Hubungan Puasa dan Kekuatan Rohani

Di samping menanamkan rasa sabar, puasa juga dapat menempatkan jiwa seseorang sehingga bersikap cerah, bercahaya dan selalu dekat dengan Allah. Seseorang yang melakukan puasa bagaikan malaikat; jiwanya dipenuhi dengan keluhuran dan akhlaknya tinggi. Dari dalam jiwanya terpancarkan nur rabbani; ibadah adalah rekreasinya, sikap yang luhur adalah ciri khasnya, dan ia selalu merasa berada dekat dengan Allah. 

Oleh karena itu, Allah berfirman sesudah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa: 

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. 2 : 186). 

Seolah-olah susunan urutan ayat tadi memberikan peringatan kepada umat manusia, bahwa apabila mereka betul-betul melakukan ibadah puasa, berarti mereka telah siap melakukan munajat dengan Tuhannya. 


Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita, bahwa ketika Allah hendak berfirman kepada Nabi Musa. Allah memerintahkan kepada Nabi Musa AS agar berpuasa selama tiga puluh hari. Untuk mempersiapkan diri di dalam menerima Kalamullah, dan agar dirinya mampu bertahan di hadapan Nur Allah, maka Musa melaksanakan perintah-Nya. Setelah itu Allah memerintahkan Musa agar menyempurnakan puasanya sepuluh hari lagi, sehingga genaplah empat puluh hari puasa Musa. 

Lalu Allah berfirman kepadanya : 

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam”. (QS. 7 : 142). 

Kemudian Allah berbicara dengan Nabi Musa : “Allah berfirman : 

“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. 7 : 144). 

Dari sini tersingkaplah hubungan yang erat antara puasa dan turunnya wahyu Ilahi terhadap Nabi Muhammad SAW. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an : 

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia”. (QS. 2 : 158). 

Oleh karena itu, bulan Ramadhan adalah bulan dibacanya Al-Qur’an (diramaikan dengan bacaannya) dan merupakan bulan ibadah, yang dengan cara itu jiwa manusia dibersihkan dari kotoran. Akhirnya akan mendapat keridhaan dan ampunan dari Allah SWT. 

Rasulullah SAW telah bersabda :

 من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه (رواه البخارى و مسلم وابو داود والنسائى

“Barangsiapa melakukan shalat pada bulan Ramadhan, dengan penuh keimanan dan penuh harap akan pahala dari Allah, maka dosa yang telah ia lakukan akan diampuni (Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan An-Nasai)”. 

Shalat yang dilakukan dalam bulan Ramadhan ini telah dijalankan oleh Nabi sebanyak sebelas rakaat, dan ada lagi pendapat yang mengatakan dua puluh rakaat di samping shalat witir. Waktunya ialah sesudah shalat ‘Isya atau di tengah malam sebelum waktu shalat Subuh. Shalat ini dikenal dengan nama Shalat Tarawih. 

Puasa yang benar-benar dijalankan dapat menempa pekerti seseorang. Dengan puasa, seseorang akan membersihkan dirinya dari dosa-dosa dan mampu membiasakan diri untuk taat terhadap Allah. Oleh karena itu Rasulullah bersabda :

 الصلوات الخمس والجمعة الى الجمعة, ورمضان الى رمضان مكفرات ما بينهن اذا اجتنبت الكبائر (رواه مسلم والامام احمد

“Shalat lima waktu; dari shalat Jum’at ke shalat Jum’at lainnya; dari bulan Ramadhan ke Ramadhan lainnya, adalah merupakan pelebur dosa selagi dosa-dosa besar dijauhi (Hadits riwayat Muslim dan Imam Ahmad)”. 

Itulah hakikat puasa di dalam Islam. Jadi, pengertian puasa di sini bukanlah sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang yang lahiriahnya melakukan ibadah puasa dengan menahan haus dan dahaga. Kemudian mereka merusak citra puasa, dan membatalkan hikmah yang terkandung di dalamnya, dengan cara melahap berbagai macam makanan. Seolah-olah hendak membayar apa yang telah lewat lebih baik bila puasa yang mereka lakukan tidak membekas pada sepak terjangnya. 

Dan bukan seperti orang-orang yang melakukan puasa, kemudian tidak mendirikan shalat dan tidak mengeluarkan zakat. Mereka lupa bahwa rukun-rukun Islam merupakan kesatuan yang tak bisa dipisah-pisahkan. 

Adapun sikap sebagian orang-orang yang mengakui dirinya Islam, kemudian dengan terang-terangan berbuka puasa di siang hari tapa ada rasa malu, maka orang-orang ini termasuk orang-orang yang mencoreng wajah Islam. Dan pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang paling jauh dari Islam.