnya bila dilakukan: 
  • Pada waktu istiwa’, kecuali di hari jum’at. 
  • Sesudah shalat subuh sampai matahari naik setinggi tombak menurut penglihatan mata. 
  • Sesudah shalat ‘Ashar sampai terbenamnya matahari. 
Itu semua dalilnya ialah sebuah hadits riwayat Muslim (831), dari ‘Uqbah bin ‘Amr RA, dia berkata:

 ثَلاَثُ  سَاعَةٍ كاَنَ رَسُوْلُ ﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَنْهَانَا  اَنْ نُصَلِّى فِيْهِنَّ ٬وَاَنْ  نَقْبِرَ مَوْتَانَا׃ حِيْنَتَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ ٬وَحِيْنَ يَقُومُ قَائِمُا لْظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَا لشَّمْسُوَ حِيْنَ تَضَيَّفَا لشَّمْسُ  لِْلغُرُوْبِحَتَّىتَغْرُبَ 

Ada tiga saat yang kami dilarang Rasulullah SAW melakukan shalat padanya dan mengubur mayit-mayit kami: ketika matahari nampak terbit sehingga ia meninggi, ketika tengah hari sehingga condongnya matahari, dan ketika matahari hampir terbenam sehingga ia terbenam. 

Bazighah: terbit, dan yang dimaksud ialah permulaan nampaknya bulatan matahari. 

Qa’imu ‘zh-Zhahirah: asalnya, bahwa seekor unta menderum, lalu bangkit karena terasa sangat panas, kemudian kata-kata ini dijadikan kinayah untuk menyatakan tentang panas yang amat sangat. Tamilu: condong dari tengah langit. 

Tadhayyafa: condong dengan warna kuning dan hampir terbenam. Akan tetapi kemakruhan ini yang dimaksud jika shalat itu tidak mempunyai sebab yang mendahuluinya, atau sengaja mengubur mayit pada waktu itu. 

Adapun bila tidak sengaja mengubur mayit pada waktu itu, tetapi secara kebetulan saja, atau shalat itu mempunyai sebab yang mendahuluinya, seperti halnya shalat sunnah wudhu’, Tahiyataul masjid dan mengqadha’ shalat yang terlewat, maka tidak makruh lagi hukumnya. Dan ketidakmakruhan ini ditunjukkan oleh sebuah hadits riwayat al-Bukhari (572), dan Muslim (683), dari Anas RA, dari Nabi SAW:

 مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ اِذَا ذَكَرَهَالاَكَفَّارَةَ لَهَااِلاَّّ ذَلِكَ 

Barangsiapa lupa akan shalat, maka hendaklah ia melakukannnya apabila mengingatnya, tidak ada penebus bagi shalat itu selain itu saja. 

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Q.S. Thaha: 14) 

Sabda Nabi: Idza dzakara”, menunjukkan bahwa waktu shalat yang disyari’atkan dan saat yang diperintahkan untuk shalat, ialah ketika ingat. Sedangkan orang kadang-kadang baru ingat akan shalat pada salah satu di antara waktu-waktu yang terlarang. Dengan demikian, hadits di atas menunjukkan bahwa saat mengingat shalat adalah dikecualikan dari larangan tersebut di atas. Begitu pula ditunjukkan oileh hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (1176), dan Muslim (834), dari Umar Salamah RA: 

اَنَّهُ  صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ  بَعْدَ الْعَصْرِ ٬فَسَأَلْتُُه عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ׃ يَابِنتَاَبِىْ اُمَيَّةَ،  سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ  وَاِنَّهُ اَتَانِى  نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ فَشَغَلُوْنِى عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ  الظُّهْرِفَهُمَاهَاتَانِ

Bahwasanya Nabi SAW melakukan shalat dan rakaat sesudah ‘Ashar, maka aku tanyakan hal itu kepada beliau, yang beliau jawab: “Hai anak perempuan Abu Umayah, kamu menanyakan tentang dua rakaat sesudah ‘Ashar. Sesungguhnya telah datang kepadaku beberapa orang dari kaum Abdul Qais. 

Mereka telah menyibukkan aku sehingga tidak sempat melakukan dua rakaat sesudah Zhuhur. Maka inilah kedua rakaat itu. Shalat-shalat lainnya yang mempunyai sebab yang mendahuluinya, juga boleh diqadha’, karena dikiaskan kepada hadits ini. Ada yang secara mutlak dikecualikan dari larangan ini, yaitu shalat di Tanah Haram (Mekah), berdasarkan sabda Nabi SAW:

 يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَتَمْنَعُوْا اَحَدًا طَافَ بِهَذَا اَلْبَيْتِ وَصَلَّى اّيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ اَوْ نَهَارٍ 

Wahai anak-anak Abdu Manaf, janganlah kamu mencegah seorang pun yang berthawaf di Ka’bah ini, dan melakukan shalat kapan saja dia kehendaki, baik malam maupun siang. (H.R. at-Tirmidzi: 868, dan Abu Daud: 1894).