Kemewahan dan Pengaruhnya pada Kehancuran Umat

Bermewah-mewahan atau di dalam istilah bahasa Arabnya disebut Taraf, dalam kitab Lisan Al’Arab artinya sinonim dengan kata Tan’aum (bersenang-senang). Orang yang hidup mewah ialah orang yang hidup bergelimpangan penuh dengan kenikmatan duniawi dan keindahan-keindahannya. 

Bermewah-mewahan, dalam agama Islam termasuk salah satu di antara dosa besar. Allah mensifati orang-orang yang hidup penuh dengan kemewahan dengan predikat orang zalim atau orang yang melanggar batasan-batasan-Nya. Dan Allah menyediakan bagi orang-orang yang hidup mewah siksaan di dunia maupun di akhirat. 

Hidup mewah mempunyai dampak yang amat fatal terhadap eksistensi suatu bangsa. Bagi orang yang mau menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya bangsa Rumawi dan bangsa Persia, runtuhnya kerajaan ‘Abbasiyah dan hilangnya Andalusia (Spanyol) dari tangan kaum Muslimin, penyebab utamanya ialah karena mereka terlalu tenggelam ke dalam kemewahan hidup. 

Suatu umat atau bangsa sesudah mencapai puncak yang paling tinggi dalam peradaban dan pengaruh kekuasaannya, biasanya akan merasa aman dan tenteram dari gangguan negara-negara tetangganya. Oleh karena itu, mereka mulai tenggelam ke dalam kemewahan dan menikmati hasil yang mereka capai selama ini. Tentu saja hal ini akan membuat mentalitas bangsa menurun disebabkan lebih cenderung pada mementingkan diri sendiri. Selain itu, kerusakan pun akan melanda seluruh kawasan negeri, yang selanjutnya, negara-negara tetangga yang tadinya tidak berani mengganggu, kini mulai mengintai untuk mencoba menguasai, setelah melihat situasi yang menguntungkan pihak mereka. Karena mentalitas bangsa yang mewah menurun demikian drastis, maka negara-negara yang tadinya lemah kini dengan mudah menguasai mereka. 

Kehidupan mewah juga akan berakibat sangat fatal di dalam negeri sendiri. Eksploitasi golongan minoritas terhadap harta kekayaan rakyat, dan tenggelamnya mereka dalam kemewahan, akan menyebabkan timbulnya rasa iri golongan rakyat jelata yang tidak turut mengecap kemewahan. Akhirnya, golongan kedua yang biasanya terdiri dari golongan mayoritas, menjadi satu dan kuat sambil menunggu saat-saat yang tepat guna menumbangkan golongan yang hidup mewah. Setelah itu timbullah perang saudara yang tentu saja akan memakan korban jiwa yang banyak, di samping kerugian-kerugian materi yang tak terhitung jumlahnya, serta seluruh rakyat merasakan malapetaka yang mengerikan ini. 

Di antara pernyataan Al-Qur’an ialah analisa yang cukup mendetail mengenai kemewahan dan akibat-akibat yang cukup fatal bagi eksistensi suatu umat yang tenggelam ke dalam kemewahan. 

Allah telah berfirman : “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Q.S. 17 : 16). 

Apabila Allah hendak menghancurkan suatu negeri, lantaran merajalelanya perbuatan maksiat dalam suatu negeri, Allah tidak menurunkan siksaan-Nya secara segera. Tetapi Allah terlebih dahulu memerintahkan orang-orang yang hidup mewah agar mereka mau bertaubat karena perbuatan maksiat sering mereka lakukan. Apabila ternyata mereka berkeras kepala dan tidak mau meninggalkan perbuatan maksiat, maka kala itu Allah akan segera menurunkan azab-Nya tanpa ampun. 

Orang-orang yang hidup mewah, bisa meraih jabatan karena kekayaan yang mereka miliki. Kemudian, mereka akan menetapkan undang-undang yang bisa melindungi kelestarian kemewahannya. Oleh karena itu, mereka bersikap menolak setiap ajakan yang menganjurkan perbaikan. Sebab dengan menurutnya mereka kepada ajakan tersebut, berarti mereka harus meninggalkan kemewahan yang sekarang mereka miliki. 

Termasuk di antara kenyataan yang dikemukakan oleh Al-Qur’an ialah, bahwa orang-orang kaya, biasanya bersikap menentang ajakan-ajakan Rasul. Karena risalah kenabian, biasanya menentang kemewahan, kerusakan (kemaksiatan) dan fasilitas-fasilitas batil yang mereka dapatkan. Terkandung, mereka bertambah tenggelam ke dalam kemaksiatan sebagai jawaban dari mereka terhadap ajakan Rasul. Hal ini tentu saja akan menyebabkan turunnya amarah Allah terhadap mereka. 

Itulah yang telah diturunkan oleh Al-Qur’an dalam ayat-ayat berikut : 

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : 

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. 

(Rasul) itu berkata : “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari pada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” mereka menjawab : 

“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya”. Maka kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. 43 : 23 – 25). 

Mewah, pengertiannya sama dengan zalim, karena kecenderungan orang-orang kaya dalam membelanjakan kekayaan adalah di jalan kemewahan, yaitu perbuatan zhalim terhadap kaum fakir miskin atau lebih tegasnya masyarakat secara keseluruhan. Apabila perbuatan zhalim sudah merajalela dalam suatu masyarakat, maka pertanda akan turunnya siksa Allah. 

Ayat-ayat berikut menuturkan perihal siksaan Allah terhadap umat-umat yang zhalim disebabkan mereka tenggelam ke dalam kehidupan serba mewah. 

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka lari tergesa-gesa dari padanya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya”. (QS. 21 : 11 – 13). 

Kebanyakan, negeri-negeri yang dirusak oleh Allah karena penduduknya berbuat zhalim, Allah menggantikan mereka dengan suatu kaum yang lebih baik keadaannya. 

Apabila penduduk negeri yang akan dirusak Allah itu sudah merasakan dekatnya siksaan Allah, mereka lari pontang-panting menghindarkan diri dari kejaran siksa Allah. Tetapi segala upaya mereka kemanapun mereka lari, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa menolak siksaan Allah. Kemudian dengan nada sinis Allah menyuruh mereka kembali mendiami negerinya, dan terus melanjutkan kemaksiatan sampai kerusakan menghancurkan mereka. Mereka juga akan melihat dengan mata kepala mengenai hasil perbuatan mereka. 

Terkadang Allah mencap orang-orang yang suka hidup bermewah-mewahan sebagai orang-orang yang berdosa di samping sebagai orang-orang zhalim. 

Untuk itu, Allah berfirman dalam Al-Qur’anul Karim : 

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari pada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan yang mewah, yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. 11 : 116 – 117) 

Seharusnya, di antara umat terdahulu itu ada yang berlaku bijaksana guna mencegah kaumnya terhadap kelakuan maksiat. Tetapi amat disayangkan, tak ada di antara mereka yang berlaku bijaksana dan mau mencegah umatnya kecuali hanya beberapa gelintir saja. Namun, perkataan mereka sama sekali tidak diturut atau didengar. Akhirnya golongan ini diselamatkan oleh Allah SWT beserta rasul-rasul-Nya. Dan kebanyakan di antara mereka terdiri dari orang-orang zhalim, yang lebih mementingkan kehidupan mewah dan tenggelam ke dalam lumpur dosa. Golongan mayoritas yang zalim ini berhak mendapat amarah dari Allah dan siksaan-Nya. Allah tidak akan menurunkan siksaan-Nya kepada suatu kaum selagi mereka mau berpegang teguh pada keutamaan dan perintah-perintah Allah. 

 Jadi kemewahan ini dapat mengakibatkan kehancuran pelakunya di dunia, yang selanjutnya akan mendapat siksaan dari Allah kelak di akhirat. Orang-orang yang menyenangi kehidupan mewah adalah orang-orang yang paling senang terhadap kemaksiatan serta jauh dari Allah. Kemewahan, kadang-kadang bisa membuat mereka mengingkari hari pembalasan, kehidupan di akhirat dan hari kiamat. Mereka beralasan dengan mengimani hal-hal tersebut berarti akan mengekang kesukaan mereka. Sedangkan pembawaan mereka tidak pernah berubah di dalam kemewahan ini. 

Dalam surat Al-Waqi’ah, Allah menuturkan perihal golongan kanan dan keadaan kehidupan mereka yang dipenuhi dengan kenikmatan. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya sebagai berikut: 

“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam (siksaan) angin yang amat panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewahan. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa yang besar. Dan mereka selalu mengatakan : ‘Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?” Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (dibangkitkan pula)? Katakanlah : “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian, benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal…” (QS. 41 – 50). 

Al-Qur’an telah menghubungkan antara kehidupan mewah dan ingkar terhadap hari kiamat, karena keduanya mempunyai hubungan kausalitas. Atau lebih jelasnya, orang-orang yang kaya biasanya hanya berorientasi kepada kemewahan hidup.jadi mereka akan bersikap acuh terhadap masalah akhirat dan kehidupan sesudah mati. 

Perjalanan hidup Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam kehidupan yang serba sederhana serta jauh dari kemewahan. Hal ini patut dicontoh oleh umatnya. Salah seorang sahabat berkata: “Pada suatu hari, saya masuk ke rumah Rasulullah SAW. Tiba-tiba saya jumpai beliau sedang rebahan di atas tikar yang kasar sehingga membekas pada punggung beliau; dan bantal yang beliau pakai terbuat dari kulit yang dijejali dengan serabut”. 

Nabi SAW melarang umatnya hidup bermewah-mewahan. Di antara larangan beliau ialah mengenakan pakaian sutera bagi kaum lelaki. Beliau bersabda :

 من لبس الحرير فى الدنيا فلن يلبسه فى الآخرة (رواه البخارى

“Barang siapa yang memakai sutera di dunia, ia tak akan memakainya di akhirat”( Hadits riwayat Bukhari). 

Rasulullah juga mencegah umatnya memakai cawan dari emas atau perak, atau piring yang terbuat dari kedua barang tersebut. Hadits berikut ini diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah RA :

 نهانا النبي ان نشرب فى آنية الذهب والفضة وان تأكل فيها, وعن لبس الحرير والديباج ونجلس عليه (رواه البخارى

“Rasulullah mencegah kita minum dengan memakai gelas emas dan perak, atau makan dalam piring yang terbuat dari kedua barang tersebut. Dan beliau melarang kita memakai sutera atau duduk pada bahan yang terbuat dari sutera.( Hadits riwayat Bukhari)” 

Rasulullah juga bersabda :
 الذي يشرب فى اناء الفضة إنما يجرجر فى بطنه نار جهنم (رواه البخارى

“Orang yang meminum dalam tempat yang terbuat dari perak, sesungguhnya ia menegukkan (api) neraka jahannam ke dalam perutnya”( Hadits riwayat Bukhari). 

Islam melarang kebiasaan yang dipakai orang-orang kaya apabila mereka mengadakan walimah (hajat) yang diadakan secara mewah dan besar-besaran serta mengumumkannya melalui harian-harian. Tentu saja, pelaksanaan secara seperti itu memerlukan biaya yang berlebihan. Mereka tidak mau mengadakan secara sederhana karena harga diri mereka akan turun. Islam melarang kebiasaan semacam ini demi menjaga perasaan mereka yang miskin terhadap orang-orang kaya. 

Untuk itu Rasulullah telah bersabda memberikan petunjuk :

 شر الطعام طعام الوليمة يدعى لها الأغنياء ويترك الفقراء (رواه البخارى ومسلم

“Sejelek-jelek makanan ialah hidangan walimah yang di dalamnya hanya di undang orang-orang kaya saja, adapun orang-orang miskin ditinggalkan (tidak diundang)”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Posting Komentar untuk "Kemewahan dan Pengaruhnya pada Kehancuran Umat"